- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
MENELUSURI AKAR KLITIH DI JOGJA


TS
mojokdotco
MENELUSURI AKAR KLITIH DI JOGJA

Klitih atau kejahatan jalanan jadi momok menakutkan di Jogja satu dekade belakangan. Pelaku terkadang menyasar korban secara acak. Pelajar, pekerja, dan warga sipil yang tak tahu menahu jadi sasaran. Klitih membuat darah tumpah di jalanan Jogja.
Sebelum istilah klitih muncul, Jogja memang punya sejarah panjang tentang kekerasan di jalan. Beberapa dekade silam, beberapa geng legendaris pernah mewarnai jalanan. Rivalitas tumbuh antar satu geng dengan yang lain. Saling serang jadi kebiasaan. Namun, menurut pelaku sejarah, apa yang terjadi dulu punya perbedaan dengan klitih yang marak beberapa tahun belakangan.
Mojok mencoba menggali cerita kekerasan jalanan di Jogja dari era geng legendaris sampai era klitih atau kejahatan jalanan di Jogja. Menelusuri motif mengapa pelaku klitih hari ini, begitu acak memilih korban. Hingga darah tumpah bahkan nyawa jadi taruhan.
***
Kenangan Ervian Parmunadi (55) melayang jauh ke masa mudanya. Pada 1985, saat usianya tujuh belas tahun dan masih duduk di bangku SMA, bersama beberapa rekan ia mendirikan salah satu geng legendaris di Jogja bernama Joxzin.
Keberadaan geng setelah Petrus mereda

Momen itu terjadi tak lama setelah geger penembakan misterius (Petrus) 1983 di Jogja. Petrus adalah operasi rahasia Orde Baru untuk menanggulangi kejahatan yang tinggi saat itu. Sasaran utamanya saat itu adalah gali atau preman. Jogja menjadi kota pertama dimulainya operasi ini. Operasi ini berakhir di tahun 1984.
Nama Joxzin berasal dari tempat tongkrongan mereka di daerah Kauman, di dekat lokasi bernama Pojok Bensin. Generasi pertama Joxzin, menurut Ervi, diisi oleh remaja usia 15-17 tahun.
“Pokoknya saat itu, kami rata-rata kelahiran 1968-1970,” ujarnya sambil menyesap rokok kretek. Ervi saya temui di sebuah warmindo yang terletak di Jalan Tamansiswa pada Kamis (23/2). Ia meluangkan waktu sebelum menghadiri sebuah rapat bersama beberapa koleganya.
Era Joxzin bersamaan dengan beberapa geng besar lain di Jogja seperti Qzruh dan TRB. Ketiganya punya corak berbeda. Joxzin misalnya, anggotanya mayoritas berasal dari kampung Kauman, Kotagede, dan Karangkajen. Daerah tersebut dikenal sebagai basis salah satu ormas Islam besar sehingga kebanyakan remaja tersebut punya pandangan yang sama.
Sedangkan Qzruh dan TRB berasal dari daerah lain yang tentu punya kecenderungan corak ideologis yang berbeda. Hal ini menurut Ervi membuat tiga geng besar di Jogja saat itu dengan mudah bisa terasosiasi ke partai politik tertentu.
Quote:

Jaya di era 1990-an
Akhir 1980-an sampai awal 1990-an menjadi masa kejayaan buat Joxzin. Mereka punya banyak anggota. Sekali kumpul, hampir seratus motor bisa berderet memenuhi pinggiran jalan. Bahkan lebih dari seratus kalau sedang ada acara besar tertentu.
Motor sebanyak itu, juga terkadang terlibat pada pertempuran antargeng di jalanan. Ervi mengingat bahwa hampir setiap bulan ada saja pertikaian di jalan. Biasanya salah satu geng mubeng di malam hari. Di jalan, sengaja atau tidak, mereka kerap berpapasan dengan rombongan rival. Seketika pertempuran tak terelakkan.
Saat itu dengan alat komunikasi yang belum secanggih sekarang, mereka tak bisa leluasa saling berkabar. Tak mudah untuk mengetahui lokasi pasti lawan di jalan. Berbeda dengan sekarang, setiap pergerakan massa besar bisa terlacak di lini masa media sosial.
“Kalau (ribut) yang besar-besar itu sering juga. Pernah di jalan sekitar Kotagede, Kauman, sampai Kaliurang,” kenang mantan anggota DPRD Kota Yogyakarta periode 2009-2014 ini.
Berkeliling menggunakan motor secara rombongan memang kerap dilakukan secara sengaja. Pertikaian menjadi hal yang mereka cari.
“Memang sengaja golek-golek musuh kadang-kadang,” ujar lelaki dengan rambut sudah beruban ini. Senyum merekah saat mengingat masa mudanya yang sarat akan kekerasan.
Pertikaian skala besar biasanya terjadi di malam hari. Sedangkan untuk perkelahian senggel atau satu lawan satu antar-anggota kerap mereka lakukan di siang hari. Pelaku yang hendak melakukan senggel ini umumnya sudah membuat janji. Jalan ini mereka tempuh jika merasa punya masalah personal dengan salah satu anggota geng.
Apa yang geng-geng ini lakukan menurut Ervin adalah upaya pencarian jati diri. Ada kebanggaan tersendiri. Mereka tidak saling berebut daerah kekuasaan atau daerah palakan. Hanya unjuk gigi adu kekuatan di jalan.
Ervin sedikit menunduk lalu menoleh ke kanan dan kiri, seolah memperlihatkan badannya. Ia mengaku tak pernah mengalami luka serius akibat kekerasan jalan yang ia lakoni bersama rekannya. Namun, ia pernah melihat adiknya menjadi korban pembacokan.
“Adik saya selisih empat tahun di bawah saya. Dia juga gabung Joxzin,” terangnya.
Saat itu adiknya sedang berkeliling dengan enam orang rombongan berboncengan dengan tiga motor. Saat tiba-tiba ada sekelompok lain datang mendekat. Seketika menebas senjata tajam ke kepala. Tanpa menggunakan helm, adik Ervi pun harus mendapat luka. Tujuh jahitan di kepala pun ia terima.
Mengaku tak pernah asal bacok

Tapi, ketika itu, rekan-rekan Joxzin langsung mengetahui siapa pelaku dan motif di balik penyerangan itu. Ervin yakin bahwa otak di balik hal ini adalah konflik antargeng yang sedang mereka jalani.
“Dulu sasaran kita jelas. Ya hanya menyasar anggota geng lain yang sedang punya masalah. Mereka juga sama-sama bersenjata, kok,” terangnya.
Setiap hendak melakukan serangan, ia mengaku mengamati secara detail. Ketika bisa memastikan bahwa itu dari kelompok musuh, syukur-syukur sama-sama membawa senjata tajam, maka mereka segera menghantam.
“Pokoknya kalau zaman dulu itu dimatke tenanan. Barangkali keliru, kita khawatir juga. Setelah itu, kami serang dan kelahi di jalan,” paparnya.
Meski begitu, Ervi mengakui kalau dulu tidak ada mekanisme khusus untuk mencegah salah sasaran selain berupaya memperhatikan betul calon lawan. Namun, biasanya mereka sudah familiar dengan ciri-ciri kelompok yang akan mereka serang.
Hal itu dimudahkan dengan sebaran anggota geng yang berasal dari beragam sekolah dan kampung. Ada banyak anggota geng yang bersekolah atau bertetangga kampung dengan anggota geng rival sehingga mudah untuk mengenalinya.
“Tapi ya kadang ada miss. Kalau salah sasaran ya, berarti podo siale,” ujarnya.
Menyayangkan klitih yang asal sikat
Hal itu berbeda jauh dengan fenomena klitih yang marak di Jogja belakangan. Ervi mengaku tindakan yang dulu ia lakukan bersama kelompoknya membuat resah masyarakat. Namun, ia menegaskan kalau dulu tidak pernah asal bacok dengan warga sipil tak bersalah.
“Nggak ada ceritanya kami waton bacok orang di jalan. Orang mau ke pasar kena pedang, mahasiswa diganggu. Itu hal-hal yang tidak terjadi di zaman kami,” katanya.
Ia mengaku bingung dengan pola yang terjadi sekarang. Dulu, aparat kepolisian dengan mudah bisa menandai para pelaku dan orang yang berpotensi melakukan hal serupa. Hal itu lantaran anggota geng dan afiliasinya mudah dikenali.
“Kalau sekarang, mereka berkelompok berdasarkan apa juga kurang jelas. Kadang saya jadi bingung, ini kok ada anak SMA Muhammadiyah nyerang sesama SMA Muhammadiyah,” paparnya.
Menurut Ervi, Joxzin lawas generasi 85 setelah 1992 sudah mulai jarang berkegiatan lagi. Hal itu sejalan dengan beberapa arsip pemberitaan pada 1993. Salah satunya Harian Kompas yang merilis berita mengenai aksi tawuran remaja yang masif di Jogja pada awal 1990-an.
Hal itu membuat Kepolisian Wilayah DIY saat itu, mulai melakukan pemetaan keberadaan geng di Jogja. Di antaranya Joxzin dan Qzruh. Pemetaan ini membuat polisi dengan mudah bisa mengawasi pergerakan geng saat melakukan perkumpulan.
Menolak disebut akar klitih
Setelah masa itu, generasi penerus dengan membawa bendera yang sama masih ada. Namun, gerakannya tidak semasif dahulu.....
Baca Selengkapnya: Menelusuri Akar Klitih Jogja






moddie dan 2 lainnya memberi reputasi
-1
1.5K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan