- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
RI Bakal Tarik Pajak Google Cs di 2024, Aturannya Siap?


TS
perojolan13
RI Bakal Tarik Pajak Google Cs di 2024, Aturannya Siap?
Jakarta, CNBC Indonesia- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menargetkan mulai menerapkan Pilar ke 1 & 2 dari dua pilar paket pajak internasional OECD/G20 Inclusive Framework. Melalui aturan ini maka, Perusahaan seperti Google, Facebook dan lain-lain harus bayar pajak ke RI.
Anggota Komisi XII DPR RI, Puteri Anetta Komarudin memandang potensi RI untuk menerapkan pajak ke perusahaan teknologi global sangat meski prosesnya sangat rumit karena terkait dengan kesepakatan banyak negara global.
link
Sikat Habis! RI Bakal Tarik Pajak Google Cs di 2024

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menargetkan mulai menerapkan Pilar ke 1 & 2 dari dua pilar paket pajak internasional OECD/G20 Inclusive Framework. Perusahaan seperti Google, Facebook dan lain-lain harus bayar pajak ke RI.
Pilar 1 ini berkaitan dengan pungutan pajak multinasional dengan tidak mempertimbangkan kehadiran fisik. Artinya, selama perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatannya di negara terkait maka akan tetap harus membayar pajak.
"Jadi pilar 1 ini lagi dalam titik kritikalnya untuk segera bisa diputuskan apakah kan kita implementasikan atau tidak diimplementasikan," kata Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).
Pembahasan yang masih belum menemukan titik terang kata dia terkait dengan formulasi hak pemajakan dari masing masing negara, baik dari sisi negara sumber perusahaan atau negara pasar dari perusahaan. Karena itu, Indonesia kata dia belum menerapkan pajak transaksi elektronik (PTE).
"Sebenarnya Indonesia punya yang disebut Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) itu yang PPN nya tapi kita juga punya untuk PPh nya, PTE, peraturan pajak transaksi elektronik, tapi ini kita hold dulu," tuturnya.
Formulasi penerapan perpajakan ini kata dia masih terus dalam pembahasan karena kalau tidak disepakati secara rinci akan menyebabkan tumpang tindihnya penerapan pajak terhadap perusahaan-perusahaan multinasional seperti Google CS nantinya.
"Dalam tahapan itu adalah keributan ini. Masing-masing negara menerapkan tarifnya masing-masing, pendekatannya masing-masing, sehingga perusahaan-perusahaan multinasional akan menghadapi berbagai macam pengenaan pajak dari masing-masing negara," ujar Mekar.
Dari sisi Indonesia, ia mengatakan, lebih setuju bila pendekatan penerapan pajaknya didasari atas kesepakatan bersama, sehingga hak pemajakannya diatur secara detil antara bagian dari negara sumber perusahaan atau negara pasar dari perusahaan.
"Sehingga hak pemajakannya diatur bagaimana bagian dari negara seperti Indonesia yang marketing yurisdiksi dan bagaimana negara-negara yang sebagai source countrynya yang menjadi ultimate ultimate parent entity (UPE)," kata Mekar.
Kendati begitu, ia memastikan, apabila kesepakatan nantinya tercipta dari para anggota OECD terhadap penerapan Pilar 1, maka tinggal dilakukan penandatangan konvensi dan dilakukan proses ratifikasi untuk peraturan domestik. Ia memperkirakan Indonesia bisa menerapkan paling lambat akhir 2024.
"Untuk Pilar 1 kita menunggu penandatanganan multilateral conventionnya yang direncanakan seharusnya Juli 2023. Ini kalau itu sudah ditandatangani dan Indonesia menjadi salah satu yang menandatangani itu kita akan mulai menyusun aturan-aturan pelaksanaanya mudah-mudahan bisa 2024 tapi lebih realistis kita sampai pertengahan 2024 sampai akhir 2024," ujarnya.
Pilar ke-2 ini akan diterapkan terlebih dahulu karena OECD telah menerbitkan panduan teknis, sehingga tinggal menunggu terbitnya kerangka kerja implementasinya.
"Tinggal menunggu implementation frameworknya, sudah selesai tapi belum diterbitkan, itu jadi basis kita. Kita harapkan kalau kondisinya lancar kita akan mulai terapkan 2024," kata Mekar.
Baca:Kejar Pengemplang Pajak di LN, DJP Pakai Jaringan 'Misterius'
Sebagai informasi, Pilar 2 merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) terkait penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum, dan Subject to Tax Rule (STTR) terkait pemberlakuan tarif withholding tax.
Mekar berujar, melalui Pilar 2 ini akan ada 2 pendekatan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar untuk menerapkan top up tax terhadap wajib pajak yang mendapatkan insentif pajak, diantaranya Income Inclusion Rule (IIR), dan undertaxed payment rule (UTPR).
Kendati begitu, ia menekankan, dalam paduan yang berkembang saat ini, OECD juga memberi ruang untuk menerapkan Qualifying Domestic-Minimum Top-Up Tax. Menurutnya, Indonesia lebih memilih skema itu ketika ingin menerapkan top up tax jika insentif yang diterima wajib pajak di bawah effective tax rate (ETR) yang sebesar 15%.
"Di bawah 15% memang akan mengakibatkan adanya top up tax yang akan dikenakan di negara di mana ultimate variant entitynya berada. Nah ini kita pahami dalam diskusi-diskusi kita, OECD memang memberikan guidance nya, kita bisa juga menerapkan yang kita sebut QDMTT," tutur Mekar.
Baca:Nih 5 Senjata DJP, Pengemplang Pajak Tak Bisa Lagi Kabur!
Penerapan ini juga menurut Mekar akan dilakukan Indonesia lantaran, Pilar 2 bersifat common approach atau tidak wajib, berbeda dengan sifat Pilar 1 yang wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20.
Karena itu, Mekar menekankan, apabila ada negara yang tidak memilih menerapkan Pilar 2 malah merugikan negara itu sendiri karena sifat ketentuan dalam Pilar 2 ini adalah top up tax.
"Kalau kita berikan insentif sehingga mengakibatkan misalnya PPh Badannya 0%, sehingga sudah pasti nanti sulit bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan ETR yang mendekati 15% atau di atas 15%," kata Mekar.
"Kekurangan dari 15% itu akan dikenakan pajak oleh negara-negara ultimate parent entity (UPE) nya kalau kita tidak menerapkan fasilitas-fasilitas yang kita terapkan itu pasti akan menjadi tidak bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan yang bersangkutan," ujarnya.
Mengutip Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan Pilar 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global.
Baca:Bukan AS & Eropa, Cuma Negara Ini yang Diramal Resesi di 2023
Desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional, ada dua implikasi.
Implikasi itu dapat dipajaki di negara domisili melalui income inclusion rule atau penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili) dan/atau melalui undertaxed payment rule atau biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah menjadi non-deductible.
link 1
link 2
Siap gan?
Anggota Komisi XII DPR RI, Puteri Anetta Komarudin memandang potensi RI untuk menerapkan pajak ke perusahaan teknologi global sangat meski prosesnya sangat rumit karena terkait dengan kesepakatan banyak negara global.
link
Quote:
Sikat Habis! RI Bakal Tarik Pajak Google Cs di 2024

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menargetkan mulai menerapkan Pilar ke 1 & 2 dari dua pilar paket pajak internasional OECD/G20 Inclusive Framework. Perusahaan seperti Google, Facebook dan lain-lain harus bayar pajak ke RI.
Pilar 1 ini berkaitan dengan pungutan pajak multinasional dengan tidak mempertimbangkan kehadiran fisik. Artinya, selama perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatannya di negara terkait maka akan tetap harus membayar pajak.
"Jadi pilar 1 ini lagi dalam titik kritikalnya untuk segera bisa diputuskan apakah kan kita implementasikan atau tidak diimplementasikan," kata Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama dalam webinar MUC Consulting, Kamis (16/2/2023).
Pembahasan yang masih belum menemukan titik terang kata dia terkait dengan formulasi hak pemajakan dari masing masing negara, baik dari sisi negara sumber perusahaan atau negara pasar dari perusahaan. Karena itu, Indonesia kata dia belum menerapkan pajak transaksi elektronik (PTE).
"Sebenarnya Indonesia punya yang disebut Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) itu yang PPN nya tapi kita juga punya untuk PPh nya, PTE, peraturan pajak transaksi elektronik, tapi ini kita hold dulu," tuturnya.
Formulasi penerapan perpajakan ini kata dia masih terus dalam pembahasan karena kalau tidak disepakati secara rinci akan menyebabkan tumpang tindihnya penerapan pajak terhadap perusahaan-perusahaan multinasional seperti Google CS nantinya.
"Dalam tahapan itu adalah keributan ini. Masing-masing negara menerapkan tarifnya masing-masing, pendekatannya masing-masing, sehingga perusahaan-perusahaan multinasional akan menghadapi berbagai macam pengenaan pajak dari masing-masing negara," ujar Mekar.
Dari sisi Indonesia, ia mengatakan, lebih setuju bila pendekatan penerapan pajaknya didasari atas kesepakatan bersama, sehingga hak pemajakannya diatur secara detil antara bagian dari negara sumber perusahaan atau negara pasar dari perusahaan.
"Sehingga hak pemajakannya diatur bagaimana bagian dari negara seperti Indonesia yang marketing yurisdiksi dan bagaimana negara-negara yang sebagai source countrynya yang menjadi ultimate ultimate parent entity (UPE)," kata Mekar.
Kendati begitu, ia memastikan, apabila kesepakatan nantinya tercipta dari para anggota OECD terhadap penerapan Pilar 1, maka tinggal dilakukan penandatangan konvensi dan dilakukan proses ratifikasi untuk peraturan domestik. Ia memperkirakan Indonesia bisa menerapkan paling lambat akhir 2024.
"Untuk Pilar 1 kita menunggu penandatanganan multilateral conventionnya yang direncanakan seharusnya Juli 2023. Ini kalau itu sudah ditandatangani dan Indonesia menjadi salah satu yang menandatangani itu kita akan mulai menyusun aturan-aturan pelaksanaanya mudah-mudahan bisa 2024 tapi lebih realistis kita sampai pertengahan 2024 sampai akhir 2024," ujarnya.
Pilar ke-2 ini akan diterapkan terlebih dahulu karena OECD telah menerbitkan panduan teknis, sehingga tinggal menunggu terbitnya kerangka kerja implementasinya.
"Tinggal menunggu implementation frameworknya, sudah selesai tapi belum diterbitkan, itu jadi basis kita. Kita harapkan kalau kondisinya lancar kita akan mulai terapkan 2024," kata Mekar.
Baca:Kejar Pengemplang Pajak di LN, DJP Pakai Jaringan 'Misterius'
Sebagai informasi, Pilar 2 merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) terkait penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum, dan Subject to Tax Rule (STTR) terkait pemberlakuan tarif withholding tax.
Mekar berujar, melalui Pilar 2 ini akan ada 2 pendekatan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar untuk menerapkan top up tax terhadap wajib pajak yang mendapatkan insentif pajak, diantaranya Income Inclusion Rule (IIR), dan undertaxed payment rule (UTPR).
Kendati begitu, ia menekankan, dalam paduan yang berkembang saat ini, OECD juga memberi ruang untuk menerapkan Qualifying Domestic-Minimum Top-Up Tax. Menurutnya, Indonesia lebih memilih skema itu ketika ingin menerapkan top up tax jika insentif yang diterima wajib pajak di bawah effective tax rate (ETR) yang sebesar 15%.
"Di bawah 15% memang akan mengakibatkan adanya top up tax yang akan dikenakan di negara di mana ultimate variant entitynya berada. Nah ini kita pahami dalam diskusi-diskusi kita, OECD memang memberikan guidance nya, kita bisa juga menerapkan yang kita sebut QDMTT," tutur Mekar.
Baca:Nih 5 Senjata DJP, Pengemplang Pajak Tak Bisa Lagi Kabur!
Penerapan ini juga menurut Mekar akan dilakukan Indonesia lantaran, Pilar 2 bersifat common approach atau tidak wajib, berbeda dengan sifat Pilar 1 yang wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20.
Karena itu, Mekar menekankan, apabila ada negara yang tidak memilih menerapkan Pilar 2 malah merugikan negara itu sendiri karena sifat ketentuan dalam Pilar 2 ini adalah top up tax.
"Kalau kita berikan insentif sehingga mengakibatkan misalnya PPh Badannya 0%, sehingga sudah pasti nanti sulit bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan ETR yang mendekati 15% atau di atas 15%," kata Mekar.
"Kekurangan dari 15% itu akan dikenakan pajak oleh negara-negara ultimate parent entity (UPE) nya kalau kita tidak menerapkan fasilitas-fasilitas yang kita terapkan itu pasti akan menjadi tidak bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan yang bersangkutan," ujarnya.
Mengutip Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan Pilar 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global.
Baca:Bukan AS & Eropa, Cuma Negara Ini yang Diramal Resesi di 2023
Desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional, ada dua implikasi.
Implikasi itu dapat dipajaki di negara domisili melalui income inclusion rule atau penghasilan luar negeri ditarik ke negara domisili) dan/atau melalui undertaxed payment rule atau biaya yang dibayarkan oleh perusahaan multinasional di negara domisili ke perusahaan multinasional di negara dengan tarif pajak rendah menjadi non-deductible.
link 1
link 2
Siap gan?
Diubah oleh perojolan13 28-02-2023 16:53


nomorelies memberi reputasi
1
933
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan