Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

LordFaries4.0Avatar border
TS
LordFaries4.0
Tentang Mairil dan Nyampet, Homoseksual di Kalangan Santri
Tentang Mairil dan Nyampet, Homoseksual di Kalangan Santri
Pondok pesantren (Ponpes) merupakan tempat para santri untuk menimba ilmu agama dan selalu identik dengan budaya religius yang penuh sopan santun. Namun, ada cerita-cerita miring terkait perilaku yang belum banyak diketahui publik, yakni perilaku homoseksual di kalangan santri pria.

Hal ini dibahas dalam sebuah video berjudul Homoseksual / Gay di Pesantren | Review buku Mairil : Sepenggal Kisah Biru di Pesantren di kanal Youtube Fuad Mubarok, Sabtu (6/7/2019) lalu. Fuad Mubarok mereview buku berjudul Mairil : Sepenggal Kisah Biru di Pesantren karya Syarifuddin terbitan P_Idea pada 2005.

Buku yang ditulis dalam format novel ini menyingkap fenomena mairil dan nyampet di ponpes. Sebagai catatan, isi buku merupakan improvisasi penulis dan bukan merupakan hasil penelitian ilmiah. Dalam buku itu, penulis menyebutkan bagi sebagian kalangan santri, dua kata tersebut sudah tidak asing lagi.

Nyampet merupakan istilah yang digunakan oleh santri untuk menyebut aktivitas seksual sesama jenis. Sementara mairil adalah perilaku kasih sayang yang diberikan antar sesama jenis dalam kehidupan sehari-hari ibaratnya orang yang sedang pacaran, termasuk hubungan seksual sesama jenis.

Hubungan ini, katanya, seringkali dilakukan antara santri senior dengan santri junior yang menjadi korban. Terkadang ada pula para pengurus atau guru muda yang belum menikah menjadi pelaku dalam perilaku mairil dan nyampet. Umumnya yang menjadi korban mairil dan nyampet adalah santri yang memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face.

Penulis menceritakan para korban terkadang tidak menyadari kalau dirinya pernah menjadi pelampiasan nafsu seks sesama jenis. Korban baru menyadari ketika bangun tidur saat mengetahui bagian pahanya basah oleh sperma. Hal ini dikarenakan para pelakunya melampiaskan hasrat seksual waktu korban tengah terlelap tidur.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada 2014 pernah membahas topik itu. Salah satu mantan santri mengetahui mairil dan nyempet sejak masuk Ponpes sekitar umur 12-13 tahun. Korban perilaku mairil ini mengaku sulit untuk menolak ajakan karena tidak berani. Sementara pelaku atau sering disebut dengan istilah warok biasanya santri senior berumur sekitar 17-20 tahun.

"Tahu tentang mairil dan nyampet awal masuk pesantren, sekitar umur 12-13 tahun, jadi korban ya umur 12-13 tahun karena yang menjadi korban biasanya santri baru sedangkan seorang warok atau perilaku biasanya santri senior dan berumur 17-20 tahun," ungkap mantan santri tersebut yang tidak mau disebut identitasnya.

Ada beberapa penyebab mairil dan nyampet di kalangan santri pria. Salah satunya, kata Fuad Mubarok, adalah sulitnya interaksi antara santri pria dengan perempuan. Pasalnya, lingkungan ponpes memisahkan antara santri pria dan wanita.

"Interaksi santri putri dan putra ketat, lingkungan homogen [jenis kelamin yang sama]. Hukuman pun berat jika ketahuan ketemu. Maka dari itu, perilaku nyempet terjadi," kata Fuad.

Fuad mengatakan mairil dan nyampet kebanyakan terjadi pada Ponpes yang masih bersifat tradisional. Dan ia menegaskan pelaku dan korban mairil dan nyampet setelah keluar dari Ponpes menjalani kehidupannya seperti manusia normal bahkan menikah dan mempunyai keturunan.

"Kalau sudah lulus dia normal kembali karena telah menikah, mereka melakukan itu [mairil dan nyampet] karena iseng dan untuk menyalurkan libido yang memuncak," pungkasnya.

Dalam kanal Youtubenya, Fuad banyak mengunggah konten-konten dengan topik pesantren, termasuk film The Santri arahan Livi Zheng. Dalam penjelasan di profilnya, Fuad menyebut dirinya sebagai "seorang santri-mahasiswa-karyawan".

------------------------------------------------------------------

Mairil dan Nyampet, Homoseksualitas di Pesantren yang Pernah Saya Saksikan Sendiri oleh Aly Reza

Sebagai orang yang pernah mendekam di pesantren, bagi saya pribadi nggak bisa dimungkiri kalau pesantren adalah gudangnya pengalaman. Ketika lulus, stok kenangan seperti nggak ada habisnya buat diceritain, saking melimpahnya. Dari yang paling klise, seperti antre mandi, gosob sandal, join sabun atau sampo, kena takziran bersihin WC atau cukur gundul, makan bareng satu nampan, sampai yang paling sentimentil: apalagi kalau bukan gudiken. Itu masih belum seperempatnya.

Namun, ada satu kenangan kelam yang sering menghantui sebagian besar anak pesantren—meski bukan seluruhnya. Sesuatu yang kalau diingat-ingat bisa bikin bergidik, jijik, dan perasaan campur aduk sejenis itu. Yaitu, kasus-kasus pelecehan seksual sesama jenis yang sebenarnya sudah umum terjadi di kalangan para santri sejak dulu kala. Lebih khusus di pesantren cowok, nggak tahu kalau pesantren cewek kayak gimana.

Dulu ketika pertama kali berangkat ke pesantren, saya nggak pernah bayangin apa pun kecuali kehidupan yang super ketat dan lingkungan yang suka nggak suka bakal membentuk para santri jadi pribadi yang lebih relijiyes. Subhanallah, heuheuheu. Sampai suatu ketika, tiga bulan sejak kedatangan saya di pesantren, saya menemukan satu masalah yang menurut saya sudah di level mengerikan. Yap, kasus pemerkosaan sesama jenis yang dilakukan oleh beberapa oknum santri.

Ceritanya, malam itu saya ngelilir karena kebelet kencing. Saya pun turun dari kamar ke toilet sebelah musala. Sehabis ngeluarin hajat kecil tersebut, saya bergegas kembali ke kamar karena masih ngantuk luar biasa. Langkah saya terhenti di tangga menuju kamar. Saya seperti melihat ada bayangan orang naik-turun di dalam musala yang remang-remang.

akunya. “Saya sempat lapor. Tapi ya itu tadi, bukti saya nggak kuat. Kasus saya pun akhirnya menguap dan dilupain begitu saja.” Ada juga yang sengaja nggak ngelaporin ke pengurus. Alasannya, dia malu. Karena jika berita itu sampai di telinga pengurus dan diam-diam menyebar di kalangan santri lain, dia bisa jadi bahan olok-olokan. “Hiii, sudah ternodai, hiii,” misalnya dengan ungkapan seperti itu.

Kali lain saya juga sempat bertanya-tanya dengan pihak pengurus. Satu-satunya langkah preventif yang diambil adalah dengan jalan mengajak santri untuk selalu mengingat Allah, itu saja. Alhasil, kasus semacam ini lambat laun menjadi hal lumrah di lingkungan pesantren. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Saking sudah dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan ada yang mulai terang-terangan melakukannya.

Kalau kepada pelaku, saya masih belum kepikiran buat mengadakan dialog. Bukannya mendapat jawaban, salah-salah nanti malah saya yang diincar. Hla yo wegaaahhh.


Spoiler for sumber:


emoticon-Matabelo
Diubah oleh LordFaries4.0 09-12-2022 15:05
0
1.7K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan