- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SEBUNGKUS KECIL KEBAHAGIAAN


TS
sive
SEBUNGKUS KECIL KEBAHAGIAAN
Quote:

Quote:
Quote:
SEBUNGKUS KECIL KEBAHAGIAAN
Hai, namaku Anjing. Orang biasa memanggilku Anjing. Bahkan orang tuaku pun memanggilku Anjing. Ada yang tau kenapa aku dipanggil Anjing? Nggak ada? Karena nama asliku Anjing. Nama lengkapku Xianzing.
Orang tuaku memang suka seenaknya kalo ngasih nama. Mereka suka nggak mikirin perasaan anaknya yang musti rela di panggil Anjing sama temen temennya. Walaupun kasar, aku tau orang tuaku sayang sama aku. Kalo ngomong, mereka nggak pernah lembut. Selalu bentak bentak. Seolah aku ini tuli. Tapi aku tau, mereka begitu karena untuk kebaikanku.
Sekarang, aku hidup sebatang kara. Kedua orang tuaku mati dibunuh perampok. Mereka mati mengenaskan dengan luka bacokan di sekujur tubuh. Aku cuma bisa berlari mencari pertolongan. Tapi sayang, perampoknya keburu kabur dan melarikan diri. Sementara aku Cuma bisa menangis tanpa bisa melakukan apa apa. Lalu aku memutuskan untuk pergi menjauh untuk melupakannya.
Aku tumbuh sebagai pemuda yang sehat. Tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat. Semasa aku bayi, aku selalu di beri ASI, makanan bergizi dan imunisasi. Nggak usah dinyanyiin walaupun mirip lagu.
Dari kecil aku selalu punya keinginan untuk berteman dengan siapa aja. Tapi entah mengapa, nggak pernah ada yang mau berteman denganku. Aku sering di olok olok, bahkan di lempari batu. Seingatku, nggak satupun diantara mereka yang melemparkan uang ataupun majalah porno.
Seperti sore itu, saat ku sapa seorang pria bersarung. Dia malah melempariku dengan batu kerikil. Beberapa kali batu itu mengenai badanku, dan rasanya sakit. Tapi nggak sesakit hatiku. Aku hanya ingin berteman. Kenapa kamu segitunya ke aku. Aku berlari sambil menahan tangis.
Aku terdiam di taman komplek. Nggak ada hal lain yang bisa kukerjakan kalo lagi sedih begini, kecuali ngelamun sambil tiduran. Pengen ngerokok, buat ngilangin stress. Tapi aku nggak punya korek buat nyalain rokoknya. Rokoknya sih ada, boleh nemu puntung yang masih panjang bekas orang. Karena nggak nemu korek, puntungnya ku buang lagi.
Katanya ngerokok, bisa ngilangin stress. Nggak tau juga. Aku cuma denger dari obrolan anak anak muda yang biasa nongkrong di taman kalo malem. Tapi kalo aku liat kelakuan mereka, kayaknya stress mereka nggak ilang walaupun mereka ngerokok abis tiga bungkus. Yang ada mereka cuma bikin kotor taman dengan puntung rokok dan kulit kacang.
“Kamu mau bakso?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Hei, itu si Gempur. Pemuda yang sering kusapa saat berkunjung ke taman bersama teman temannya. Tapi dia selalu mengusirku. Mungkin karena aku bau. Aku emang jarang mandi. Kalo pun mandi aku nggak pernah pake sabun. Karena aku nggak punya cukup uang buat beli sabun.
“Nih, buat kamu.” Ujar Gempur sambil menyerahkan sebungkus bakso tusuk. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Gempur pun berlalu meninggalkanku yang sedang asik menyantap bakso pemberiannya.
Aku begitu menikmati setiap gigitan bakso lembut itu. Sungguh nikmat. Jarang ada orang yang berbaik hati memberiku makanan. Aku bersumpah, akan membalas kebaikanmu suatu saat nanti.
Entah sudah berapa lama, tenggorokanku terasa tercekat. Kepalaku serasa berputar. Dadaku terasa sesak, sehingga sulit sekali bernafas. Badanku terasa lemas tak berdaya. Pandanganku semakin gelap saat beberapa orang pemuda yang biasa nongkrong ditaman itu mengelilingiku. Termasuk Gempur.
Mereka menggotongku ke tengah taman. Aku sudah tak sanggup berbicara apapun saat mereka menutupi kepalaku dengan sesuatu. Dan aku mulai tak sadar ketika tiba tiba ada sebuah benda keras menghantam kepalaku.
“Sudah, jangan takut. Kamu sekarang aman.” Suara itu mengagetkanku. Iya itu suara ibu.
“Mereka memang selalu seperti itu.” Sahut ayah yang duduk disampingku.
Entah sejak kapan mereka berdua ada di sampingku. Menatapi tubuhku yang sedang di bakar dari kejauhan. Orang orang itu menguliti tubuhku, dan memotongku kecil kecil untuk kemudian mereka masak.
Dan aku hanya bisa melolong panjang dalam tangisku. Tangis bahagia. Karena aku bisa membuat orang orang itu bahagia dan tersenyum. Bahagia karena aku bisa berguna bagi mereka. Bahagia bisa mengisi perut mereka. Bahagia karena aku sudah membalas kebaikan Gempur yang memberiku sebungkus bakso tusuk. Bahagia karena aku bisa berkumpul lagi dengan kedua orang tuaku. Terima kasih manusia. Kalian begitu sempurna.
“Guk!” Aku menyalak berterimakasih. [sive]
Orang tuaku memang suka seenaknya kalo ngasih nama. Mereka suka nggak mikirin perasaan anaknya yang musti rela di panggil Anjing sama temen temennya. Walaupun kasar, aku tau orang tuaku sayang sama aku. Kalo ngomong, mereka nggak pernah lembut. Selalu bentak bentak. Seolah aku ini tuli. Tapi aku tau, mereka begitu karena untuk kebaikanku.
Sekarang, aku hidup sebatang kara. Kedua orang tuaku mati dibunuh perampok. Mereka mati mengenaskan dengan luka bacokan di sekujur tubuh. Aku cuma bisa berlari mencari pertolongan. Tapi sayang, perampoknya keburu kabur dan melarikan diri. Sementara aku Cuma bisa menangis tanpa bisa melakukan apa apa. Lalu aku memutuskan untuk pergi menjauh untuk melupakannya.
Aku tumbuh sebagai pemuda yang sehat. Tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat. Semasa aku bayi, aku selalu di beri ASI, makanan bergizi dan imunisasi. Nggak usah dinyanyiin walaupun mirip lagu.
Dari kecil aku selalu punya keinginan untuk berteman dengan siapa aja. Tapi entah mengapa, nggak pernah ada yang mau berteman denganku. Aku sering di olok olok, bahkan di lempari batu. Seingatku, nggak satupun diantara mereka yang melemparkan uang ataupun majalah porno.
Seperti sore itu, saat ku sapa seorang pria bersarung. Dia malah melempariku dengan batu kerikil. Beberapa kali batu itu mengenai badanku, dan rasanya sakit. Tapi nggak sesakit hatiku. Aku hanya ingin berteman. Kenapa kamu segitunya ke aku. Aku berlari sambil menahan tangis.
Aku terdiam di taman komplek. Nggak ada hal lain yang bisa kukerjakan kalo lagi sedih begini, kecuali ngelamun sambil tiduran. Pengen ngerokok, buat ngilangin stress. Tapi aku nggak punya korek buat nyalain rokoknya. Rokoknya sih ada, boleh nemu puntung yang masih panjang bekas orang. Karena nggak nemu korek, puntungnya ku buang lagi.
Katanya ngerokok, bisa ngilangin stress. Nggak tau juga. Aku cuma denger dari obrolan anak anak muda yang biasa nongkrong di taman kalo malem. Tapi kalo aku liat kelakuan mereka, kayaknya stress mereka nggak ilang walaupun mereka ngerokok abis tiga bungkus. Yang ada mereka cuma bikin kotor taman dengan puntung rokok dan kulit kacang.
“Kamu mau bakso?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Hei, itu si Gempur. Pemuda yang sering kusapa saat berkunjung ke taman bersama teman temannya. Tapi dia selalu mengusirku. Mungkin karena aku bau. Aku emang jarang mandi. Kalo pun mandi aku nggak pernah pake sabun. Karena aku nggak punya cukup uang buat beli sabun.
“Nih, buat kamu.” Ujar Gempur sambil menyerahkan sebungkus bakso tusuk. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Gempur pun berlalu meninggalkanku yang sedang asik menyantap bakso pemberiannya.
Aku begitu menikmati setiap gigitan bakso lembut itu. Sungguh nikmat. Jarang ada orang yang berbaik hati memberiku makanan. Aku bersumpah, akan membalas kebaikanmu suatu saat nanti.
Entah sudah berapa lama, tenggorokanku terasa tercekat. Kepalaku serasa berputar. Dadaku terasa sesak, sehingga sulit sekali bernafas. Badanku terasa lemas tak berdaya. Pandanganku semakin gelap saat beberapa orang pemuda yang biasa nongkrong ditaman itu mengelilingiku. Termasuk Gempur.
Mereka menggotongku ke tengah taman. Aku sudah tak sanggup berbicara apapun saat mereka menutupi kepalaku dengan sesuatu. Dan aku mulai tak sadar ketika tiba tiba ada sebuah benda keras menghantam kepalaku.
“Sudah, jangan takut. Kamu sekarang aman.” Suara itu mengagetkanku. Iya itu suara ibu.
“Mereka memang selalu seperti itu.” Sahut ayah yang duduk disampingku.
Entah sejak kapan mereka berdua ada di sampingku. Menatapi tubuhku yang sedang di bakar dari kejauhan. Orang orang itu menguliti tubuhku, dan memotongku kecil kecil untuk kemudian mereka masak.
Dan aku hanya bisa melolong panjang dalam tangisku. Tangis bahagia. Karena aku bisa membuat orang orang itu bahagia dan tersenyum. Bahagia karena aku bisa berguna bagi mereka. Bahagia bisa mengisi perut mereka. Bahagia karena aku sudah membalas kebaikan Gempur yang memberiku sebungkus bakso tusuk. Bahagia karena aku bisa berkumpul lagi dengan kedua orang tuaku. Terima kasih manusia. Kalian begitu sempurna.
“Guk!” Aku menyalak berterimakasih. [sive]

TAMAT





bukhorigan dan 12 lainnya memberi reputasi
13
1.5K
Kutip
27
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan