Kita berjalan semakin jauh, banyak yang dirasa, dilihat, dan ditemukan dalam kehidupan. Meskipun kaki kuat melangkah, hati tetap bisa rapuh kerana keadaan. Hanya Dia tujuan satu-satunya tempat mengadu dan bersandar. "Jangan Panggil Aku B" adalah buku yang membuat anda membuka pikiran lebih luas lagi. Untuk mengingat arti syukur.
Jangan Panggil Aku B
True Story
Oleh : Ima Fatimah
Duduk manis dengan dandanan menor, rok pendek, atasan you can see, sambil menjepit rokok di kedua jari sebelah kiri dengan kutek warna-warni dan ulasan blink-blink di atasnya, itu gayaku tersendiri supaya mudah memikat lelaki.
Keahlianku tak banyak, mengerling manja menggoda, terbahak sesekali walaupun tak lucu, terkadang kukibas rambut pirangku supaya terlihat anggun.
Jangan ajari aku sopan santun, bisa makan dan melanjutkan hidup saja, bagiku sudah lebih dari cukup.
Aku dimaki, dihujat, dihina dan dicampakkan adalah menu terindah dalam hidupku, kasih sayang? Iya ... akan aku dapatkan saat lelaki yang telah menidurku berkata puas, sambil mengecup pipiku, dan menanti kata semu itu, meskipun membuatku melayang seketika.
Entah siapa mereka, apakah sama sepertiku dari golongan yang terbuang?
Hanya mereka yang mencintaiku, bisa memberiku makan, jalan-jalan, bahkan diajak belanja, yang penting aku mampu membuat mereka kelimpungan di ranjang kotor dan penuh dosa.
Eh, dosa?
Sejak kapan aku tau tentang dosa?
Aku tak ingin diingatkan tentang perbuatan yang menyalahi agama, ingatanku sebatas Alif, Ba, Ta, waktu itu umurku 7 tahun.
Mengeja Bismillah, pun aku ragu di dengar Tuhan-ku.
Siapa DIA?
Oh ... Ibu!!!
Apakah aku layak memanggilnya Ibu?
Setelah pernikahannya dengan lelaki biadab yang menggerayangi tubuhku saat aku berumur tujuh tahun.
Pernah aku memohon pada Ibu, aku dititipkan saja pada saudara Ayah kandung yang sudah meninggalkanku selamanya, saat aku berusia dua bulan.
"Gak usah kau ajari aku, kukasih makan seharusnya kau masih bersyukur, mau memerintahku pula!" Hardik Ibu saat itu.
Kebetulan aku paling besar, adik-adikku tiga orang masih kecil-kecil, seusiaku sudah harus mencuci pakaian ke sungai, sambil mengambil air di pancuran, dekat perladangan sawah di turunan belakang rumah.
Kampungku sangat indah, dikelilingi laut, ada sungai, gunung, dan persawahan.
Sote hari, aku harus menanak nasi, menggoreng ikan asin kalau ada, terkadang menumis sayur kangkung yang kupetik dari tepian parit yang tumbuh liar.
Bapak tiriku selalu mengambil kesempatan kalau Ibu ke sawah, bahkan di depan adik-adikku yang belum bisa bicara, ia mencoba menaikan rok yang kukenakan, saat itu aku belum paham apa arti perlakuan lelaki biadab itu, setelah selangkangaku diraba, aku teriak.
Tangannya yang kekar mencengkram pipiku dengan kuat, "Kalau teriak atau memberitahu Ibumu, kau kubunuh!" Mulutnya yang bau busuk mengendus wajahku.
Saat itu Ibu terbatuk-batuk dari luar rumah, aku selamat, mungkin hari ini saja. Menunggu hari esok berganti serasa menanti maut.
Perlakuan Ibu sangat berbeda dengan ketiga adikku, bisa kuhitung ia membelikan pakaian, itupun hanya di hari lebaran, bahkan untuk membeli jajan sebuah permen harus meminta diam-diam kepada adikku.
Pernah selentingan kudengar kabar bahwa ia bukan Ibu kandungku, katanya Ayah menikah lagi dan membawaku kabur, setiap aku tanya, Ibu hanya membentak bahkan tak segan menjambak rambut ikalku.
Pagi itu ... aku merasakan kematian yang tak berujung.
Ibu pergi entah ke mana, adik-adikku juga dibawa, sebenarnya mereka semua pergi termasuk Bapak.
Aku membersihkan rumah, menyapu, melipat pakaian, karena hari libur, ini kesempatanku untuk merapikan rumah.
Tiba-tiba pintu terbuka, Bapak datang dengan senyum dan membawakan makanan yang jarang aku lihat.
"Sini, Ranti. Kamu ndak usah takut. Bapak sayang sama kamu."
Aku mundur, wajahnya seperti Babi hutan yang sering lewat di belakang rumah.
Perlahan ia menghampiri, "Sudah aku bilang jangan takut, kamu mau lari?"
Matanya merah, buas menakutkan, mulutnya bau menjijikkan.
Di sudut pintu depan rumah aku tersudut, tangannya membekap mulutku dengan paksa, dan sebelah lagi membuka resleting celananya.
Air mataku menahan sakit yang amat perih, sekecil aku ... bisakah engkau bayangkan betapa menderitanya aku dengan kebuasan lelaki baik dan terkutuk itu?
Sakiiitttt sekali, entah apa yang ia rasakan, aku mendengar ia mengerang dengan lirih dan menidurkan tubuhnya terkulai lemah.
Aku tak mampu untuk berjalan, selangkangaku berdarah, tubuhku terbujur lunglai seketika. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Malam tiba, kudapati diriku di atas dipan, Bapak seakan-akan kasihan, "Bu, Ranti demam, kamu terlalu maksa dia kerja, masih kecil gini kok."
Sesekali ia mengompres kepalaku dengan kain basah, aki jijik, benci, dan ketakutan melihat monster jadi-jadian di depanku ini.
Ibu sedikitpun tak memperdulikan aku kenapa, atau bertanya bagaimana yang aku rasakan. Ia hanya sibuk dengan adik-adikku yang rewel.
Aku bahkan lupa, sudah berapa kali Bapak mencoba mengulangi perbuatan terkutuknya itu, dan pernah suatu ketika Bapak hampir berhasil merudapaksaku kembali, aku selalu menutup mataku saat aksinya di mulai, tangannya memaksaku untuk mencengkram benda keras yang membuatku langsung pingsan, Bapak ketakutan dan lari terbirit-birit mendengar suara Ibu tiba-tiba sudah ada.
Dengan modal nekat aku lari dari rumah, dah mencuri uang Ibu sepuluh ribu rupiah, tujuan ke mana aku tak tau, menaiki mobil tumpangan menuju perkotaan.
Setiap pertanyaan dari orang yang tidak kukenal, aku bungkam. Dimana penumpang mobil ini semua turun, aku ikut. Suasana sudah berbeda, sepertinya aku ada di sebuah kota.
Aku duduk di sebuah kedai kopi, Ibu pemilik warung ini sangat baik dan perhatian.
Melihat tubuhku yang kumal dan seperti orang gila, masih mau memberiku makan dan pakaian.
Alhasil, aku tinggal bersama meraka dan membantu sekuat tenagaku.
Lebih kurang tiga tahun, aku dianggap seperti anak sendiri, badanku yang cepat tumbuh seperti gadis membuat suami Ibu pemilik warung yang kupanggil paman, pernah mengintipku saat mandi, juga saat tidur. Bilik tidurku hanya bersekat tirai tanpa pintu.
Lama-kelamaan, sifat paman semakin berubah, terkadang ia pura-pura menggendongku, memeluk seoalah perhatian seorang Bapak dengan anak, aku jengah, dan semakin ketakutan.
Barangkali aku terlahir hanya untuk menderita, dan orang sepertiku tak layak bahagia dan mendapat kasih sayang.
Aku harus menahan kesakitan lagi, paman berhasil menodaiku dengan membekap mulut dan mengikat kakiku, ke sudut kayu dipan kecil tempat tidurku.
Aku tak kuasa meronta sedikitpun, Bibi begitu pulas dengan mimpi-mimpinya, mengantarkan lelaki bajingan yang selalu sholat lima waktu ini, merasakan kepuasan.
Aku tidak tau harus kemana lagi dan mengadu kepada siapa, aku benar-benar sendiri tak memiliki sesiapa untuk menganggapku ada.
Bagiku nasib hanyalah permainan, hidupku laksana bola dan menggelinding kemana ... di situlah aku, meski di atas bara, jurang, kubangan kotor, tak akan ada yang menyelamatkan dan mencoba menjumputku.
Wajahku tidak cantik, kulita hitam pekat, rambut keriting, menambah rupa dan bentuk tubuh ini mengurangi rasa simpati orang yang melihatku, bagai sampah yang layak disisihkan.
Seorang wanita muda lebih tua dariku, mungkin ini malaikat penolong yang membawaku untuk berlayar, paling tidak, aku ada harga, walaupun dengan nilai materi.
Dengan alasan akan membawaku bekerja di rumah makan dengan gaji lumayan, mengikutinya jauh lebih baik, dari pada jadi mangsa lelaki tua biadab yang berkedok pahlawan ini.
Dari sebuah pulau di tepian pesisir, menyebrang lautan. Aku mencoba buka mata dan berharap, matahari di seberang sana lebih indah kemilaunya untuk sebuah harapan baru untukku.
Aku Rianti, perempuan kecil, lusuh, dekil, buruk rupa, tak mengenal huruf tak sepilu mengingat siapa Ayah Ibuku, di mana saudaraku, dan siapa aku sebenarnya.
Aku harus memulai sebuah episode, di mana harga diri bisa kutukar dengan uang.
Disebuah lokalisasi.
Aku tumbuh besar di antara orang-orang kotor dan terbuang, ini memang layak untukku, sangat layak.
Wanita separuh baya yang kupanggil Mami, mengajarkanku cara mempercantik diri, entah berapa nilai diriku ditukar uang oleh wanita yang membawaku ke sini, bahkan saat aku menginjakkan kaki, wajahnya tak pernah kulihat hingga kini.
Apakah aku harus berterimakasih, atau harus mengutuknya?
Sekali lagi, aku hanya pasrah. Apa yang bisa aku perbuat? Jika anjing kotor dan menjijikkan saja, masih dikasihi makan oleh tuannya, berarti aku lebih hina dari seekor binatang, perbedaan kami hanya makhluk yang berbeda, kemiripan kami sangat banyak, tak bisa membaca, tidak tau etika, harus patuh pada majikan, jika anjing menggonggong, aku juga bisa bicara.
Setahun beradaa di lokalisasi, Mami memberiku pelanggan muda, Ia kasihan jika melihatku dijamah pria tua, terkadang ia memberiku saran, cara menggoda dan menarik hati mereka, supaya tips yang kudapat lebih banyak.
Aku bukan Rianti yang kumal lagi, kulitku mulai cerah dengan suntikan Vit-C dosis tinggi, hidung dan bibirkuku di suntik silicon, menunjang penampilanku terlihat seksi dan semakin memikat, rambut gimbalku sudah lurus dan pirang.
Sebulan sekali, tim kesehatan akan memberi suntikan khusus, pas seperti anjing rabies, supaya tidak menularkan penyakit barangkali, mana aku tau arti semua itu.
Tahun berganti, Rianti yang pemurung menjadi ceria dan ambisi, dendam yang menggunung membuatku serakah, aku benci laki-laki, bahkan berkali-kali kerap ingin membunuh mereka, yang mencoba menyakitiku.
Minuman keras, rokok, obat-obatan terlarang, menjadi konsumsi keseharian, supaya aku kuat, percaya diri, melayani lelaki yang meniduriku.
Bukan sekali dua, wanita melabrak, menjambak dan menendangku, memaki.
"baik, wanita sampah, binatang! masih berani kau merampas suamiku? kau harus ingat, Ibumu juga wanita."
Apa yang harus aku jawab?
Aku memang baik, sampah, lebih hina dari binatang.
Ibu? aku tak punya Ibu, bahkan aku tidak tau lahir dari rahim siapa.
Yang aku tau uang, makan, tidur, berdandan cantik. Sisanya menikmati hidup dalam penjara kebuasan lelaki rakus, yang memakai dasi bahkan jabatan, pun. Tak ada nilai di sini.
Kami sama-sama kotor.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Dapatkan jawabannya di Buku "Jangan Panggil Aku B, karya Ima Fatimah.

Kasih sayang manusia sungguh tiada batasnya. Sampai kita mengetahui dan menyadari siapa yang benar-benar tulus. Dan mencintai-Nya tanpa modus. Jangan berpegang pada Tuhan-mu untuk urusan dunia saja. "Jangan Panggil Aku B" mengajarkan kita arti cinta sebenar cinta.
dari narasumber seorang bujangan, gadis, duda, janda, ataupun IRT. Tentang apa itu kehilangan, kesakitan, merasa terbuang dan hampir pernah gila.
Ada kisah mengharukan di dalamnya, seorang perempuan penjajah seks. Seorang lelaki yang bercinta dengan wanita berkhianat dengan memasukkan lelaki ke dalam kamarnya tiap malam. Narasumber mengobral murah kejantanannya, memuaskan isteri dari lelaki lain. Sebagai lelaki normal jelas ia tidak menolak. Demi apa seorang isteri berbuat begitu? Demi tidak diceraikan suami. Demi mengisi rahimnya dengan janin. Miris dan tidak masuk akal, bukan? Diam-diam melakukan itu tanpa sepengetahuan suami. Adakah masih cinta suci antara keduanya?
Penulis merupakan anggota dari salah satu grup terhebat, ya. Yakni Komunitas Bisa Menulis. Di sana beberapa coretan jemarinya menjejaki tiap halaman grup.
Dirinya selalu membuka diri untuk berbaur dengan pembaca. Mendekat dari hati ke hati, melakukan jumpa temu. Sehingga banyak tercipta karya berupa kisah nyata dari narasumber.
Kata mereka tentang Penulis, Ima Fatimah.