Kaskus

Entertainment

kasihudinAvatar border
TS
kasihudin
BANJIR DARAH

BANJIR DARAHCerita Kekejaman PKI : Injak-injak Al-Qur’an dan Lecehkan Santri Putri


Sebelum G30S/PKI, pada Januari tepatnya tanggal 13. Tanggal dimana banyak yang melinangkan air mata ketika mengenang peristiwa itu.


Teror PKI menjadi penyebabnya. Sebuah teror yang para saksi sejarah berharap agar tak lagi terulang di masa depan, dimana ketika itu kebengisan dan kekejaman PKI di Kanigoro terjadi.

Saksi hidup Muawanah Ali (71), yang juga menjadi salah satu korban peristiwa kekejaman PKI di Kanigoro, selalu tak kuat menahan linangan air mata. Dia ingat jelas kejadian memilukan yang ia alami sendiri dalam acara mental training Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro.

Selama ini, menurut Muawanah, masyarakat Indonesia hanya mengetahui kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui peristiwa Gerakan 30 September PKI (G-30S/PKI). Namun, jika hendak dirunut lagi, berdasar sejarahnya, sebelum terjadi (G-30S/PKI), sudah banyak kekejaman PKI terhadap rakyat Indonesia, terutama umat muslim. Salah satunya Peristiwa Kanigoro pada 13 Januari 1965.

BANJIR DARAHBersama 125 anggota Pemuda Islam Indonesia (PII) lainnya dari seluruh Jawa Timur, Muawanah dan kawan-kawannya diserang Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI), dua ormas binaan PKI. Ketika itu, Muawanah masih berada di asrama. Ia hendak berangkat ke Masjid untuk mengikuti kuliah subuh.

Dengan sangat ganas dan tanpa aturan, beberapa Pemuda Rakyat masuk ke asrama dan menggedor-gedor pintu. Saat itu, Muawanah berada satu kamar dengan salah satu temannya dari Kertosono yang memiliki paras cantik dan manis. Karena kecantikan temannya tersebut, membuat para pemuda rakyat melakukan pelecehan seksual dengan cara meraba-raba badan dari teman sekamarnya tersebut.

Setelah melakukan pelecehan seksual, massa PKI mengambil dan melempar Al-Qur’an untuk diinjak-injak bersama-sama. “Kami masih usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketika mendapat perlakuan seperti itu, pasti takut,” ungkapnya.

Dalam situasi genting, Muawanah mencoba membuka jendela, melihat di luar, terdapat empat orang penjaga dari PII (termasuk Ibrahim Rais yang sekarang menjadi suaminya). Ketika melihat di luar, sudah ada beberapa orang penjaga dari PII, ia merasa lega dan aman. Tapi, celakanya, setelah Muawanah melihat lagi dengan lebih seksama, penjaga-penjaga tersebut sudah diikat semua oleh para anggota PKI.

Bahkan, menurut Muawanah, anggota PKI juga memaki para penjaga dari PII dengan kata-kata, “Dasar antek Belanda, Dasar antek Masyumi”. Selesai diikat, pemuda-pemuda tersebut digiring menuju Masjid dan dikumpulkan.

Setelah berhasil mengobrak-abrik asrama Putri, massa PKI keluar meninggalkan Muawanah dan temannya di dalam kamar. Situasi yang tak jauh berbeda juga terjadi di asrama putra. Disana, semua barang dan uang yang ada di asrama putra, juga dirampas. “Saya baru mengetahui terjadinya kekacauan di Masjid setelah pukul 07.00 WIB,” kenangnya

Semua laki-laki PII diikat dan dibawa ke arah timur melalui jalan tengah sawah, sambil diancam akan dibunuh, jika ada yang melawan. Semua lelaki dibawa ke kantor polisi. Sedangkan para perempuan dilepaskan, setelah beberapa dilecehkan secara seksual.

Sejak peristiwa itu, Muawanah jadi tahu, sebelum peristiwa Kanigoro, PKI sudah melakukan teror-teror sejak ia masih duduk di bangku PGA di Malang dalam bentuk lemparan batu. Hanya saja, saat itu, dirinya masih belum sadar kalau lemparan batu tersebut merupakan salah satu teror dari PKI kepada umat Islam.

Acapkali, Muawanah mengadakan demonstrasi jika terdengar suara-suara yang menginginkan agar pemerintah minta maaf kepada PKI. Suara-suara seperti itu, dalam amatan Muawanah, bias terdengar menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus. “Meskipun kita sekarang sudah tua, kami selalu mengadakan demonstrasi kepada pemerintah, jangan sampai mau untuk meminta maaf kepada PKI,” tegasnya.

Lembaran sejarah Indonesia tergores pengalaman yang amat mengerikan dengan komunisme melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi kekejaman PKI menciptakan genangan darah umat Islam di Indonesia.

Sabtu Pon, 18 September 1948, pukul 03.00 dini hari, tiga letusan pistol ditandai sebagai isyarat dimulainya pemberontakan bersenjata PKI yang dikenal dengan Madiun Affair. Inilah kudeta secara terang-terangan terhadap Indonesia yang baru berusia tiga tahun merdeka dan baru juga menderita gara-gara serangan militer Belanda di tahun sebelumnya. Betapa lemahnya Indonesia kala itu.

Itulah gambaran yang rata-rata muncul dari kesaksian orang-orang yang mengalami detik-detik peristiwa 18 September 1948 tatkala kudeta PKI diproklamasikan di Madiun. Ketika itu beribu-ribu manusia dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan senjata lainnya seperti air bah. Tanpa babibu lagi, mereka bergerak cepat dan tak terduga dari berbagai arah ke segala arah menerjang segala apa yang mereka jumpai.

Musuh utama PKI adalah umat Islam khususnya para kiai dan santri. Hal ini sangat dimengerti sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya.

Dari beragam tragedi, beberapa diantaranya banyak yang tidak diketahui. Seperti tragedi di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI.

Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kekejaman PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.

Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya.

Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian kekejaman PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.

Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan.

Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.

Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan kekejaman PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup.

Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut

Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.

Pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.

“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI.

Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman.

Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.

Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Maospati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.

Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok.

“Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.

Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan.

Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.

Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawan

“Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenuri. Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri.

Di Trenggalek, PKI juga melancarkan terornya. Mereka menyiapkan belasan jurigen bahan bakar serta telah menempatkan dinamit di bawah seluruh tiang Masjid Agung Trenggalek yang siap diledakkan. Namun Imam Masjid tersebut, K.H. Yunus tak beranjak dari mihrab tempat suci itu. Tepat jam 12 malam, dia diseret keluar masjid dan dicampakkan ke halaman oleh PKI. Setelah itu, masjid bersejarah nan megah itu dibakar dan diledakkan sampai musnah rata dengan tanah.

Sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S), Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama bercokol dan melakukan propaganda di negara Indonesia. Sejumlah peristiwa besar meletus di daerah seperti peristiwa Madiun 1948.

Sebelum melakukan propaganda pada 1948, PKI sejak 1945 banyak melakukan gerakan-gerakan di akar rumput. ”Yang harus dipahami masyarakat Gerakan 30 Sptember 1965 itu adalah sejarah kelam dan tidak boleh terulang kembali,” ungkap ahli sejarah, Restu Gunawan.

Menurut Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia ini, ada tujuh Jenderal Angkatan Darat menjadi korban pada malam jahanam 30 September 1965. Sejumlah pertanyaan saat itu muncul, siapa dalangnya? ”Dari sumber buku ‘Malam Bencana 1965’ yang saya tulis di belakang Gerakan 30 September diduga ada CIA (Central Intelligence Agency atau Badan Intelijen Amerika Serikat), PKI hingga konflik di internal angkatan saat itu,” terangnya.

Restu mengatakan, situasi pada September 1965 digambarkan Sang Proklamator Indonesia seperti ibu yang hamil tua, tinggal menunggu melahirkan saja. Kompleksitas konspirasi pada 1965 harus dipahami masyarakat Indonesia. Tidak boleh melihat dari satu titik atau sumber saja. Dan hingga hari ini, belum ada pihak yang berhasil mengungkap konspirasi itu.


”Konflik di Angkatan Darat saat itu ya memang ada, campur tangan CIA saya kira ya. Mana ada negara di dunia tidak ada campur tangan Amerika dan PKI, saya kira ya karena dari tahun sebelumnya disinyalir kuat akan melakukan gerakan,” tegasnya.

Dia menyebutkan, secara masif PKI melakukan gerakan bawah tanah dengan membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) pada 8 Oktober 1945. Kemudian pada bulan yang sama, AMRI Slawi pimpinan Sakirman dan AMRI Talang pimpinan Kutil meneror, menangkap, dan membunuh sejumlah pejabat pemerintah di Tegal.

Terpilihnya tokoh komunis Banten Ce’ Mamat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) pada 17 Oktober 1945 kemudian membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat Serang (DPRS) dan merebut pemerintahan Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massa. Runtutan pergerakan PKI yang lainnya, pada 18 Oktober 1945 tokoh komunis Tangerang, Ahmad Khoirun yang memimpin Badan Direktorium Dewan Pusat membentuk laskar yang diberi nama Ubel-Ubel dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Laskar hitam ubel-ubel Mauk pimpinan Usman membunuh Otto Iskandar Dinata pada Desember 1945.

Pada November 1945, API dan AMRI menyerbu Kantor Pemda Tegal dan Markas TKR, tapi gagal. Lalu membentuk gabungan badan perjuangan tiga daerah untuk merebut kekuasaan di Keresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal, dan Pemalang. Sebulan berikutnya Desember 1945, Ce’ Mamat kembali menculik dan membunuh Bupati Lebak R. Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak.

Tokoh PKI Cirebon pimpinan Mr Yoesoef dan Mr Soeprapto membentuk Laskar Merah pada 12 Februari 1946 lalu dan merebut kekuasaan Kota Cirebon dan melucuti TRI. Pada 3-9 Maret 1946 lalu, PKI Langkat, Sumatera Utara (Sumut) di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan dengan gerakan massa atas nama revolusi sosial menyerbu Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura, membunuh Sultan bersama keluarganya, dan menjarah harta kekayaannya.

Pada 1947, kader PKI Amir Syarifuddin Harahap berhasil jadi Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia dan membentuk kabinet. Selanjutnya, menggelar Perjanjian Renville dengan Belanda. Presiden Soekarno pada 23 Januari 1948 kemudian membubarkan Kabinet PM Amir Syarifuddin Harahap dan menunjuk Wakil Presiden (Wapres) M. Hatta untuk membentuk Kabinet baru.

Wapres M. Hatta melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) terhadap TNI dan PNS untuk dibersihkan dari unsur-unsur PKI pada 29 Mei 1948 lalu. Pada Mei 1948, Muso pulang kembali dari Moskow, Rusia setelah tinggal satu tahun di sana. Pada Juni-18 Juli 1948, PKI Klaten melalui Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) melakukan pemogokan masal untuk merongrong Pemerintah RI. Setelah memimpin FDR/ PKI pada Agustus 1948, Muso merekonstruksi Politbiro PKI, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto.

Sementara, meletusnya gerakan Madiun pada 1948 dimulai ketika Muso menyerukan RI berkiblat ke Uni Soviet. Setelah FDR dibubarkan Partai Buruh dan Partai Sosialis berfusi ke PKI. Penculikan dan pembunuhan dilakukan PKI di Madiun, pada 10 September 1948 Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Kedunggalar, Ngawi dan dibunuh, serta jenazahnya dibuang di dalam hutan.

Kemudian, September 1948 karena sering menentang PKI Dr Moewardi yang bertugas di Rumah Sakit Solo diculik dan dibunuh PKI. Begitu pula Kolonel Marhadi diculik dan dibunuh PKI di Madiun.

Masih pada bulan yang sama, PKI menculik para Kiai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.

Di sumur tersebut ditemukan 108 kerangka jenazah korban kebiadaban PKI. Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng. Selanjutnya, Kolonel Djokosujono dan Sumarsono mendeklarasikan negara Republik Soviet Indonesia dengan menunjuk Muso sebagai Presiden dan Amir Syarifuddin Harahap sebagai Perdana Menteri.

Meletusnya gerakan PKI Madiun terjadi pada September 1948 dan Divisi I Siliwangi pimpinan Kolonel Soengkono menyerang PKI dari wilayah timur dan Divisi II pimpinan Kolonel Gatot Soebroto menyerang PKI dari barat.

PKI merebut Madiun lalu menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, dan Cepu, serta kota-kota lainnya. Kekejian PKI semakin merajalela dengan menangkap 20 orang polisi dan menyiksa dan membantainya.

Bupati Blora Mr Iskandar dan Camat Margorojo, Pati Oetoro bersama tiga orang lainnya, yaitu Dr Susanto, Abu Umar dan Gunandar pun tak luput menjadi korban kebiadaban PKI Blitar. Jenazahnya kemudian ditemukan di dalam sumur di Dukuh Pohrendeng Desa Kedungringin Kecamatan Tujungan Kabupaten Blora. Untuk membuang semua jenazah korban yang mereka siksa dan bantai, PKI Magetan membuat tujuh sumur neraka. Kebiadaban PKI berhasil ditumpas, setelah Oktober 1948 para pimpinan Pemberontakan PKI di Madiun ditangkap dan dihukum mati. Mereka adalah Muso, Amir Syarifuddin, Suripno, Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo dan lainnya. ”Peristiwa Madiun 1948 merupakan bagian dari Gerakan 30 September 1965,” terang Restu.

Restu menegaskan, semua pihak pro-kontra Gerakan 30 September 1965 harus memiliki pemahaman sama untuk mengungkap sejarah dari sumber-sumber sejarah dan perkembangan ilmu dan temuan.

”Masyarakat sering histeris, karena berbeda pemahaman, hingga muncul blok-blok yang saling bermusuhan,” katanya.

Dengan penelitian secara keseluruhan akan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat. Salah satunya dengan pembuatan film Gerakan 30 September baru dengan sumber-sumber yang baru. Apalagi, film Gerakan 30 September dibuat pada 1980, dengan sumber-sumber yang terbatas.

”Kalau sekarang masyarakat sudah dapat mengakses sumber dari mana saja. Jadi saya rasa film indoktrinatif sudah tidak perlu lagi. Kalau perlu dibuat film baru dari temuan dan sumber-sumber baru, seperti hasil visum. Ini akan menjadi pembanding bagi masyarakat,” ungkapnya.

Terakhir, Restu menuturkan peristiwa 1965 dapat dibuat ulang dalam film baru berdasarkan sebelum dan sesudah Gerakan 30 September pecah, sehingga sejarah tidak berpihak pada salah satu pihak dan menyebabkan salah satu kelompok terluka.

”Sejarah berdasarkan sumber yang ada, jadi tidak tendensius dan memihak. Perlu rekontruksi kembali peritiwa 65 secara konferhensif baik sebelum atau sesudahnya. Jadi masyarakat menerima secara utuh peristiwa itu,” pungkasnya.
BANJIR DARAH




69banditosAvatar border
fachri15Avatar border
elefanaAvatar border
elefana dan 5 lainnya memberi reputasi
6
2.8K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan