buncitbubarAvatar border
TS
buncitbubar
Megaproyek 35 GW Dinilai Jadi Penyebab PLN Kelebihan Pasokan Listrik
JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menilai megaproyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) dalam periode 2015-2019, menjadi penyebab kelebihan kapasitas listrik atau over capacity yang terjadi di PT PLN (Persero).

Menurut dia, pada tahun tersebut, pemerintah terlalu optimis dengan permintaan listrik masyarakat. Pasalnya, di tahun 2014 masyarakat cenderung kesulitan dalam hal memperoleh listrik. Misalkan saja untuk keperluan industri, harus menunggu sekitar 1 tahun.

“Over capacity ini kan terjadi karena perencanaan yang terlalu optimis terhadap permintaan listrik, sehingga dimulailah megaproyek 35 GW. Program tersebut direncanakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di tahun 2014, kondisi listrik kita masih sulit, dan orang kalau mau nambah listrik harus antre,” kata Fabby kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).

Fabby mengatakan, untuk memudahkan masyarakat memperoleh listrik, pemerintah berinisiatif menjalankan megaproyek 35 GW. Di sisi lain, pemerintah juga menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 persen. Dalam perhitungan, jika ingin ekonomi tumbuh 7 persen, maka pertumbuhan listriknya juga harus di atas 8 persen.

Sejak di tahun itu, PT PLN mulai melakukan tender dan kontrak untuk PLTU dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Beberapa negara juga turut andil seperti Jepang, China, dan Korea.

Ia mengatakan beberapa perusahaan itu juga bekerja sama dengan anak usaha PLN, dan perusahaan energi swasta di tanah air. Misalkan saja perusahaan milik Kakak Menteri BUMN Erick Thohir, Garibaldi Thohir (Boy Thohir) melalui PT Adaro Energy. Ada juga Barito Pacific Milik Konglomerat Prajogo Pangestu, serta perusahaan energi, Indika Group.

Namun kata dia, seiring berjalannya program tersebut, kalangan akademisi juga sempat menyarankan adanya evaluasi target pembangunannya, karena pertumbuhan listrik tidak sesuai dengan rencana awal.

“Sudah berkali-kali diingatkan, tapi tidak dijalankan. Saya enggak tahu alasannya, tapi oleh manajemen PLN yang lama proyek 35 GW ini tetap dijalankan,” kata Fabby.

“Selama megaproyek 35 GW ini dijalankan, pertumbuhan ekonomi kita enggak pernah lebih dari 5 persen, begitu juga dengan pertumbuhan listriknya yang enggak pernah mencapai 8 persen seperti yang direncanakan,” tambahnya.

Baca juga: Stok Minim, Inden Mobil Listrik sampai Setahun

Di tahun 2020, pandemi Covid-19 merebak mendorong penguncian di seluruh dunia, dan mengurangi penggunaan energi karena mobilitas yang berkurang. Dalam kondisi force majeure atau keadaan darurat, PLN mau tidak mau melakukan negosiasi untuk menurunkan kapasitas listrik di independent power producer (IPP).

“Tahun lalu direnegosiasikan kontraknya mundur 1-2 tahun dengan alasan pandemi. Tapi menurut saya, kondisi pandemi itu force majeure, negosiasinya menurunakan capacity payment-nya. Mungkin sampai periode tertentu hingga demand-nya pulih lagi,” ungkap dia.

Singkat cerita, PLTU tersebut sudah selesai dan PLN tidak bisa menyalurkan karena permintaan listrik yang masih lemah. PLN terpaksa menanggung risiko yang tidak kecil, dengan sistem kontrak "Take or Pay" itu.

Baca juga: Konversi Kompor Elpiji Ke Kompor Listrik, Pengamat: Apa Kabar Program Jargas?

“Namanya Take or Pay ya pakai enggak pakai tetap bayar. Berapa yang dibayarkan? Tiap 1 GW mencapai Rp 3 triliun. PLN harus menanggung dan selama itu beban PLN akan tinggi, kecuali jika PLN bisa mengurangi pembangkit eksisting yang sudah tua,” ucapnya.

Dengan kondisi saat ini, PLN mencari cara dalam upaya meningkatkan penggunaan listrik di masyarakat. Maka munculah program konversi kompor elpiji ke kompor listrik atau kompor induksi. Walau demikian, konversi ini tidak sepenuhnya menjamin peningkatan kebutuhan listrik, karena tetap didasarkan pada penggunaan masyarakat.

“Dengan kompor induksi ini sebenarnya kita semua dapat keuntungan. Bisa mengatasi oversupply walaupun tidak semua, dan untuk pemerintah bisa mengurangi konsumsi elpiji tabung 3 kg, sehingga beban subsidi bisa berkurang,” ujar dia.

Baca juga: Konversi ke Kompor Listrik Dinilai Bebani Masyarakat, Ini Saran untuk Pemerintah

Di masyarakat, kompor induksi tentunya bisa lebih murah biaya listriknya jika pemerintah memberikan subsidi listrik. Menurutnya, konversi kompor epliji ke kompor listrik ini bukanlah semata-mata upaya mengalihkan beban PLN ke masyarakat, tapi ada kemudahan-kemudahan yang diberikan juga.

“Buat masyarakat kalau pakai kompor listrik tapi listriknya disubsidi ya biaya listriknya bisa lebih murah. Menurut saya, ini bukan (masalah) PLN yang dibebankan ke masyarakat. Kalau dibebankan, berarti tarif listrinya naik. Saya enggak setuju kalau ini disebut (mengalihkan) beban,” kata dia.

Baca juga: Pakai Kompor Listrik Bakal Lebih Hemat atau Boros Biaya?

Di tahun 2020, pandemi Covid-19 merebak mendorong penguncian di seluruh dunia, dan mengurangi penggunaan energi karena mobilitas yang berkurang. Dalam kondisi force majeure atau keadaan darurat, PLN mau tidak mau melakukan negosiasi untuk menurunkan kapasitas listrik di independent power producer (IPP).

“Tahun lalu direnegosiasikan kontraknya mundur 1-2 tahun dengan alasan pandemi. Tapi menurut saya, kondisi pandemi itu force majeure, negosiasinya menurunakan capacity payment-nya. Mungkin sampai periode tertentu hingga demand-nya pulih lagi,” ungkap dia.

Singkat cerita, PLTU tersebut sudah selesai dan PLN tidak bisa menyalurkan karena permintaan listrik yang masih lemah. PLN terpaksa menanggung risiko yang tidak kecil, dengan sistem kontrak "Take or Pay" itu.

Baca juga: Konversi Kompor Elpiji Ke Kompor Listrik, Pengamat: Apa Kabar Program Jargas?

“Namanya Take or Pay ya pakai enggak pakai tetap bayar. Berapa yang dibayarkan? Tiap 1 GW mencapai Rp 3 triliun. PLN harus menanggung dan selama itu beban PLN akan tinggi, kecuali jika PLN bisa mengurangi pembangkit eksisting yang sudah tua,” ucapnya.

Dengan kondisi saat ini, PLN mencari cara dalam upaya meningkatkan penggunaan listrik di masyarakat. Maka munculah program konversi kompor elpiji ke kompor listrik atau kompor induksi. Walau demikian, konversi ini tidak sepenuhnya menjamin peningkatan kebutuhan listrik, karena tetap didasarkan pada penggunaan masyarakat.

“Dengan kompor induksi ini sebenarnya kita semua dapat keuntungan. Bisa mengatasi oversupply walaupun tidak semua, dan untuk pemerintah bisa mengurangi konsumsi elpiji tabung 3 kg, sehingga beban subsidi bisa berkurang,” ujar dia.

Baca juga: Konversi ke Kompor Listrik Dinilai Bebani Masyarakat, Ini Saran untuk Pemerintah

Di masyarakat, kompor induksi tentunya bisa lebih murah biaya listriknya jika pemerintah memberikan subsidi listrik. Menurutnya, konversi kompor epliji ke kompor listrik ini bukanlah semata-mata upaya mengalihkan beban PLN ke masyarakat, tapi ada kemudahan-kemudahan yang diberikan juga.


“Buat masyarakat kalau pakai kompor listrik tapi listriknya disubsidi ya biaya listriknya bisa lebih murah. Menurut saya, ini bukan (masalah) PLN yang dibebankan ke masyarakat. Kalau dibebankan, berarti tarif listrinya naik. Saya enggak setuju kalau ini disebut (mengalihkan) beban,” kata dia.

Baca juga: Pakai Kompor Listrik Bakal Lebih Hemat atau Boros Biaya?

https://money.kompas.com/read/2022/0...strik?page=all


gabener.edan
odjay05
aldonistic
aldonistic dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.2K
86
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan