- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemerataan Dokter Masih Jadi Persoalan, Di Kota Besar, Dokter Susah Praktik


TS
Novena.Lizi
Pemerataan Dokter Masih Jadi Persoalan, Di Kota Besar, Dokter Susah Praktik
Pemerataan Dokter Masih Jadi Persoalan, Di Kota Besar, Dokter Susah Praktik
Rabu, 31 Agu 2022 - 08:47 WIB

Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi SpOT. (jawapos.com)
batampos – Kementerian Kesehatan memberikan beasiswa bagi dokter yang akan mengambil program spesialis dan subspesiali. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberi saran agar distribusi persebaran dokter juga harus diperhatikan. Selain itu pertambahan dokter harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat persuatu wilayah. Tidak bisa asal.
“Kalau Menteri Kesehatan bilang ada 170 ribu kurang, problemnya bukan hanya jumlahnya saja. Tapi problemnya dengan jumlah dokter yang sekarang itu terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia,” tutur Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi SpOT kemarin (30/8). Dia mencontohkan dokter kandungan atau obgin di Jabodetabek, jumlahnya cukup banyak. Bahkan mencapai 25 persen dari total keseluruhan dokter kandungan di Indonesia.
Terkait persebaran dokter, Adib mendorong agar negara menggunakan kekuatannya untuk melakukan distribusi. Ini harus sesuai dengan analisa kebutuhan. Jika suatu daerah lebih banyak pasien malaria, maka dokter subspesialis penyakit tropik dan infeksi lebih banyak ditempatkan. Jika dalam satu wilayah sudah overload, menurut Adib, seharusnya daerah tersebut berenti untuk memberikan surat izin praktek dan surat izin berdirinya rumah sakit.
Jika terus dibiarkan, Adib khawatir jika ada potensi penganguran dokter di daerah tertentu. “Jadi skrg ini sudah banyak yang mengeluhkan susahnya mencari tempat praktik. Soalnya nyari di jakarta dan kota besar,” tuturnya.
Lebih lanjut, Adib menyatakan pemerintah daerah harusnya memiliki pemetaan penyakit apa yang banyak terjadi di wilayahnya dan dibutuhkan dokter apa saja. Sehingga persebaran dokter ini tidak memakai kacamata pemerintah pusat, tapi menggunakan pendekatan kebutuhan tiap daerah. “Saat kita bicara kesehatan, kewenangan bukan hanya Kemenkes saja. Yang perlu kita dorong, Kemendagri harus dilibatkan dalam pembangunan kesehatan daerah. Karena pemerintah daerah garisnya ke Kemendagri,” tuturnya.
Adib juga berpendapat untuk memenuhi kekurangan dokter, seharusnya tidak diselesaikan dengan pembukaan fakultas kedokteran baru. “IDI selalu konsisten bahwa sebenarnya FK cukup,” tuturnya. Apalagi pendirian FK ini tidak lantas membuat dokter-dokter mau ke daerah. Pemerintah daerahnya pun tidak tergerak untuk memberikan fasilitas agar dokter mau praktik ke wilayahnya.
Pengamat kesehatan dr Zainal Abidin kemarin memberikan saran lain terkait beasiswa dokter spesialis. ”Karena kan normalnya dalam satu negara atau populasi, masyarakat sehat itu 80-85 persen. Artinya sebetulnya mereka itu tidak butuh pelayanan spesialis,” tuturnya. Dia menambahkan, 15 persen masyarakat yang sakit juga belum tentu membutuhkan spesialis.
Jumlah pemberian beasiswa dokter spesialis tidak boleh sembarangan. Menurut Zainal harus diperhitungkan betul. “Menurut saya kita hitung baik-baik bagaimana kita memproduksi, seberapa kebutuhan kita dalam sistem yang besar. Kemudian kita baru memproduksi (dokter, Red),” sarannya.
Penempatan dokter spesialis apalagi subspesialis juga harus ditinjau lagi. Jangan sampai dokter di tempatkan di wilayah yang tidak perlu layanan spesialis atau subspesialis. “Di daerah pedesaan, pendalaman itu atau pulau-pulau itu cukup ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, ahli sanitasi atau lingkungan,” imbuhnya.
Zainal beralasan jika biaya sekolah dokter spesialis tidak murah. Sehingga jika tidak ada perhitungan yang tepat maka bisa jadi pemborosan. (*)
https://news.batampos.co.id/pemerata...susah-praktik/
Daerah Harusnya Punya Data Kebutuhan Nakes
Rabu, 31 Agu 2022 - 08:47 WIB

Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi SpOT. (jawapos.com)
batampos – Kementerian Kesehatan memberikan beasiswa bagi dokter yang akan mengambil program spesialis dan subspesiali. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberi saran agar distribusi persebaran dokter juga harus diperhatikan. Selain itu pertambahan dokter harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat persuatu wilayah. Tidak bisa asal.
“Kalau Menteri Kesehatan bilang ada 170 ribu kurang, problemnya bukan hanya jumlahnya saja. Tapi problemnya dengan jumlah dokter yang sekarang itu terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia,” tutur Ketua Umum PB IDI dr Adib Khumaidi SpOT kemarin (30/8). Dia mencontohkan dokter kandungan atau obgin di Jabodetabek, jumlahnya cukup banyak. Bahkan mencapai 25 persen dari total keseluruhan dokter kandungan di Indonesia.
Terkait persebaran dokter, Adib mendorong agar negara menggunakan kekuatannya untuk melakukan distribusi. Ini harus sesuai dengan analisa kebutuhan. Jika suatu daerah lebih banyak pasien malaria, maka dokter subspesialis penyakit tropik dan infeksi lebih banyak ditempatkan. Jika dalam satu wilayah sudah overload, menurut Adib, seharusnya daerah tersebut berenti untuk memberikan surat izin praktek dan surat izin berdirinya rumah sakit.
Jika terus dibiarkan, Adib khawatir jika ada potensi penganguran dokter di daerah tertentu. “Jadi skrg ini sudah banyak yang mengeluhkan susahnya mencari tempat praktik. Soalnya nyari di jakarta dan kota besar,” tuturnya.
Lebih lanjut, Adib menyatakan pemerintah daerah harusnya memiliki pemetaan penyakit apa yang banyak terjadi di wilayahnya dan dibutuhkan dokter apa saja. Sehingga persebaran dokter ini tidak memakai kacamata pemerintah pusat, tapi menggunakan pendekatan kebutuhan tiap daerah. “Saat kita bicara kesehatan, kewenangan bukan hanya Kemenkes saja. Yang perlu kita dorong, Kemendagri harus dilibatkan dalam pembangunan kesehatan daerah. Karena pemerintah daerah garisnya ke Kemendagri,” tuturnya.
Adib juga berpendapat untuk memenuhi kekurangan dokter, seharusnya tidak diselesaikan dengan pembukaan fakultas kedokteran baru. “IDI selalu konsisten bahwa sebenarnya FK cukup,” tuturnya. Apalagi pendirian FK ini tidak lantas membuat dokter-dokter mau ke daerah. Pemerintah daerahnya pun tidak tergerak untuk memberikan fasilitas agar dokter mau praktik ke wilayahnya.
Pengamat kesehatan dr Zainal Abidin kemarin memberikan saran lain terkait beasiswa dokter spesialis. ”Karena kan normalnya dalam satu negara atau populasi, masyarakat sehat itu 80-85 persen. Artinya sebetulnya mereka itu tidak butuh pelayanan spesialis,” tuturnya. Dia menambahkan, 15 persen masyarakat yang sakit juga belum tentu membutuhkan spesialis.
Jumlah pemberian beasiswa dokter spesialis tidak boleh sembarangan. Menurut Zainal harus diperhitungkan betul. “Menurut saya kita hitung baik-baik bagaimana kita memproduksi, seberapa kebutuhan kita dalam sistem yang besar. Kemudian kita baru memproduksi (dokter, Red),” sarannya.
Penempatan dokter spesialis apalagi subspesialis juga harus ditinjau lagi. Jangan sampai dokter di tempatkan di wilayah yang tidak perlu layanan spesialis atau subspesialis. “Di daerah pedesaan, pendalaman itu atau pulau-pulau itu cukup ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, ahli sanitasi atau lingkungan,” imbuhnya.
Zainal beralasan jika biaya sekolah dokter spesialis tidak murah. Sehingga jika tidak ada perhitungan yang tepat maka bisa jadi pemborosan. (*)
https://news.batampos.co.id/pemerata...susah-praktik/




nomorelies dan muhamad.hanif.2 memberi reputasi
2
804
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan