- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dewan Gereja Papua: Kekejaman di Papua terjadi karena fobia Papua dan stigma


TS
mabdulkarim
Dewan Gereja Papua: Kekejaman di Papua terjadi karena fobia Papua dan stigma

Anggota Dewan Gereja Papua, Pdt Dorman Wandikmbo (kiri) bersama Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Benny Giay (tengah) menyampaikan keterangan pers di Sentani, Selasa (30/8/2022). - IST
Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua menilai kekejaman dan kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua, termasuk kasus pembunuhan dan mutilasi warga Nduga di Kabupaten Mimika, diakibatkan fobia Papua dan stigma yang berkembang di kalangan aparat keamanan Indonesia. Fobia Papua dan stigma itu berkembang dalam pikiran aparat keamanan maupun kebanyakan rakyat Indonesia karena para tokoh politik Indonesia memiliki padangan yang bias rasial yang menumbuhkan fobia Papua.
Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan persnya di Kantor Sinode GIDI, Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Selasa (30/8/2022). Dewan Gereja Papua menyatakan fobia Papua dan bias rasial terlihat dalam pernyataan publik Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas PDI Perjuangan pada 21 Juni 2022. Fobia Papua dan cara pandang yang bias rasial juga terlihat dari pernyataan publik Hendropriyono untuk memindahkan 2 juta Orang Asli Papua ke Manado, Sulawesi Utara.
Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt Benny Giay menyatakan pernyataan publik seperti yang dilontarkan Megawati dan Hendropriyono itu mengungkapkan fantasi dan psikologi mayoritas masyarakat Indonesia tentang Papua, yang dikait-kaitkan dengan monyet, ketek, koteka, pemalas, terbelakang, dan teroris. “Pernyataan itu dipahami orang Papua [sebagai hasrat] mau menghilangkan orang Papua kulit hitam dari negerinya sendiri,” katanya.
Di lapangan, fobia Papua dan stigma melahirkan turunan berupa kekerasan dan kekejaman aparat keamanan yang membabi buta terhadap Orang Asli Papua. “Mereka tidak memandang bulu. Pendeta, mantri kesehatan, guru, bupati, gubernur, Majelis Rakyat Papua, akademisi. Terakhir ini mereka memutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga di Kabupaten Mimika,” kata Giay.
Giay mengatakan fobia Papua dan stigma itu membuat Orang Asli Papua mengalami banyak masalah berat, mulai dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, marjinalisasi, diskriminasi, rasisme, pembunuhan, pemiskinan, dan berbagai kekerasan lainnya. Fobia Papua dan stigma juga membuat pemerintah membuat kebijakan yang justru tidak menyelesaikan persoalan Papua.
“Pada tahun 2019, saat warga Papua melakukan protes atas ujaran rasisme di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019, pengiriman militer terus terjadi hingga saat ini. Kemudian, pada April 2021 kelompok bersenjata dilabeli teroris. Pada tanggal 15 Juli 2021, terjadi pengesahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tanpa melibatkan Orang Asli Papua,” katanya.
Anggota Dewan Gereja Papua yang juga Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikmbo mengatakan 17 kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tanah Papua tidak berdampak bagi Orang Asli Papua. Jokowi datang ke Papua dengan mengumbar janji-janji, namun janji-janji itu tidak dipenuhi.
“Misalnya, kasus Paniai berdarah pada tahun 2014, molor bertahun-tahun. Akhirnya [Kejaksaan Agung] menetapkan [hanya ada] satu orang [tersangka dugaan pelanggaran HAM berat, yaitu] pensiunan perwira tentara yang tidak bersangkut-paut [dengan] insiden penembakan [Paniai Berdarah]. Pelaku [sesungguhnya justru] tidak diadili oleh Negara,” kata Wandikmbo.
Wandikmbo juga mengkritik rezim Jokowi yang memaksakan pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk 3 provinsi Daerah Otonom Baru (DOB). “Dengan adanya DOB, akan terjadi perampasan tanah adat untuk kepentingan investasi. Hal itu tentunya menggeser posisi masyarakat adat dari tanah adatnya, ditambah dengan berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua,” katanya.
Wandikmbo mengatakan pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil asal Kabupaten Nduga yang terjadi di Satuan Permukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022 adalah kejahatan Negara. “Pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga di Timika dan berbagai pelanggaran HAM hanya menambah luka bagi Orang Asli Papua. Janji-janji pemerintah meresahkan masyarakat kecil di Tanah Papua,” katanya. (*)
https://jubi.id/tanah-papua/2022/dew...medium=twitter
Kasus mutilasi harus dikawal dan dihukum sangat berat para prajurit TNI yang terlibat!
Semoga kunjungan Presiden skearang bisa memberikan hawa berbeda...






muhamad.hanif.2 dan 3 lainnya memberi reputasi
0
1.2K
24


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan