Kaskus

News

Novena.LiziAvatar border
TS
Novena.Lizi
Berikan Penghargaan kepada Mantan Jenderal Indonesia, Ramos-Horta Dikecam
Berikan Penghargaan kepada Mantan Jenderal Indonesia, Ramos-Horta Dikecam

- Selasa, 23 Agustus 2022 | 14:07 WIB

Berikan Penghargaan kepada Mantan Jenderal Indonesia, Ramos-Horta Dikecam
Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. (Tribun News)
DILLI (Katolikku.com) - Presiden Timor-Leste Jose Ramos Horta mendapat kecaman atas keputusannya untuk memberikan penghargaan kepada seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat Indonesia, yang diduga melanggar hak asasi manusia selama perjuangan kemerdekaan negara itu.
Presiden Ramos-Horta menghormati empat orang termasuk mantan jenderal Abdullah Mahmud Hendropriyono yang berusia 77 tahun pada 20 Agustus 2022 atas "kontribusi signifikan mereka bagi perdamaian dan stabilitas nasional."
Jenderal Andika Perkasa, Panglima Tentara Nasional Indonesia dan menantu Henropriyono, adalah penerima lain dari penghargaan yang diberikan sebagai bagian dari perayaan ulang tahun ke-47 Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional Timor Timur (FALINTIL).

“Penghargaan untuk Hendropriyono merupakan penghinaan serius terhadap perjuangan rakyat Timor-Leste yang sangat menderita dan banyak yang meninggal akibat penyiksaan dan pembunuhan,” kata Carlos da Silva Saky, salah satu pendiri The National Resistance of East Timorese Mahasiswa (RENETIL), sebuah gerakan pemuda Timor Leste pro-kemerdekaan yang dibentuk di Indonesia pada tahun 1988.
“Saya merasa sangat kecewa dan jijik. Bagaimana seorang mantan jenderal yang terlibat dalam penangkapan, intimidasi, dan teror terhadap mahasiswa Timor yang melakukan berbagai kegiatan politik di Indonesia, serta aktivis pro-demokrasi Indonesia, dapat diberi penghargaan? Dia tidak pantas mendapatkannya, tidak sama sekali," katanya.
Hendropriyono, pendukung dan mantan penasihat Presiden Joko Widodo, terlibat dalam Operasi Seroja, yang menyebabkan invasi militer Indonesia ke Timor-Leste pada tahun 1975.
Selama 1991-1993, ia menjabat sebagai panglima militer di Jakarta di mana ia dilaporkan terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap mahasiswa Timor-Leste, termasuk mereka yang tergabung dalam RENETIL, yang berdemonstrasi atas pembantaian pemuda dan mahasiswa di pemakaman umum Santa Cruz di Dili pada 12 November 1991.
Pada tahun 1999, sebagai Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Kembali, Hendropriyono dilaporkan mendanai milisi pro-Indonesia sebelum referendum.
Hendropriyono juga menjadi Kepala Badan Intelijen Negara dalam pembunuhan tahun 2004 Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka yang membantu mengungkap bukti tanggung jawab militer atas pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Papua dan Timor Leste.
Menurut bocoran kabel diplomatik AS pada tahun 2011, Hendropriyono terlibat dalam rencana pembunuhan Munir, meskipun ia selalu membantah tuduhan dan menolak untuk diinterogasi dalam prosedur persidangan yang berbeda.
Ivo Mateus Goncalves da Cruz Fernandes, yang meneliti di Universitas Nasional Australia tentang sejarah gerakan mahasiswa Timor-Leste, mengatakan Presiden Ramos-Horta, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1996, "sangat cepat terserang amnesia" oleh pemberian penghargaan kepada Hendropriyono.
"Presiden ini sepertinya lupa bahwa dia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian untuk memperjuangkan hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan hak asasi manusia, penghargaan yang dia menangkan untuk ratusan ribu nyawa manusia yang hilang selama konflik Timor-Leste," katanya kepada UCA News.
Dia mengatakan, dalam konteks politik luar negeri Timor-Leste, "Jalan Presiden Ramos Horta sangat pragmatis, mungkin dia tidak mengerti politik Indonesia dengan baik."
“Hendropriyono adalah salah satu orang terkuat di militer, bahkan hegemoni ini masih berlanjut pada masa Presiden Widodo. Tapi saya kira kecenderungan ini akan terus berkurang, seiring dengan munculnya perwira-perwira baru yang berwawasan lebih maju, yang tidak bergantung pada pengaruh Hendropriyono," katanya.
Netizen Timor turun ke media sosial untuk mengkritik penghargaan tersebut.
"Tidak ada jaminan bahwa negara yang menjadi korban penjajahan akan menghormati hak asasi manusia," tulis Armindo Moniz Amaral di Facebook.

Sebuah bekas jajahan Portugis, Timor-Leste yang mayoritas Katolik mencapai kemerdekaan pada tahun 2002 setelah 24 tahun pendudukan Indonesia.
Sebuah laporan oleh Komisi PBB untuk Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) memperkirakan bahwa sekitar 102.800 orang tewas selama konflik.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah kedua negara mengesampingkan isu pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam kunjungan Presiden Ramos-Horta ke Jakarta bulan lalu, dia tidak membahas masalah itu, hanya fokus pada kerja sama di berbagai sektor, seperti ekonomi, pembangunan, investasi, dan pendidikan. ***

https://www.katolikku.com/news/pr-16...kecam?page=all

Diubah oleh Novena.Lizi 23-08-2022 17:23
nomoreliesAvatar border
AparatkaskusAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan 4 lainnya memberi reputasi
1
1.1K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan