- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Segera, Batasi Mobil Minum Pertalite Atau Naikkan Harga BBM Subsidi


TS
diesvi
Segera, Batasi Mobil Minum Pertalite Atau Naikkan Harga BBM Subsidi
Sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi, Pertalite maupun Solar, semakin kencang terdengar. Tengok lah, pemerintah berkali-kali menjerit anggaran negara 'tidak kuat' lagi menahan harga jual Pertalite saat ini.
Harga jual Pertalite saat ini Rp7.650 per liter. Padahal, menurut hitung-hitungan pemerintah, harga keekonomiannya seharusnya Rp17.100 per liter. Begitu pula dengan Solar yang dibanderol Rp5.150, padahal harga keekonomiannya Rp19 ribu per liter.
Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menghitung ulang kemampuan APBN menahan harga Pertalite dan Solar subsidi dengan lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini.
"Pertalite, Pertamax, Solar, LPG, dan listrik ini bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian," ungkap Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022.
Ia mengatakan pemerintah menggelontorkan Rp502 triliun untuk menahan harga BBM, LPG, dan tarif listrik dengan daya di bawah 3.500 VA pada 2022. Tetapi, Jokowi khawatir dana tersebut tak cukup sampai akhir tahun.
Ini adalah yang kesekian kalinya Jokowi menyinggung soal harga BBM bersubsidi. Beberapa menterinya juga kerap kali menyentil soal harga komoditas itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bahwa rencana kenaikan BBM Pertalite memang sedang dibahas lintas Kementerian terkait.
"Lagi dibahas (harga Pertalite)," ujar Arifin singkat saat ditemui di Gedung DPR RI usai Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8).
Tetapi, Airlangga memastikan pemerintah mempertimbangkan banyak faktor sebelum mengambil keputusan soal kenaikan harga Pertalite dan Solar.
Pertama, soal potensi kenaikan inflasi. Kedua, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kebutuhan kompensasi yang diperlukan sebagai bantalan sosial (bansos) untuk membantu masyarakat yang terimbas kenaikan harga BBM.
Sri Mulyani juga pernah meminta pembatasan penjualan BBM subsidi. Menurutnya, alokasi subsidi energi Rp502 triliun rentan jebol jika penyaluran Solar dan Pertalite melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah.
Jika memang pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi khususnya Pertalite, berapa besaran yang pas untuk menjual komoditas tersebut?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan idealnya harga Pertalite dinaikkan sesuai keekonomian.
"Kenapa? Karena untuk menutupi biaya pengadaannya kan, kalau enggak nanti Pertamina yang akan menanggung. Jadi, yang sesuai dengan harga itu," kata Fabby kepada CNNIndonesia.com, Jumat (19/8).
Harga keekonomian disini berarti nilai pengadaan di Pertamina, ditambah pajak di SPBU dan biaya-biaya lainnya.
"Kalau saya hitung-hitung di antara angka Rp13 ribu sampai Rp14 ribu per liter. Ini kan harganya fluktuatif bergantung harga minyak yang bergerak mulai US$100 - US$115 per barel. Tetapi, Pertalite ini kan bukan minyak mentah, sudah refine product," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan besaran yang pas untuk kenaikan BBM bersubsidi adalah Rp10 ribuan per liter.
"Kenaikan ini buat saya cukup rasional dan tidak terlalu membebani bagi masyarakat. Saya kira langsung aja nggak usah bertahap. Risikonya sama saja, biar gak berulang kali cost sosial yang harus dikeluarkan," kata Mamit.
Pilihan lain apabila pemerintah enggan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka Fabby usul, segera lah lakukan pembatasan.
Misalnya, ia mengatakan melarang kendaraan roda empat atau mobil menggunakan pertalite. Contoh, hanya sepeda motor yang bisa menggunakan BBM subsidi.
"Kalau menurut saya pemerintah langsung saja larang mobil pakai Pertalite, kalau pun mau pakai Pertalite, bayar dengan harga keekonomian. Jadi, jangan dihapus semua subsidinya, sekarang kuota yang ada diatur saja, tapi harus cepat keputusan itu harus minggu ini," imbuh Fabby.
Menurut ia, dengan kondisi saat ini masyarakat juga harus ikut menanggung beban dari lonjakan harga energi. Dengan begitu, hanya kelompok yang layak mendapatkan subsidi saja yang dapat menikmati harga murah dari BBM tersebut.
Sementara Mamit berpendapat sebaiknya kenaikan harga Pertalite dan Solar ditunda. Alasannya, pertama, kenaikan tersebut pasti akan berdampak terhadap daya beli masyarakat. Sebab, akan terjadi kenaikan harga barang serta harga jasa yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
"Tinggal pemerintah harus memberikan stimulus tambahan bagi masyarakat terdampak. Misalnya dengan memberikan BLT atau kebijakan lain bagi masyarakat rentan. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi covid-19," katanya.
Kedua, kenaikan ini bisa memberikan dampak sosial di masyarakat yang berakibat bisa terganggunya iklim investasi di Indonesia.
"Aksi penolakan, saya kira, akan banyak dilakukan oleh elemen masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikan dampak sosial tersebut. Apakah bisa segera diamankan atau akan berkelanjutan," imbuhnya.
Lebih lanjut, tuntutan kenaikan upah pasti akan terjadi seiring meningkatnya beban ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, revisi perpres 191/2014 menjadi poin penting dalam mengatur konsumsi komoditas tersebut.
Adapun, data PT Pertamina (Persero) menyebutkan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter (kl) hingga Juli 2022.
Artinya, kuota Pertalite hingga akhir tahun ini hanya tersisa 6,25 juta kl dari total kuota yang ditetapkan tahun ini sebanyak 23,05 juta kl.
Kemudian, penyaluran BBM subsidi jenis Solar juga telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Sehingga, sisa kuota Solar hingga akhir tahun hanya tersisa 5,2 juta kl dari total kuota 15,1 kl.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi...-bbm-subsidi/2
Harga jual Pertalite saat ini Rp7.650 per liter. Padahal, menurut hitung-hitungan pemerintah, harga keekonomiannya seharusnya Rp17.100 per liter. Begitu pula dengan Solar yang dibanderol Rp5.150, padahal harga keekonomiannya Rp19 ribu per liter.
Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menghitung ulang kemampuan APBN menahan harga Pertalite dan Solar subsidi dengan lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini.
"Pertalite, Pertamax, Solar, LPG, dan listrik ini bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian," ungkap Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022.
Ia mengatakan pemerintah menggelontorkan Rp502 triliun untuk menahan harga BBM, LPG, dan tarif listrik dengan daya di bawah 3.500 VA pada 2022. Tetapi, Jokowi khawatir dana tersebut tak cukup sampai akhir tahun.
Ini adalah yang kesekian kalinya Jokowi menyinggung soal harga BBM bersubsidi. Beberapa menterinya juga kerap kali menyentil soal harga komoditas itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bahwa rencana kenaikan BBM Pertalite memang sedang dibahas lintas Kementerian terkait.
"Lagi dibahas (harga Pertalite)," ujar Arifin singkat saat ditemui di Gedung DPR RI usai Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8).
Tetapi, Airlangga memastikan pemerintah mempertimbangkan banyak faktor sebelum mengambil keputusan soal kenaikan harga Pertalite dan Solar.
Pertama, soal potensi kenaikan inflasi. Kedua, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kebutuhan kompensasi yang diperlukan sebagai bantalan sosial (bansos) untuk membantu masyarakat yang terimbas kenaikan harga BBM.
Sri Mulyani juga pernah meminta pembatasan penjualan BBM subsidi. Menurutnya, alokasi subsidi energi Rp502 triliun rentan jebol jika penyaluran Solar dan Pertalite melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah.
Jika memang pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi khususnya Pertalite, berapa besaran yang pas untuk menjual komoditas tersebut?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan idealnya harga Pertalite dinaikkan sesuai keekonomian.
"Kenapa? Karena untuk menutupi biaya pengadaannya kan, kalau enggak nanti Pertamina yang akan menanggung. Jadi, yang sesuai dengan harga itu," kata Fabby kepada CNNIndonesia.com, Jumat (19/8).
Harga keekonomian disini berarti nilai pengadaan di Pertamina, ditambah pajak di SPBU dan biaya-biaya lainnya.
"Kalau saya hitung-hitung di antara angka Rp13 ribu sampai Rp14 ribu per liter. Ini kan harganya fluktuatif bergantung harga minyak yang bergerak mulai US$100 - US$115 per barel. Tetapi, Pertalite ini kan bukan minyak mentah, sudah refine product," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan besaran yang pas untuk kenaikan BBM bersubsidi adalah Rp10 ribuan per liter.
"Kenaikan ini buat saya cukup rasional dan tidak terlalu membebani bagi masyarakat. Saya kira langsung aja nggak usah bertahap. Risikonya sama saja, biar gak berulang kali cost sosial yang harus dikeluarkan," kata Mamit.
Pilihan lain apabila pemerintah enggan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka Fabby usul, segera lah lakukan pembatasan.
Misalnya, ia mengatakan melarang kendaraan roda empat atau mobil menggunakan pertalite. Contoh, hanya sepeda motor yang bisa menggunakan BBM subsidi.
"Kalau menurut saya pemerintah langsung saja larang mobil pakai Pertalite, kalau pun mau pakai Pertalite, bayar dengan harga keekonomian. Jadi, jangan dihapus semua subsidinya, sekarang kuota yang ada diatur saja, tapi harus cepat keputusan itu harus minggu ini," imbuh Fabby.
Menurut ia, dengan kondisi saat ini masyarakat juga harus ikut menanggung beban dari lonjakan harga energi. Dengan begitu, hanya kelompok yang layak mendapatkan subsidi saja yang dapat menikmati harga murah dari BBM tersebut.
Sementara Mamit berpendapat sebaiknya kenaikan harga Pertalite dan Solar ditunda. Alasannya, pertama, kenaikan tersebut pasti akan berdampak terhadap daya beli masyarakat. Sebab, akan terjadi kenaikan harga barang serta harga jasa yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
"Tinggal pemerintah harus memberikan stimulus tambahan bagi masyarakat terdampak. Misalnya dengan memberikan BLT atau kebijakan lain bagi masyarakat rentan. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi covid-19," katanya.
Kedua, kenaikan ini bisa memberikan dampak sosial di masyarakat yang berakibat bisa terganggunya iklim investasi di Indonesia.
"Aksi penolakan, saya kira, akan banyak dilakukan oleh elemen masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikan dampak sosial tersebut. Apakah bisa segera diamankan atau akan berkelanjutan," imbuhnya.
Lebih lanjut, tuntutan kenaikan upah pasti akan terjadi seiring meningkatnya beban ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, revisi perpres 191/2014 menjadi poin penting dalam mengatur konsumsi komoditas tersebut.
Adapun, data PT Pertamina (Persero) menyebutkan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter (kl) hingga Juli 2022.
Artinya, kuota Pertalite hingga akhir tahun ini hanya tersisa 6,25 juta kl dari total kuota yang ditetapkan tahun ini sebanyak 23,05 juta kl.
Kemudian, penyaluran BBM subsidi jenis Solar juga telah mencapai 9,9 juta kl hingga Juli 2022. Sehingga, sisa kuota Solar hingga akhir tahun hanya tersisa 5,2 juta kl dari total kuota 15,1 kl.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi...-bbm-subsidi/2






nomorelies dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.7K
31


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan