- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sejarah Perploncoan Di Indonesia


TS
hendra.fokker
Sejarah Perploncoan Di Indonesia
Ramainya dugaan kegiatan perploncoan yang terjadi di lembaga pendidikan belakangan ini tentu saja memiliki latar belakang sejarahnya. Terlebih pada masa-masa kolonialisme di Indonesia.
Adalah sistem pengenalan lingkungan pendidikan bagi seorang siswa baru. Dimana pada masa kolonial Belanda, hal itu diterapkan sebagai bentuk orientasi awal dalam lingkungan pendidikan. Khususnya bagi siswa di STOVIA kala itu.
Tetapi bukan mengarah kepada aksi-aksi kekerasan fisik ataupun verbal. Melainkan kepada pengenalan terhadap sistem pendidikan yang sarat dengan aturan. Karena sistem perploncoan pada masa ini tidak mentoleransi adanya aksi kekerasan. Apalagi kegiatan orientasi dilakukan pada waktu belajar atau istirahat.
Berbeda masa Belanda, maka berbeda pula masa pendudukan Jepang. Dimana pada masa ini, kegiatan perploncoan diorientasikan lebih kepada pendekatan militeristik. Karena sifatnya tidak lain bertujian untuk membela kepentingan perang Jepang.
Sistem kekerasan fisik dan verbal mulai diterapkan, yang tujuannya untuk membangun mental seorang siswa baru. Baik dalam lingkungan pendidikan, atau militer.
Maka wajar, bila pada masa Jepang, sistem perploncoan identik dengan peraturan gundulisasi bagi setiap siswa baru. Baik atribut ataupun berbagai identitas yang mencirikan diri sebagai seorang siswa baru.
Kegiatan ini terus berkembang seiring proses kemerdekaan Indonesia. Walau lebih diproyeksikan dalam pendekatan berbasis Nasionalisme. Walau aksi-aksi "kekerasan" lebih mengarah pada tujuan pendisiplinan.
Sebuah kegiatan yang kelak dikenal dengan istilah ospek pada era kekinian. Terlebih ketika eksistensi senioritas lebih dominan dalam peranannya menjalankan kegiatan perploncoan tersebut.
Maka tidak dapat dielakkan, jika, unsur-unsur kekerasan fisik ataupun verbal kembali mengemuka. Tentu tidak menutup kemungkinan, bahwa aksi-aksi yang bersifat negatif kerap terjadi dalam rangkaian kegiatan tersebut.
Tentu hal ini tidaklah menjadi harapan kita semua. Tatkala pendidikan Indonesia mulai berkembang ke arah yang lebih humanisasi, aksi-aksi negatif dalam kegiatan ospek yang terjadi kini ibarat anti-klimaks dari tujuan merdeka belajar.
Semoga hal ini tidak menjadi trend di lingkungan pendidikan. Khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Terlebih bagi kalangan kampus yang masih memperkenalkan opsi orientasi mahasiswa baru layaknya masa pendudukan Belanda atau Jepang.
Adalah sistem pengenalan lingkungan pendidikan bagi seorang siswa baru. Dimana pada masa kolonial Belanda, hal itu diterapkan sebagai bentuk orientasi awal dalam lingkungan pendidikan. Khususnya bagi siswa di STOVIA kala itu.
Tetapi bukan mengarah kepada aksi-aksi kekerasan fisik ataupun verbal. Melainkan kepada pengenalan terhadap sistem pendidikan yang sarat dengan aturan. Karena sistem perploncoan pada masa ini tidak mentoleransi adanya aksi kekerasan. Apalagi kegiatan orientasi dilakukan pada waktu belajar atau istirahat.
Berbeda masa Belanda, maka berbeda pula masa pendudukan Jepang. Dimana pada masa ini, kegiatan perploncoan diorientasikan lebih kepada pendekatan militeristik. Karena sifatnya tidak lain bertujian untuk membela kepentingan perang Jepang.
Sistem kekerasan fisik dan verbal mulai diterapkan, yang tujuannya untuk membangun mental seorang siswa baru. Baik dalam lingkungan pendidikan, atau militer.
Maka wajar, bila pada masa Jepang, sistem perploncoan identik dengan peraturan gundulisasi bagi setiap siswa baru. Baik atribut ataupun berbagai identitas yang mencirikan diri sebagai seorang siswa baru.
Kegiatan ini terus berkembang seiring proses kemerdekaan Indonesia. Walau lebih diproyeksikan dalam pendekatan berbasis Nasionalisme. Walau aksi-aksi "kekerasan" lebih mengarah pada tujuan pendisiplinan.
Sebuah kegiatan yang kelak dikenal dengan istilah ospek pada era kekinian. Terlebih ketika eksistensi senioritas lebih dominan dalam peranannya menjalankan kegiatan perploncoan tersebut.
Maka tidak dapat dielakkan, jika, unsur-unsur kekerasan fisik ataupun verbal kembali mengemuka. Tentu tidak menutup kemungkinan, bahwa aksi-aksi yang bersifat negatif kerap terjadi dalam rangkaian kegiatan tersebut.
Tentu hal ini tidaklah menjadi harapan kita semua. Tatkala pendidikan Indonesia mulai berkembang ke arah yang lebih humanisasi, aksi-aksi negatif dalam kegiatan ospek yang terjadi kini ibarat anti-klimaks dari tujuan merdeka belajar.
Semoga hal ini tidak menjadi trend di lingkungan pendidikan. Khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Terlebih bagi kalangan kampus yang masih memperkenalkan opsi orientasi mahasiswa baru layaknya masa pendudukan Belanda atau Jepang.




novitadesywi487 dan las.kolas memberi reputasi
2
718
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan