- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
- Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang 


TS
mojokdotco
Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang
Musimin terpaksa menolak permintaan untuk ekspor kopi ke Jepang. Ia sudah berusaha mengumpulkan biji kopi dari petani di lereng Merapi di wilayah DIY, tapi jumlahnya tak cukup banyak untuk memenuhi permintaan. 
Tawaran dari lembaga untuk menanam bibit kopi hasil entres atau bibit unggul agar tanaman kopi lebih produktif juga ditolaknya. Ia lebih percaya pada bibit-bibit yang memang sudah ada di alam.
Motor matik 125cc berumur sewindu ini saya kebut menelusuri jalan menanjak di Turgo, Pakem, Sleman. Mendekati lereng Gunung Merapi. Sebuah plang penanda tempat tujuan tampak di kiri jalan dari arah selatan. Tanda saya harus berbelok.
Ban motor yang sudah agak halus ini dituntut menapaki jalan batu yang sudah berlumut sepanjang seratus meter. Setelah itu, saya tiba di halaman sebuah rumah sederhana, seperti jalanan tadi gentingnya sudah banyak ditumbuhi lumut. Rumah ini tepat berada di bawah bukit Turgo.
Sepasang suami istri yang sedang beraktivitas, ramah menyambut saya. Pak Musimin yang sedang membuat kandang ayam meletakkan palu dan gergajinya. Begitu pula, Sarinah sang istri yang menghentikan gerakan tangan menyapu dedaunan.
Mereka berdua mengarahkan saya menaiki beberapa anak tangga ke sisi utara rumahnya, menuju sebuah bangunan yang didominasi gedhek bambu dan kayu. Di sinilah, sebuah kedai kopi sederhana yang mereka kelola berada. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, saya jadi pelanggan pertama hari ini.
Sarinah segera menyiapkan secangkir kopi tubruk dengan biji arabika dari perkebunan Merapi yang saya pesan. Sembari menunggu, mata ini mengamati sekitar. Di dalam kedai, beragam spesies anggrek bertengger di dinding. Menambah kesan ‘hijau’ tempat ini. Sebab tanpa itu pun, ruang yang hanya dikelilingi gedhek dan pagar kayu yang renggang ini membuat pengunjung bisa melihat langsung alam sekitar yang penuh tumbuhan.
“Sebelumnya sudah pernah ke sini Mas?” tanya Sarinah dengan bahasa Jawa halus sambil mengantar kopi ke meja saya.

Saya pernah kemari pada Januari lalu. Namun, saat itu tak sempat berbincang banyak dengan pemilik kedai ini lantaran pengunjung sedang ramai. Kali ini, mumpung sepi saya berkesempatan berbincang banyak dengan Musimin dan Sarinah.
Mengenal kopi
Beberapa seruput kopi, Musimin pun datang dan duduk di hadapan saya. Pria ini langsung menyalakan sebatang rokok Djarum Coklat miliknya dan bercerita bagaimana awal ia menjajakan cangkir demi cangkir hasil seduhan biji kopi dari lereng Merapi.
“Sebenarnya belum lama, sekitar tahun 2018 saya buka kedai,” katanya.
Meski kedainya masih terhitung baru, kedekatan Musimin dengan kopi sudah terjalin lama. Kopi merupakan salah satu jenis komoditas yang banyak ditanam di lahan-lahan petani lereng Merapi. Namun, dulu ia mengenal kopi ala kadarnya.
“Saya belum tau cara merawat dan pengolahan yang baik,” jelasnya singkat.
Sampai tahun 2017, Sulistyono, peneliti dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma mengenalkan Musimin pada Firmansyah atau akrab Pepeng dari Klinik Kopi, Sleman. Pepeng yang semula sekadar memesan beberapa kilogram biji kopi, ternyata membuat Musimin sadar bahwa kopi Merapi punya nilai lebih jika benar dalam merawat dan mengolahnya.
 
Masih lekat dalam ingatan Musimin, suatu hari Pepeng mengumpulkan beberapa petani kopi di Turgo. Pepeng mengajak mereka menjajal seduhan biji hasil roasting dari Klinik Kopi. Setelah mencobanya, para petani mengakui kenikmatan rasa dan bertanya dari mana asal kopi tersebut.
“Ya ini kopi yang diambil dari sini,” ujar Musimin tertawa, menirukan penjelasan Pepeng kala itu.
Sejak saat itulah, Musimin dan sejumlah petani kopi lain menyadari potensi kopi yang mereka tanam di kebun. Hal itu juga yang membuat pria ini akhirnya membuka kedai kopi sendiri.
Dahulu, kedai milik Musimin berada di pinggir jalan raya. Di seberang gang kecil berbatu yang saya lewati tadi. Konsep makanan dan minuman yang disajikan serupa, hanya saja tempatnya berbeda. Baru sejak 2020, Musimin kepikiran untuk memanfaatkan lahan di samping rumahnya untuk membuat kedai baru.
Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi. Pertama ia ingin kedainya lebih dekat dan menyatu dengan rumahnya. Sedangkan alasan kedua, ia lelah wira-wiri dari kedai ke rumah untuk mengantarkan pelanggan yang ingin melihat anggrek yang ia tangkarkan.
Hidup untuk konservasi
Alasan kedua itulah yang akan membawa kita mengenal lebih jauh sosok Musimin. Pria kelahiran 3 Agustus 1965 ini sejak lama dikenal sebagai sosok yang berusaha melindungi beragam kekayaan alam di lereng Merapi. Anggrek jadi salah satu yang paling ia jaga.
Sejak 1996 Musimin sudah punya perhatian khusus kepada anggrek. Selama lebih dari dua dekade, pria ini sudah menangkar sekitar 80 spesies anggrek yang beberapa di antaranya merupakan spesies khas kawasan Gunung Merapi.
Lahir dan tumbuh besar di Turgo membuat Musimin ingat, dahulu anggrek merupakan barang yang mudah sekali ditemukan di hutan. Namun belakangan, hal itu berubah. Beberapa erupsi besar, membuat habitat anggrek di lereng selatan bagian barat rusak. Momen erupsi 1994 adalah titik di mana kesadaran Musimin untuk menjaga anggrek di lereng Merapi mulai terbangun.

Sumber dan Selengkapnya: Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang
Tawaran dari lembaga untuk menanam bibit kopi hasil entres atau bibit unggul agar tanaman kopi lebih produktif juga ditolaknya. Ia lebih percaya pada bibit-bibit yang memang sudah ada di alam.
Motor matik 125cc berumur sewindu ini saya kebut menelusuri jalan menanjak di Turgo, Pakem, Sleman. Mendekati lereng Gunung Merapi. Sebuah plang penanda tempat tujuan tampak di kiri jalan dari arah selatan. Tanda saya harus berbelok.
Ban motor yang sudah agak halus ini dituntut menapaki jalan batu yang sudah berlumut sepanjang seratus meter. Setelah itu, saya tiba di halaman sebuah rumah sederhana, seperti jalanan tadi gentingnya sudah banyak ditumbuhi lumut. Rumah ini tepat berada di bawah bukit Turgo.
Sepasang suami istri yang sedang beraktivitas, ramah menyambut saya. Pak Musimin yang sedang membuat kandang ayam meletakkan palu dan gergajinya. Begitu pula, Sarinah sang istri yang menghentikan gerakan tangan menyapu dedaunan.
Mereka berdua mengarahkan saya menaiki beberapa anak tangga ke sisi utara rumahnya, menuju sebuah bangunan yang didominasi gedhek bambu dan kayu. Di sinilah, sebuah kedai kopi sederhana yang mereka kelola berada. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, saya jadi pelanggan pertama hari ini.
Sarinah segera menyiapkan secangkir kopi tubruk dengan biji arabika dari perkebunan Merapi yang saya pesan. Sembari menunggu, mata ini mengamati sekitar. Di dalam kedai, beragam spesies anggrek bertengger di dinding. Menambah kesan ‘hijau’ tempat ini. Sebab tanpa itu pun, ruang yang hanya dikelilingi gedhek dan pagar kayu yang renggang ini membuat pengunjung bisa melihat langsung alam sekitar yang penuh tumbuhan.
“Sebelumnya sudah pernah ke sini Mas?” tanya Sarinah dengan bahasa Jawa halus sambil mengantar kopi ke meja saya.

Saya pernah kemari pada Januari lalu. Namun, saat itu tak sempat berbincang banyak dengan pemilik kedai ini lantaran pengunjung sedang ramai. Kali ini, mumpung sepi saya berkesempatan berbincang banyak dengan Musimin dan Sarinah.
Mengenal kopi
Beberapa seruput kopi, Musimin pun datang dan duduk di hadapan saya. Pria ini langsung menyalakan sebatang rokok Djarum Coklat miliknya dan bercerita bagaimana awal ia menjajakan cangkir demi cangkir hasil seduhan biji kopi dari lereng Merapi.
“Sebenarnya belum lama, sekitar tahun 2018 saya buka kedai,” katanya.
Meski kedainya masih terhitung baru, kedekatan Musimin dengan kopi sudah terjalin lama. Kopi merupakan salah satu jenis komoditas yang banyak ditanam di lahan-lahan petani lereng Merapi. Namun, dulu ia mengenal kopi ala kadarnya.
“Saya belum tau cara merawat dan pengolahan yang baik,” jelasnya singkat.
Sampai tahun 2017, Sulistyono, peneliti dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma mengenalkan Musimin pada Firmansyah atau akrab Pepeng dari Klinik Kopi, Sleman. Pepeng yang semula sekadar memesan beberapa kilogram biji kopi, ternyata membuat Musimin sadar bahwa kopi Merapi punya nilai lebih jika benar dalam merawat dan mengolahnya.
Masih lekat dalam ingatan Musimin, suatu hari Pepeng mengumpulkan beberapa petani kopi di Turgo. Pepeng mengajak mereka menjajal seduhan biji hasil roasting dari Klinik Kopi. Setelah mencobanya, para petani mengakui kenikmatan rasa dan bertanya dari mana asal kopi tersebut.
“Ya ini kopi yang diambil dari sini,” ujar Musimin tertawa, menirukan penjelasan Pepeng kala itu.
Sejak saat itulah, Musimin dan sejumlah petani kopi lain menyadari potensi kopi yang mereka tanam di kebun. Hal itu juga yang membuat pria ini akhirnya membuka kedai kopi sendiri.
Dahulu, kedai milik Musimin berada di pinggir jalan raya. Di seberang gang kecil berbatu yang saya lewati tadi. Konsep makanan dan minuman yang disajikan serupa, hanya saja tempatnya berbeda. Baru sejak 2020, Musimin kepikiran untuk memanfaatkan lahan di samping rumahnya untuk membuat kedai baru.
Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi. Pertama ia ingin kedainya lebih dekat dan menyatu dengan rumahnya. Sedangkan alasan kedua, ia lelah wira-wiri dari kedai ke rumah untuk mengantarkan pelanggan yang ingin melihat anggrek yang ia tangkarkan.
Hidup untuk konservasi
Alasan kedua itulah yang akan membawa kita mengenal lebih jauh sosok Musimin. Pria kelahiran 3 Agustus 1965 ini sejak lama dikenal sebagai sosok yang berusaha melindungi beragam kekayaan alam di lereng Merapi. Anggrek jadi salah satu yang paling ia jaga.
Sejak 1996 Musimin sudah punya perhatian khusus kepada anggrek. Selama lebih dari dua dekade, pria ini sudah menangkar sekitar 80 spesies anggrek yang beberapa di antaranya merupakan spesies khas kawasan Gunung Merapi.
Lahir dan tumbuh besar di Turgo membuat Musimin ingat, dahulu anggrek merupakan barang yang mudah sekali ditemukan di hutan. Namun belakangan, hal itu berubah. Beberapa erupsi besar, membuat habitat anggrek di lereng selatan bagian barat rusak. Momen erupsi 1994 adalah titik di mana kesadaran Musimin untuk menjaga anggrek di lereng Merapi mulai terbangun.

Sumber dan Selengkapnya: Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang


InRealLife memberi reputasi
-1
983
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan