- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Damai Sesaat di Istana, Kala Gus Dur Selesai Shalat Malam Jelang Dilengserkan MPR..


TS
mabdulkarim
Damai Sesaat di Istana, Kala Gus Dur Selesai Shalat Malam Jelang Dilengserkan MPR..

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.(KOMPAS/JB Suratno) Penulis Vitorio Mantalean | Editor Bagus Santosa
JAKARTA, KOMPAS.com - Dini hari itu, 21 Juli 2001, sekitar pukul 03.00, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid seorang diri di kamarnya, yang terletak di belakang ruangan Bendera Pusaka, di Istana Merdeka, Jakarta.
Saat itu, di luar Istana, suara dari massa yang mengeklaim diri demonstran masih bertalu-talu. Unjuk rasa kala itu sedang besar-besarnya, bagian dari operasi politik menjatuhkan Gus Dur dengan lebih dulu menjatuhkan reputasinya.
Kekuatan Orde Baru yang berjaya di zaman Soeharto sedang terancam oleh berbagai tindakan Gus Dur dalam masa kepemimpinannya yang baru setahunan. Salah satu contohnya, Gus Dur "mengotak-atik" Badan Urusan Logistik (Bulog) yang sebelumnya erat dengan Golkar.
Jaksa Agung kabinet Gus Dur, Baharuddin Lopa, langsung diberi lampu hijau begitu hendak membuka kasus kebocoran dana Bulog sekitar Rp 90 miliar yang diduga melibatkan berbagai nama mentereng, termasuk Akbar Tandjung, Ketua DPR RI saat itu.
Parlemen yang semula mengangkat diri Gus Dur sebagai presiden, saat itu justru sepakat menjatuhkannya dengan tuduhan skandal aliran dana bantuan Sultan Brunei (Bruneigate) dan skandal Bulog (Buloggate).
Berbagai fitnah dilancarkan pada Gus Dur dan keluarga lewat rangkaian aksi unjuk rasa dan pemberitaan media-media massa besar yang memang terafiliasi dengan gurita bisnis Cendana.
"Itu momen panjang. Mulai dari menghadapi headline-headline yang menyudutkan, mem-framing, mengatakan hal-hal yang tidak pernah ada, kemudian menghadapi publik yang mendapatkan berita itu dan memercayai hal tersebut dan memproyeksikannya kepada kami. Menyakitkan," ungkap Inayah Wulandari, putri bungsu Abdurrahman Wahid, ketika disambangi Kompas.com di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan beberapa waktu la

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah di dalam mobil Mercedes Bernz dengan nomor polisi B 2198 V, ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.(KOMPAS/JB Suratno)
Keadaan terasa menyakitkan, kata Inayah, sebab Gus Dur sama sekali tak punya pretensi pribadi dalam menjabat presiden. Gus Dur bukan hanya merasa tak bersalah, namun memang tak bersalah. Segala fitnah skandal yang dialamatkan kepada cucu Hasyim Asy'ari itu tak punya bukti sama sekali.
Inayah kuat menduga, ayahnya tahu betul waktunya di Istana tak banyak, kendati upaya untuk menjungkalkannya adalah tindakan inkonstitusional. Situasi di sekitar Istana kala itu bukan hanya terasa genting karena kedatangan para demonstran.
Realitas politik saat itu sudah tak mendukung Gus Dur. Di saat angkatan bersenjata sekubu dengan Senayan, Gus Dur hanya punya Paspampres sebagai benteng terakhir. Posisi Gus Dur di ujung tanduk.
Mantan Ketua Umum PBNU itu pun menyadari, keadaan bukan hanya gawat secara politik, namun juga secara fisik.
"Kira-kira awal Juli itu aku dipanggil (Gus Dur), beliau bilang 'bawa pulang, semuanya bawa pulang. Ibu, adik-adikmu bawa pulang semua'," ujar Alissa Qatrunnada, putri sulung Gus Dur.
Putri-putrinya menolak perintah evakuasi itu, berkaca dari pelengseran Soekarno yang akhirnya menjemput ajal dalam keadaan jauh dari keluarga serta sulit mendapatkan perawatan medis memadai. Alissa, juga Inayah, tetap bertahan di Istana.
Khususnya Inayah, ia tetap tidur di kamar yang berdampingan dengan kamar ayahnya.
"Pada 21 Juli dini hari itulah, ia menyaksikan lewat pintu penghubung kedua kamar bagaimana Gus Dur mendirikan shalat malam yang rasanya lebih khusuk ketimbang biasa. Momen yang sangat, dingin, tegang," kenang Inayah.
"Bapak memunggungi saya, menghadap kiblat ke sana, jadi kayaknya Bapak tidak tahu ada saya di sana dan gelap. Tidak ada siapa-siapa, jam 03.00," ucapnya.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid bersama Nyonya Shinta Nuriyah di dalam mobil Mercedes Bernz dengan nomor polisi B 2198 V, ketika meningalkan Istana Presiden di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis, 26 Juli 2001, untuk selanjutnya menetap di ?Istana Rakyat? di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebelum itu, Gus Dur terlebih dahulu akan meninggalkan Indonesia untuk berobat ke Amerika Serikat.(KOMPAS/JB Suratno)
Suara dari para demonstran masih bergaung hingga ke dalam Istana. Gus Dur selesai menunaikan shalat dan wiridnya. Ia bangkit dan hendak membereskan sajadah. Dalam keadaan yang serba suram begitu, si putri bungsu berniat membantu ayahnya membereskannya.
"Pak," sapa Inayah dari balik punggung Gus Dur.
Tak dinyana, Gus Dur melonjak dan berseru terkaget-kaget.
"Woii!" pekik Gus Dur. Pekik itu lantas ganti membuat Inayah kaget.
"Woiii!" balasnya tak sengaja gegara mendengar ayahnya teriak.
Ada hening yang tak begitu panjang antara ayah dan anak di malam yang kian larut itu. Hening yang seakan memutus mereka dari segala ingar bingar yang pelik di luar sana. Inayah menyebutnya seperti seberkas cahaya yang mampir sekilas di tengah gulita.
"Beberapa detik kemudian kita sadar, 'kok kita teriak-teriak?' Dan kita pun tertawa ngakak. Dan saat ketawa ngakak itu kita seperti ..." ujar Inayah, "Pernah enggak sih, kita lagi sakit, terus tiba-tiba ada momen sakitnya hilang cuma beberapa menit, tapi kita merasa, ih enak banget, sakitnya hilang!"
"Tiba-tiba seperti ada napas di tengah ketegangan dari situasi yang menyakitkan. Walaupun kemudian sakit lagi," ucap Inayah.
Sabtu pagi, 21 Juli 2001, Gus Dur rileks saja menanggapi rencana MPR yang bakal menggelar sidang paripurna di Senayan hari itu. Gus Dur tetap pada prinsipnya, mengatakan bahwa rencana tersebut inkonstitusional. Namun, MPR tetap menggelar rapat yang dihadiri 561 peserta, pada pukul 10.00 WIB.

Presiden Tidak Akan Mundur. Presiden Wahid tidak akan datang ke Sidang Istimewa MPR yang dipercepat karena melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan ilegal. Demikian Presiden kepada wartawan di Credential Room Istana Merdeka Sabtu pagi. Terkait Berita Dimuat Minggu, Kompas 22 Jul 2001 hlm: 1. Judul Amplop: Keterangan Gus Dur(JB Suratno)
Sembilan fraksi di MPR menyetujui percepatan Sidang Istimewa dari rencana semula Agustus 1 ke 23 Juli 2021 yang beragendakan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden.
Rencana berjalan mulus. Megawati Soekarnoputri, wakil Gus Dur, promosi jadi presiden. Gus Dur lengser dan meninggalkan Istana tanpa pernah ingin mempertahankan jabatan yang banyak orang akan melindunginya mati-matian. Sisanya adalah sejarah.
"Gus Dur bilang, tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian. Ya sudah, keluar saja, kebenaran nanti akan terungkap, kok. Apa yang terjadi nanti orang akan tahu," ujar Inaya.
https://nasional.kompas.com/read/202...age=all#page2.
Murka Gus Dur Kala Para Menteri Tolak Dekrit: Kalian Semua Banci!
JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 23 Juli 2001 dini hari, dunia perpolitikan Indonesia mencatatkan sejarah baru dengan keluarnya maklumat atau dekrit Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid.
Tujuan Gus Dur mengeluarkan dekrit tak lain untuk menjaga stabilitas negara akibat gejolak politik yang terjadi. Ketika itu, posisi Gus Dur juga sudah di ujung tanduk, MPR bersiap menggelar sidang istimewa untuk mencopotnya.
Sidang istimewa ini buntut dari sejumlah sejumlah kebijakan Gus Dur yang dianggap kontroversial dan membuat elite Senayan meradang.
Beberapa jam sebelum Sidang Istimewa MPR digelar, Gus Dur lebih dulu mengeluarkan dekrit di Istana Merdeka, Jakarta, tepat pukul 01.30 WIB. Ada tiga poin dalam dekrit tersebut.
Pertama, membubarkan MPR dan DPR.
Kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun.
Ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Beberapa saat sebelum dekrit tersebut resmi dikeluarkan, ternyata terjadi silang pendapat dari kubu pemerintah itu sendiri. Hal ini terjadi ketika Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan, Agum Gumelar dan Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto mendatangi mendatangi Istana Merdeka pada malam harinya, 22 Juli 2001 sekitar pukul 23.30 WIB.
Dikutip dari buku Hari-Hari Terakhir Gus Dur di Istana Rakyat (2009) karya Andreas Harsono dan kawan-kawan, Agum Gumelar dan Widodo AS menyampaikan pendapat kepada Gus Dur berdasarkan hasil rapat para petinggi militer di Departemen Pertahanan, beberapa jam sebelum keduanya mendatangi Istana Merdeka. Pendapat disampaikan langsung oleh Agum Gumelar di ruang kerja Gus Dur

Presiden Tidak Akan Mundur. Presiden Wahid tidak akan datang ke Sidang Istimewa MPR yang dipercepat karena melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan ilegal. Demikian Presiden kepada wartawan di Credential Room Istana Merdeka Sabtu pagi. Terkait Berita Dimuat Minggu, Kompas 22 Jul 2001 hlm: 1. Judul Amplop: Keterangan Gus Dur(JB Suratno)
"Saya Agum Gumelar, menteri Bapak, ingin menyampaikan pandangan dan saran,” kata Agum Gumelar dikutip dari buku tersebut.
“Kalau Presiden mengeluarkan dekrit, keadaan tidak akan bertambah baik, tapi semakin memburuk, dan ini juga menyangkut nama baik serta reputasi Presiden. Saran saya, janganlah dekrit dikeluarkan demi keselamatan bangsa,” tutur Agum Gumelar.
Setelah mendengar pendapat tersebut, Gus Dur tiba-tiba berdiri sambil berteriak sekeras-kerasnya.
“Kalian semua banci!” kata Gus Dur murka.
Gus Dur mengundang perhatian banyak orang yang berada di luar ruang kerja.
Sejumlah pengawal Gus Dur menyerbu masuk. Agum Gumelar pun kaget. Gus Dur terlihat emosional, hingga napasnya terengah-engah.
Menurut penuturanya kepada majalah Forum, Agum Gumelar memegang tangan Gus Dur.
"Bapak Presiden, saya membantu presiden dan tidak menginginkan presiden mengambil keputusan yang keliru,” kata Agum Gumelar.
"Sudah saya putuskan!" teriak Wahid.
"Kalau tidak setuju dengan dekrit, maka silakan pisah. Kalau setuju dengan dekrit, maka ikut saya." Suasana mulai tak nyaman. Agum Gumelar pun mengajak Widodo keluar. Saran yang disampaikan Agum Gumelar nyatanya tak mengurungkan niat Gus Dur untuk mengeluarkan dekrit. Dekrit pun dikeluarkan. Begitu juga dengan Sidang Istimewa MPR. Sekalipun Gus Dur mengeluarkan dekrit, MPR tetap menggelar sidang tersebut.
Amien Rais juga menolak dekrit tersebut. Alhasil, Sidang Istimewa MPR memutuskan untuk mencabut mandat Gus Dur sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati Soekarnoutri sebagai presiden. Beberapa hari kemudian Hamzah Haz dilantik sebagai Wakil Presiden.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/24/13043291/murka-gus-dur-kala-para-menteri-tolak-dekrit-kalian-semua-banci?page=all#page2.
Penulis : Achmad Nasrudin Yahya
Editor : Sabrina Asril
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Mimpi Kiai Jelang Pelengseran Gus Dur dan Doa untuk Megawati.

Presiden Abdurrachman Wahid Bersama Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri Sehabis Acara Pelantikan Megawati Sebagai Wakil Presiden. File : 26-10-1999(ARBAIN RAMBEY)
JAKARTA, KOMPAS.com - Dua puluh satku tahun lalu, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilengserkan lawan politiknya. Setelah mendapatkan serangan bertubi-tubi, termasuk dari Partai Poros Tengah yang mengusungnya, mandat Gus Dur akhirnya dicabut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Putri kedua Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid atau Yenny Wahid mengungkapkan keluarganya sudah memperkirakan terjadinya peristiwa bersejarah itu.
Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), keluarganya lekat dengan hal-hal spiritual. Menurut Yenny, beberapa waktu sebelum Gus Dur lengser, sejumlah kiai memberitahu sebuah isyarat kejatuhan Gus
“Kami telah diberitahu oleh kiai-kiai, beberapa waktu lalu ada salah seorang kiai yang memperoleh mimpi setelah melakukan istikharah, dan setelah melakukan tirakat yang cukup lama," kata Yenny di Istana Merdeka sebagaimana dikutip dari Harian Kompas edisi 25 Juni 2001.
Yenny mengatakan dalam mimpinya, kiai tersebut sedang bersama Gus Dur di tepi laut. Tiba-tiba, seseorang mencuri sandal mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Setelah itu, lanjut Yenny, tersedia sepatu dan selop. Gus Dur kemudian memutuskan memilih mengenakan sepatu.
“Bapak memilih sepatu sambil berkata pada teman-teman perjalanannya, 'Ayo kita lanjutkan lagi dan pemandangan di pinggir lautan itu sangat indah'," ujar Yenny.
Menurut dia, mimpi itu ditafsirkan bahwa pelengseran ayahnya bukan akhir cerita. Mimpi itu bahkan isyarat perjuangan Gus Dur masih panjang. Ibarat kalimat, Yenny memaknai pemakzulan itu tak ubahnya tanda koma.
Pada hari-hari setelah lengser, keluarganya lebih memikirkan bagaimana kondisi kesehatan Gus Dur.
“Kami sekeluarga, menginginkan bapak agar konsentrasi dulu pada kesehatannya karena beliau masih sangat dibutuhkan oleh bangsa ini,” kata Yenny.

Lantas bagaimana keluarganya menyikapi Megawati Soekarnoputri, pengganti Gus Dur yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden?
Yenny mengaku belum mengetahui sikap keluarganya satu per satu kepada Mega. Namun, alih-alih mengutuk, Yenny justru memanjatkan doa untuk Mega.
Ia berharap anak Presiden Soekarno itu tidak menghadapi kesulitan sebagaimana pernah dialami Gus Dur.
“Saya pribadi mendoakan Ibu Mega semoga beliau bisa mengalami masalah yang lebih mudah dibandingkan ayah saya dalam memimpin bangsa ini," tutur Yenny.
Yenny menyebut Mega justru membutuhkan doa dan bantuan karena bangsa Indonesia sedang menghadapi masalah yang sangat berat dan pelik.
“Beliau (Presiden Megawati) membutuhkan semua dukungan dan doa dari kita semua untuk kepentingan bangsa ini ke depan,” kata Yenny melanjutkan.
Tidak hanya mendoakan lawan politik ayahnya, Yenny bahkan menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak jika Gus Dur pernah melakukan kesalahan.
Yenny juga berterima kasih kepada masyarakat yang tetap mendung ayahnya di masa masa sulit. Ia mengaku bangga dengan sikap ayahnya yang tetap memegang teguh prinsipnya dalam memilih langkah politik.
“Kami meminta maaf sebesar-besarnya," kata Yenny.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/24/14310591/mimpi-kiai-jelang-pelengseran-gus-dur-dan-doa-untuk-megawati?page=all#page2.
Penulis : Syakirun Ni'am

Video keadaan berbahaya 22 juli 2001

Pelengseran Gus Dur 21 Juli 2001
Sudah 21 tahun kejadian tersebut...
Gus Dur sudah wafat di akhir 2009
tapi namanya tetap dikenang terus sampai sekarang..




bukan.bomat dan fachri15 memberi reputasi
2
1.3K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan