LaditachudaAvatar border
TS
Laditachuda
[COC CLBK] Suatu Sore Dibalik Jendela


Quote:


Quote:


“May, tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku, Sayang!” teriaknya terengah-engah.

Si wanita terhenti di tengah jalan yang mendadak jadi sepi (benar-benar mirip film tua hitam putih). Ia berbalik menghadap si pria yang jelas terlihat berharap wanitanya tidak pergi.

“Sudah jelas bukan?” balasnya, “Kamu berikan seribu alasan untuk menyingkirkanku hanya demi bertemu dengan dia?”

“Bukan, May ... bukan se ....”

“Cukup!” sergah Maya, “Kamu kira ada wanita yang mau menunggu selamanya? Kamu kira aku mau menunggumu hingga kiamat??”

Si pria tertegun, wajahnya sepucat mayat. Ia sepertinya tahu kalau semua cerita cintanya akan berakhir. Dan wanita itu benar-benar pergi. Berlari, berlari, dan terus berlari, diiringi teriakan memohon  si pria untuk berhenti. Aku bergelayut di antara satu rintik hujan ke rintik lainnya, berusaha mengikuti keduanya. Sedih ... kulihat ada secarik jeda membentang antara mereka kini. Jeda yang akan cukup lama untuk dijalani. Jeda yang tercipta di suatu sore dibalik jendela semesta, dan aku ... si penyambung tali asmara yang jadi saksinya.

***
Seharusnya hari ini tepat satu tahun, gumanku pada diri sendiri. Bonggol dahan pohon yang tak rata mulai membuat tak nyaman punggungku. Tak terasa sudah dua hari aku memperhatikan orang lalu lalang dari atas sini, tapi tetap saja kedua orang itu belum juga muncul. Padahal ceritanya harus sudah dimulai lagi,gumanku lagi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara derai tawa, sangat penuh asmara. Penuh harap, mataku menjelajah pasangan demi pasangan yang berjalan di trotoar. Dan benar saja, aku melihatnya! Lembaran cerita cinta yang terlepas setahun lalu itu kini tengah berjalan penuh suka cita ke arahku. Eh, maksudku, ke arah pohon tempat aku bertengger dua hari ini. Ia menggandeng lengan seorang pria dengan mesra. Ah, cinta yang baru bersemi, endusku menciumi wangi udara. Masih harum bunga rumput liar, bisikku. Si wanita begitu bahagia, berbeda dengan dia yang kukenal setahun lalu, ketika kedinginan di bawah sisa hujan.

“Suka ngga?” Rafi mengenggam lembut tangan Maya, kemudian mengecupnya penuh sayang. Cincin emas putih melingkari jari manis Maya, serasi dengan gaun santai warna peach yang dikenakannya.

Maya tersipu malu, tersadar diperhatikan orang-orang yang melewati mereka. Rafi memang bisa romantis di mana saja, sekarang pun mendadak tunangannya itu berhenti berjalan lalu merayunya di tengah trotoar.

“Suka sekali,” jawab Maya sambil tersenyum manis, melingkarkan kedua lengannya ke leher Rafi, lalu mendaratkan kecupan lembut di kening kekasihnya itu.

Rafi balas mengecup kening Maya. Mereka berdua kemudian berjalan lagi sambil bergandengan tangan dengan mesra.

Serasa dunia milik berdua saja, yang lain pada ngontrak! Celetukku, mengintip dari dedaunan pohon yang hampir gundul karena kering. Sebenarnya tak perlu repot bersembunyi dibalik warna kuning dedaunan. Toh, takkan ada yang memperhatikan aku ada atau tidak. Hanya kode etik pekerjaan saja yang membuatku berhati-hati dalam bertindak. Seperti sekarang pun harus menyelesaikan tugas setelah setahun menunggu. Hhh. Pekerjaan yang membosankan sebenarnya mengintai seperti ini itu tuh.
***
Quote:

      
Maya menatap pantulan dirinya dalam cermin. Sungguh berbeda dengan dirinya bertahun-tahun lalu. Kala itu senyum cerianya makin hilang, surut menurut urutan waktu yang bertambah. 

“Aku takkan pernah meninggalkanmu, Sayang,” bisik Maya, membayangkan lekuk wajah Bara. Jemarinya kemudian menelusuri bayangan wajahnya di cermin. “Kini kau bahagia Maya, tapi senyummu tak pernah sama dengan yang kau berikan padanya.”

Lagi-lagi titik airmata itu terjatuh. Jauh di lubuk hati Maya selalu ada cinta untuk Bara. Sebuah rasa yang terpaksa dilipatnya dengan rapi. Ditata tersembunyi di sudut paling tersembunyi. “Kau takkan pernah paham setulus apa aku menyayangimu. Sekuat apa aku mempertahankan keyakinan. Sesedih apa aku bertahan padamu hingga kehilangan segalanya.” Maya menguatkan hati selama bertahun-tahun, menanti pengakuan Bara akan rasa hatinya. Bahwa tak perlu ia mencari-cari ketulusan cinta sedangkan semua itu telah digenggamnya. Maya tahu Bara mencintai dan memilihnya, tapi kekerasan hati Bara akan kesempurnaan membuatnya terus mencari cinta sejati.

“Kamu takkan pernah menemukan cinta itu, Bar. Pada akhirnya, hati yang kau duga sejati ternyata penyamun yang lihai melukai.”

Maya mengusap setitik basah di pipi dengan ujung kain lengan bajunya. Jika saja ada mesin waktu, pasti ku-setting semua cerita sesuai yang kumau. Sekali lagi Maya memandangi wajahnya di pantulan cermin. Tampak bahagia, matanya pun terlihat hangat dan cerah. Hanya saja ada setitik kosong di sudut paling jauh tempat jatuhnya cahaya di retina. Tak ada yang menyadarinya kecuali Maya sendiri, dan aku tentunya, si penyambung asmara.

***
Aku melihat Rafi begitu tampan malam ini. Tawanya lepas, mencerminkan bahagia hati. Ia mengenalkan Maya penuh rasa bangga ke setiap teman dan koleganya. Tapi tetap tak ada keluarga,

“Hei, Bro! Dari mana saja kamu ini? Ini Maya, tunanganku.” Rafi meletakkan gelas sampanye di meja bar, lalu bergegas menghampiri Bara.

Bara bergeming. Matanya yang dalam menatap tajam Maya. Dan wanita itu pun sama diamnya seperti dirinya. Berdiri mematung dengan wajah yang berubah pias. Inikah Maya tunangan Rafi? Maya yang sama dengan Mayaku? Gejolak hati Bara merambahi wajahnya yang merona jadi merah.

Sementara itu Maya terlihat berusaha mengendalikan emosinya. Setelah menarik napas panjang ia memberanikan diri menghampiri Bara dan mengajaknya bersalaman.

Hi, nice to meet you,” sapanya seraya melemparkan senyum paling palsu di dunia.

Kikuk, Bara menyambut tangan Maya. Keduanya saling menghindari bertatapan langsung. Aku menjulurkan kepala sejauh mungkin, berusaha melihat lebih jelas. Lampu kristal tempatku bertengger bergoyang mengeluarkan bunyi denting. 

“Kalian saling kenal?” Rafi menarik tangan Maya dari genggaman Bara. Matanya tajam menatap kedua orang yang sama-sama gugup itu.

Maya dan Bara gelagapan karena tertangkap basah Rafi. Aku makin melorot di lampu kristal. Malah kini aku menggantung dengan kaki di atas, mengait pada kepala lampu. Denyut asmara masa lalu terasa kencang getarannya. Busurku sudah siap, sekali tarik saja cinta itu pun akan kembali berkuasa. Tiba-tiba konsentrasiku terganggu suara ribut dari pintu masuk. Seorang wanita cantik berlari ke arah ketiga orang yang masih terjebak suasana kikuk itu.

"Rafi!!”

Rafi mematung seketika mendengarnya. Ia membalikkan badan, dan wanita itu menghambur ke arahnya.

“Apa ini?” isaknya histeris. “Kamu tega ninggalin aku yang sedang mengandung?”

Maya dan Bara, termasuk juga aku, terperangah begitu menyadari siapa wanita yang tengah memukuli dada Rafi.

“Riska??” seru mereka berdua, dan hampir saja aku pun meneriakkan nama yang sama.

Sontak wanita itu berbalik begitu mendengar teriakan Maya dan Bara. Bara sangat marah setelah meyakini kalau itu memang benar-benar Riska.

“Jadi kamu selama ini ada di kota ini?” tanya Bara marah. Diguncangnya bahu Riska. “Kamu hamil? Beneran hamil? Nggak nipu kaya sama aku dulu, hah?”

“Minggir, Bar! Seharusnya kamu tau kalo aku nggak cinta lagi sama kamu!” pekik Riska, mendorong Bara agar menjauh. Berbulan-bulan ia sengaja menghindari Bara perlahan setelah berhasil menyingkirkan Maya dari kehidupan mereka. Ia memang tak pernah mencintai Bara. Riska hanya ingin Maya pergi dan tak dimiliki oleh Bara.

 

Rafi bengong, ia bingung menonton adegan di depannya. “A-apa ini? Tolong jelaskan, Ris. Bar, kamu kenal Riska??”

Sementara itu Maya mulai merasakan badannya panas dingin. Ia menghampiri Rafi, “Dasar bajingan! Jadi ini alasannya kamu tak pernah mengenalkan aku pada keluargamu?” direnggutnya cincin dari jari, lalu dilemparkannya ke wajah Rafi.

“Maya tunggu!” teriak Rafi begitu tersadar dari kebingungan. Pria itu bergegas mengejar Maya yang berlari keluar ruangan.

Aku bersiap-siap. Sementara Bara yang mulai bisa menguasai emosinya sontak menghalangi niat Rafi mengejar Maya.

“Jangan coba-coba mendekati Maya lagi! Kamu benar, aku memang mengenalnya. Dia milikku, Bro!”

what??” Rafi berteriak marah. Panas hatinya, melihat Bara ganti mengejar Maya, sedangkan ia tambah tak berdaya karena ditahan oleh Riska.

Bara berlari mengejar Maya yang tengah sedih dan kebingungan. Ini saatnya! Seruku pada diri sendiri. Busur sudah kurentangkan sejak tadi, anak panahnya pasti langsung menembus jendela dan menuju dua sejoli yang sedang berkejaran itu. Sayangnya, keanehan terjadi, anak panahnya tak mau terbang menuju sasaran. Busurku macet! Ya, Tuhan. Ini adalah aib dalam profesionalisme pekerjaan. Kenapa anak panahnya tak mau bekerja?

“Mayaa! Tungguu!” Susah payah akhirnya Bara pun berhasil mengejar Maya. Dipeluknya Maya dari belakang. “Berhenti, May, berhenti ... please,” ucapnya dengan napas memburu.

“Lepaskan aku!” Maya berontak berusaha melepaskan diri. “Kalian berdua sama saja! Bajingan!” Maya mendorong Bara dan berhasil membebaskan diri.

“Berhenti, May!” teriak Bara. Kembali ia mengejar Maya dan mencegatnya sambil merentangkan tangan.

Oh, Tuhan. Ini kacau sekali, keluhku sambil memperhatikan semua adegan dari jendela.

“Maafkan aku ....” Bara menatap Maya dalam-dalam. Penderitaan karena rindu jelas tergambar di bola matanya. “Maafkan aku ... kumohon jangan lagi ....” pria itu terduduk, bertumpu pada lututnya. “Jangan pergi ... jangan tinggalkan aku lagi ....”

Tangisan Bara membuat waktu berhenti. Uap-uap air urung mengangkat dirinya ke udara, dan berbalik arah, melengkapi tetesan airmata rindu seorang pria yang terperangkap kebodohannya sendiri. Maya menghampiri Bara, merengkuh kepalanya ke dalam pelukan. Takkan pernah ada yang tahu sedalam apa lukanya harus menerima kenyataan berbagi rasa dan raga seorang pria dengan wanita lain. Tak perlu juga ada yang tahu sedalam apa lukanya karena menahan rindu pada cinta yang sangat.

“Maafkan aku, May. Kamu benar ... rasa sakit akan kehilanganlah yang akan menyadarkanku. Rasa sakit kehilangan membuatku sadar kaulah cintaku yang sebenarnya. Jangan pergi lagi ....”

Dan aku kembali menjadi saksi kisah cinta mereka berdua. Luka yang kembali menjadi cinta. Tapi pertanyaannya adalah ... kenapa anak panahku macet? Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. “itu karena panah cinta takkan berfungsi pada cinta”.

Mataku mencari-cari tapi suara itu tak berwujud. Oh, aku paham sekarang. Panah cinta untuk menciptakan asmara. Cinta Bara dan Maya tak pernah mati dari dulu. Itu sebabnya anak panahnya tak mau bekerja. Suatu sore dibalik jendela, aku jadi saksi ketika cinta menemukan kembali cintanya.

The End

 

 




Diubah oleh Laditachuda 08-07-2022 05:11
bukhorigan
raaaaud20
tatikartini
tatikartini dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.1K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan