Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Jual Beli Barang Lawas: Bisnis yang Berasal dari Mistis
Jual Beli Barang Lawas: Bisnis yang Berasal dari Mistis

Cangkeman.net - Penggemar Lawasan tentunya bukan orang sembarangan. Ini soal selera yang tak main-main, meski bagi sebagian orang lain justru terkesan aneh dan tak masuk akal. Semakin tua, semakin kuno dan eksentrik justru makin tinggi pula nilai bibit, bobot, bebetnya.

Setahun yang lalu saya diajak menemani Ibu saya yang akrab disapa Kanjeng Mami, pergi ke sebuah galeri. Mulanya bayangan saya adalah sebuah tempat berdesain modern dengan dinding-dinding atau lemari kaca pajangan di tengah kota. Ternyata, sederet rumah yang terlihat kurang terurus, letaknya di salah satu pelosok desa di daerah Klaten, Jawa Tengah. Di depannya tergeletak penuh barang-barang bekas dari besi yang sudah berkarat atau berbahan kayu yang kini nampak kusam.

Wanita berusia kepala lima tersebut merupakan seorang kolektor lawasan. Ia tersenyum penuh terpesona melangkah masuk ke ruangan yang minim penerangan. Mata elangnya menelusur penuh hasrat pada sebidang marmer memanjang, vespa tua, barisan patung, keramik juga lampu-lampu gantung yang teronggok di lantai. Kakinya terus saja bergerak ke dalam bangunan. Rautnya makin sumringah ketika berpapasan dengan sang pemilik galeri.

“Ada barang baru lagi ndak Pak ?” tanyanya penuh harapan.

“Lahh ini, asli China ini Jeng! Baru datang kemarin.” Giringnya pada serupa bangku panjang 2 meter yang terbuat dari kayu jati dengan bidang marmer di tengahnya, yang sedari awal sudah memikat hati.

“Dijamin. Pengkuh, lho marmernya aja tebal hampir 2 centi padahal ini udah ratusan tahun. Dari Dinasti (blablabla)”, sambung cerita si penjual.

Cocok Pak, padahal aku ke sini pengen cari dipan tempat tidur terapi.”

“Wis pas tenan iki. (Tepat sekali ini)”,
lalu kalimatnya berubah bisik-bisik “Nanti kalau buat Jeng Lis tak hitung 17 aja, kalau yang lain 20 ngga tak lepas ini.”

Di luar dugaan, Ibu saya langsung mantuk-mantuk setuju sambil lanjut memantau barang-barang lain. Sebagai pengawal, saya cukup diam saja, tapi tetap mendengar jelas dan berpikir keras.

"Edan!" Batin saya. 

Masa cuma barang begitu kok TUJUH BELAS JUTA? Jika dibandingkan dengan nominal yang sama di IKEA atau INFORMA sudah dapat 1 set tempat tidur mewah, masih ditambah garansi minimal 3 tahun pula.

Hal itu membuat ingatan saya kembali pada formasi patung Dewa-Dewa China yang jadi “penunggu” di teras rumah. Konon ceritanya pahatan batu berwarna hitam legam tersebut adalah benda peninggalan Majapahit. Bahkan sebelum berhasil diusung di rumah, sempat terjadi tawar-menawar sengit antar pembeli. Pembeli itu adalah Ibu saya sendiri dan seorang pemilik pabrik jamu terbesar di Jawa Tengah. Tak main-main setiap patungnya sampai dihargai 75 juta, padahal ada 7 patung Dewa dalam seri tersebut.

Betapa jumlah digit tersebut sangat berharga. Toh semuanya dibayar dengan lembaran rupiah, bukan dengan tumpukan daun. Ya, walaupun bukan uang saya sendiri sih. Tapi. Masih tak masuk akal bagi saya, juga tak sampai dengan logika. Bagaimana bisa barang-barang lawasan yang demikian justru punya harga yang fantastis?

Kembali ke tempat galeri. 

Akhirnya saya mulai mengamati berbagai barang kuno dan antik di sekitar. Baik dalam segi bisnis, historis termasuk juga aura-aura mistis.

Justru bisnis barang lawasan ini masuk dalam kategori yang tak mati ditekan pandemi. Ini soal selera, soal rasa, juga kepercayaan. Para kolektor barang lawasan biasanya bukan orang sembarangan. Biasanya banyak didominasi kalangan pengusaha, pejabat, artis, seniman budayawan, dan orang-orang manca negara. Maharnya pun tak perlu diragukan lagi. Sudah pasti mahal.

Di samping fakta sejarah, beberapa barang antik juga sarat akan aura mistis. Ada yang meyakini bahwa di dalam barang tersebut terdapat ‘khodam’ yang bisa menjadi jimat keberuntungan atau keselamatan. Lebih-lebih pada jenis pusaka atau tosan aji. Sebagian orang memburunya untuk dijadikan ‘gaman’ alias pegangan legendaris.

Soal ini pun saya ingat betul. Belum lama ini saya pergi ke Pasar Klithikan khusus barang antikan yang hanya buka malam hari di pelataran parkir Pasar Beringharjo. Lagi-lagi masih dalam misi menemani Kanjeng Mami. Dari info telik sandi, kabarnya ada gelaran baru, “lorotan” Mataram (barang sisa peninggalan).

Sayup di antara lalu lalang saya dengar penggalan perbincangan yang cukup serius.

“Ini langsung dari ‘ndalem’ Mas. Kalau kepepet bisa untuk mendatangkan rezeki. Tinggal digeber aja madep kidul.” mantap sang pemilik dagang.

“Beneran Mas?” jawab seorang yang kiranya dialah calon pembeli, namun masih agak ragu.

“Jangan bilang-bilang ya Mas! Ini dulu pernah dipakai Susuhunan titik - titik...” Cakap sang makelar agak lirih untuk meyakinkan. Sepenggal kalimat sakti itu pun jadi rayuan maut tanpa disadari.

Otomatis kepala saya pun ikut menoleh begitu saja. Penasaran. Gerangan barang apa yang sedang dighibahkan tadi. Ahh, sebuah Songsong rupanya. Yaitu payung bertingkat tiga berwarna kuning dengan sirip keemasan pada tepiannya dan bertonggak kayu tinggi. Setengah mengkilat setengah kusam.

Tak lama setelahnya, terlihat Bapak setengah baya yang sudah hilang ragunya sedang sibuk menghitung segepok lembaran rupiah merah. Pastilah sugesti tadi sudah sedikit mendistorsi kewarasan. Saya bergidik geli sambil berguman “Walah, Jabang bayi/” Sebagai tanda keheranan. Hari gini masih semudah itukah orang percaya atau justru terperdaya?

Dan tanpa disadari, penjual payung tadi tiba-tiba menatap balik ke arah saya. Sungging senyum dan kedipan matanya terbit sekilas. Tak tau entah girang karena diperhatikan atau sudah laku keras.

Nyata dan absurd jadi satu. Betapa sebenarnya beraneka barang kuno dan antik itu justru mampu menghasilkan pundi-pundi. Kesakralan historis sekadar faktor pendukungnya saja. Sedangkan sensasi bau-bau mistis jadi modal utama. Tak dapat dibandingkan dengan harga. Tapi bisa jadi bumbu bisnis yang pasti manis.

Seperti juga keris dan mustika pun yang kini makin digandrungi. Mitosnya, bahwa semakin banyak luk (lekukan) pada tatahan keris maka pamornya dianggap semakin tinggi dan sakti. Sedangkan pada mustika, makin terang clorotnya yakni bias cahaya yang dihasilkan maka lebih besar pula “perbawa”nya. Bisa membuat tokoh yang menggunakannya memiliki derajat wibawa agar dihormati dan disegani. Hingga mereka tak sungkan untuk merogoh kocek lebih dalam.

Sekarang saya tak lagi tercengang mendengar harga rupa-rupa lawasan. Dengan kemasan cerita asal muasal tentunya. Dan, soal keasliannya, jangan ditanya! Siapa yang bisa memastikan? Entah benar adanya atau lincahnya gombalan sang penjual belaka. 


Tulisan ini ditulis oleh JeA di Cangkeman pada tanggal 9 Juni 2022
andrah.aja
andrah.aja memberi reputasi
6
1.5K
11
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan