NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Laten rudapaksaan Anak di Balik Tembok Kefiraunan Pesantren
Spoiler for Bechi:


Spoiler for Video:



Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan". (Asy-Syu’ara’ : 29)

Itulah jawaban sombong dari Firaun kepada Nabi Musa ketika ia menanyakan siapakah Tuhan semesta alam. Musa yang menjawab bahwa Tuhan semesta alam adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi; Tuhan bagi Firaun dan nenek-nenek moyangnya; Tuhan yang menguasai timur dan barat, ingin ia penjarakan ketika sang nabi tidak mengakui bahwa Firaun sebagai Tuhan.

Perkataan Firaun yang angkuh seperti itu menunjukkan bahwa orang-orang yang ada di Mesir kuno meyakini bahwa memang Firaun adalah Tuhan. Lantas ketika ada seorang Rasul yang menentangnya, ia pun berupaya agar sistem ke-Firaun-an yang mengakui dirinya sebagai Tuhan ditumpas lewat pemenjaraan.

Sistem seperti ini tentunya telah terjadi selama ratusan bahkan ribuan tahun di Mesir Kuno. Sistem yang menyebabkan bahwa Firaun pun mempercayai bahwa dirinya sebagai Tuhan dan rakyatnya harus meyakininya sebagai Tuhan. Sebuah dogma yang mengalami proses beribu-ribu tahun sehingga menghasilkan pembodohan dan manipulasi publik.

Dogma Firaun seperti ini pula yang terjadi di dunia pesantren selama lebih dari seabad bercokol di negeri ini.

Dogma kepatuhan buta yang menganggap apa yang diucapkan Firaun adalah ucapan yang benar, terjadi pula di sistem pesantren dengan dogma sami’na wa atho’na yang sebenarnya merupakan kalimat suci di dalam Alquran yang berarti ‘kami dengar dan kami taat’. Kalimat yang populer di kalangan santri di mana mereka harus patuh terhadap apa yang didengar dari orang dianggap lebih tinggi “status sosial”-nya, seperti kyai, pengurus, ustadz, guru, dan lain sebagainya termasuk anak kyai.

Dasar ini pula yang menyebabkan para santri menganggap apa yang disampaikan ke mereka, baik berupa ucap maupun sikap, sebagai kebenaran absolut yang tidak boleh dilangkahi, apalagi dikritisi. Sama halnya dengan ucapan Firaun, bukan?

Seandainya kyai, ustadz, maupun guru tersebut memang orang yang lurus terhadap agama, tentu tak masalah. Namun, pada nyatanya, hal ini acap kali dimanfaatkan oleh mereka yang bejat. Mulai dari kasus pesantren Herry Wirawan hingga kini yang teranyar, kasus pemerkosaan di Pondok Pesantren Siddiqiyyah Jombang oleh Moch Suchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi yang tak lain adalah putra dari mursyid atau tokoh Pesantren Shiddiqiyyah bernama Kyai Muchtar Mu’ti.

Bechi disebut sebagai salah satu aktor utama kasus pencabulan yang menimpa beberapa murid di Ponpes Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur. Namun, penangkapannya mengalami berbagai hambatan. Ia sulit ditangkap karena banyak pihak yang melindunginya. Salah satunya datang dari sosok ayahnya sendiri, seorang kyai ternama di pesantren itu.

Meski sempat mengaku akan langsung mengantarkan anak ke kantor polisi, Kyai Muchtar ayah dari Bechi mengaku anaknya difitnah atas tuduhan kasus pencabulan tersebut. “Demi untuk keselamatan kita bersama. Demi kejayaan Indonesia Raya. Untuk kebaikan kita bersama. Masalah fitnah ini, masalah keluarga,” ujar Kiai Muchtar.

Adapun penjemputan paksa di area pondok Shiddiqiyah pada 7 Juli 2022, juga sempat menghadapi blokade dari puluhan santri dan simpatisan Bechi yang mencegah aparat masuk.  Akibatnya ratusan simpatisan Bechi ditangkap namun sudah dilepaskan.

Sumber : Suara[Kronologi Kasus Mas Bechi Anak Kiai Tersangka Pencabulan, Jadi DPO Masih Dilindungi Ayah]

Jadi pertanyaan, bagaimana bisa seseorang yang menjadi tersangka pencabulan, bisa sangat dibela oleh pihak ponpes? Apakah memang tuduhan pemerkosaan itu hanya fitnah?

Akan tetapi jika memang begitu adanya, mengapa sampai ada 2 korban yang melaporkan dan menceritakan kejadian pencabulan yang dilakukan Bechi? Bahkan menurut hasil investigasi dari salah satu media massa, korban dari Bechi lebih dari 15 santriwati dan pengikut tarekat Shiddiiqiyyah.

Apakah para korban tidak melawan? Tentu saja melawan. Para korban pernah melapor ke petinggi ponpes. Namun laporan itu tidak digubris oleh pengurus pesantren. Bahkan tidak lama setelah ada laporan tersebut, Bechi mulai menyebut para korban sebagai sosok yang akan menghancurkan pesantren. "Kami juga mendapat ancaman pembunuhan, dibuntuti, dan foto kami disebar pengikut Bechi. Padahal kami waktu itu masih berumur belasan tahun," ujar salah satu korban.

Karena berbagai kondisi tersebut, beberapa korban dan rekannya dikeluarkan dari fasilitas pendidikan Shiddiqiyyah. Ada belasan santriwati yang dikeluarkan dari pesantren.

Menariknya, salah satu pendamping korban, Nun Sayuti, sempat bertandang ke ponpes untuk bertemu dengan Bechi. Hal itu ia lakukan untuk meminta penjelasan atas pemerkosaan yang Bechi lakukan. Di sana Bechi justru mengakui perbuatan tersebut. Dia berdalih punya hak melakukan itu.

"Dia bilang dirinya sudah diangkat jadi mursyid, dan berhak serta bisa menikahkan dirinya sendiri. Jadi dia tidak merasa bersalah," ujar Nun Sayuti.

Tidak menyerah, setelah itu, salah satu korban ditemani rekannya sebagai pendamping melaporkan pemerkosaan tersebut ke Polres Jombang pada Mei 2018. Namun setelah itu, korban mendapat ancaman dan rumahnya didatangi sejumlah orang. Bahkan beberapa pihak dari pesantren mendatangi orang tua korban dan menawarkan sejumlah uang agar laporan tersebut dicabut.

Akhirnya laporan tersebut terpaksa dicabut karena banyaknya ancaman terhadap korban. Pada Juli 2018, salah satu korban, ditemani rekan sekaligus pendampingnya, melapor kembali ke Polres Jombang. Sayang, laporan tersebut ditolak dengan alasan tidak cukup bukti.

Tidak berhenti di sana, pada 2019, mereka kembali melapor ke kepolisian dan melakukan visum ulang. Hasilnya, pada 12 November 2019, Bechi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Jombang.

Hal yang mengerikan dalam proses hukum Bechi ini terjadi pada 2021. Kala itu salah satu pendamping korban dikeroyok oleh enam orang pria dewasa pengikut Bechi saat sedang mengaji. Mereka berusaha merampas smartphone dan membentur-benturkan kepala rekan korban ke tembok. Atas tindakan itu, salah satu dari enam orang tersebut hanya dihukum 6 bulan penjara.

"Saya diteror lewat media sosial juga. Alamat rumah saya disebar oleh pengikut Bechi. Rumah saya disamperin mereka, total 25 motor dan 3 mobil," ujar salah satu pendamping korban.

Lantas bagaimana dengan ayah Bechi? Sebagai kyai berpengaruh di ponpes tersebut, Kyai Tar (panggilan akrab Muchtar Mu’ti) justru menuduh para korban sebagai PKI Jombang, HTI, dan tukang fitnah. Setelah ditelusuri, tuduhan tersebut disampaikan Kyai Tar dihadapan pengikutnya dalam acara mauidloh chasanah pada 20 Januari 2022 di Pesantren Shiddiqiyah. Melalui akun Instagram pribadinya, Bechi juga sempat menyebarkan informasi serupa.

Sumber : Detik [Korban Bechi: Disiksa, Dirudapaksa, Disekap, Dituduh PKI]
Sumber : Kompas [Soal Pencabulan oleh Anak Kiai di Jombang, Aktivis Perempuan Diintimidasi, Kepala Dibenturkan ke Dinding, Ponsel Dirampas]

Dengan kata lain, di sini ada perbuatan menutup-nutupi kelakuan bejat dari Bechi oleh pihak ponpes sendiri. Bahkan pihak pesantren menebarkan ancaman kepada orang tua dan santri yang menjadi korban. Seolah apa yang terjadi di pesantren tidak boleh sampai terdengar di khalayak umum hanya demi menjaga nama baik kyai maupun ponpes. Bahkan menggunakan kekerasan fisik.

Hanya demi nama baik dan kesan sebagai orang-orang suci mereka menutup-nutupi bangkai di rumah sendiri? Lantas bagaimana dengan nasib para santriwati yang dicabuli, dirudapaksa, dan dirampas masa depannya?

Sebegitu kentalkah darah kyai dan keturunannya sehingga tidak boleh ada kesan buruk ke publik? Bukankah kyai dan keturunannya juga manusia?

Ingat penceramah Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha mewanti-wanti umat Islam bahwa jangan sampai ketika ada kyai zina, umat Islam malah mengalahkan Quran dengan menganggap kejadian seperti itu tidak apa-apa karena dia seorang kyai. Umat Islam harus beriman pada Alquran bukan ke kyai.

“Cara Quran, orang harus iman ke Quran titik. Ga ada dalam Quran orang itu iman ke kiai. Quran mengatakan zina itu haram, ya sudah, yang melakukan zina, jatuh. Berarti umat Islam masih meyakini teks (Quran),” ujarnya Gus Baha.

Sebagai sesama pihak yang berkcimpung di dunia pesantren, Gus Baha menyayangkan skandal cabul dari Bechi dan upaya ponpes melindungi anak kyai cabul tersebut.

Sumber : Kalbarsatu [Soal Pelecehan Seksual di Lingkungan Pesantren, Gus Baha: Ga Ada dalam Quran Orang Itu Iman ke Kiai]

Di sini kita dapat menganalisa bahwa sebenarnya Gus Baha menyadari sistem tertutup pesantren dan konsep Sami’na Waatho’na dapat membuat umat menjadi fanatik dan menganggap zina yang dilakukan Bechi sebagai sesuatu yang diwajarkan. Itulah mengapa ia menekankan agar umat beriman ke Alquran bukan ke kyai.

Berbicara soal ketertutupan lembaga pesantren, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengkritisi sistem ponpes yang tertutup seperti itu karena akan sangat rentan terjadi kekerasan seksual maupun psikologis.

"Saya mengkritisi sistem pondok pesantren yang tertutup, yang orang tua tidak bisa menengok atau bertemu. Nah itu, kan, berbahaya. Anak-anak, baik itu santri maupun santriwati bisa menjadi korban," ujar Seto pada 11 Juli 2022.

Menurut Kak Seto, sistem pesantren yang tertutup, sulit untuk melakukan pengawasan dan memungkinkan santri sulit melapor jika mengalami masalah.

Ia sering mendapat laporan orang tua yang “memondokkan” anaknya di pesantren tidak bisa berkomunikasi dengan putra atau putrinya untuk waktu yang cukup lama. Bahkan jika terjadi dugaan kekerasan psikologis maupun seksual. Korban mendapat ancaman untuk tidak melapor.

"Mungkin sekarang baru sedikit (yang terungkap). Mungkin diancam kalau sampai lapor kamu berdosa. Termasuk tekanan-tekanan lain," kata dia.

Sumber : Suara [Kak Seto Kritik Sistem Pondok Pesantren yang Tertutup: Berbahaya, Santri Bisa Jadi Korban]

Beerdasarkan paparan Gus Baha dan Kak Seto, maka dapat kita tengok betapa sistem pesantren yang tertutup dan dogma sami’na waatho’na menyebabkan korban pencabulan dari pesantren tidak dapat berbuat banyak. Setiap santri harus menerima aturan yang berlaku di pesantren dan orang tua tak dapat berbuat apa-apa karena sistem pesantren memaksa orang tua tidak mengetahui kejadian yang terjadi di pesantren.

Tengoklah betapa pesantren dengan mudahnya menghancurkan ponsel, lipstik, hingga buku-buku agar santri tetap patuh kepada pesantren dan orang tua tidak dapat menghubungi santri. Semua agar para santri patuh dan tunduk pada kyai, hanya mendengarkan kata kyai, tidak mengetahui ilmu lain dari luar, bahkan berkabar dengan orang tua sendiri tidak dapat dilakukan.

Mungkin kasus pemerkosaan yang tertutup dan pengawasan yang kurang pula yang menyebabkan banyak korban dari Bechi mundur satu persatu sehingga menyisakan saksi sidang anak kyai Jombang cabul Cuma 1 korban.

Sumber : Solopos [Saksi Sidang Anak Kiai Jombang Cabul Cuma 1 Korban, Lainnya Mundur?]

Beginilah kenyataan kelam dari kasus pencabulan di ruang tertutup. Kurangnya bukti dan ketertutupan menyebabkan kasus ini lama dan sulit untuk diusut. Tidak menutup kemungkinan pula kejadian lain seperti Bechi maupun kisah kelam Herry Wirawan beberapa waktu lalu terjadi di ponpes-ponpes lain.

Sementara itu, anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Anis Hidayah menilai kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Ponpes Shiddiqiyyah bak membuka kotak pandora kekerasan seksual di tanah air.

Pasalnya, kata Anis, bisa jadi kasus kekerasan seksual jauh lebih banyak terjadi. Terlebih korbannya merupakan anak-anak perempuan di bawah umur.

Sumber : Suara [Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual Anggap Kasus di SPI dan Ponpes Shiddiqiyah Bak Membuka Kotak Pandora]

Lalu, apa yang selanjutnya terjadi dari kasus pencabulan oleh Bechi?

Ternyata, pihak Bechi melawan. Pelaporan terhadap Bechi sempat dua kali ditolak di tahap praperadilan, yakni pada 2021. Bahkan pada proses praperadilan tersebut, Bechi sempat menuntut ganti rugi senilai Rp 100 juta sekaligus menuntut pemulihan nama baiknya.

Tak cukup di situ, pada tahun yang sama jaksa juga menolak berkas kasus selama 7 kali.

Tapi kini Kepolisian mulai membuka babak baru penyelidikan kasus tersebut hingga menetapkan Bechi sebagai DPO. Hingga terjadi bentrokan antara aparat dengan pihak pesantren hingga menyebabkan aparat tidak dapat menangkap Bechi pada 7 Juli 2022.

Menariknya, setelah itu tersebar di media sosial video orasi yang dilakukan pengurus Ponpes Shiddiqiyyah. Dalam video itu, orator yang sedang berbicara di depan jamaah melontarkan kalimat provokatif. Ia menyamakan penghadangan yang dilakukan pada 7 Juli 2022 lalu kepada petugas yang menangkap Bechi layaknya perang badar, ada juga ajakan kembali berperang.

Dalam video berdurasi 2 menit itu, terlihat seorang pria sedang berorasi di depan ratusa jemaah. Pria itu diketahui adalah Edi Setyawan, salah satu petinggi Orshid (Organisasi Shiddiqiyyah). “Selamat datang dari sebuah malam yang panjang, selamat datang dari campur aduknya rasa kegelisahan, ketakutan dan kemarahan, bak perang badar yang pernah dialami Rasulullah bersama 313 pasukannya melawan 1000 pasukan kafir yang bersenjata lengkap,” ucap Edi dalam video itu.

Dalam video yang sama, ia juga menyebut tindakan petugas yang masuk ke pondok sebagai upaya penyerangan. Aparat dianggap bernurani tertutup karena masuk ke pesantren dan menangkap Bechi. Di akhir orasinya, Edi menyebut seluruh kesakitan yang dialami jamaah adalah kejayaan ajaran mereka. Ia juga sempat melontarkan kata-kata bernada provokatif yang menyebutkan ajakan berperang ketika dibutuhkan.

Sumber : Jawa Pos [VIRAL! Pengurus Pondok MSA Sebut Menghadang Polisi sama dengan Perang Badar]

Pihak ponpes menyebut Edi melakukan orasi tersebut untuk memberi semangat kepada jamaah yang baru saja dipulangkan ke pesantren usai bentrok dengan aparat. Edi sengaja mengambil kisah dari Perang Badar dalam pidatonya karena saat mereka datang orang yang hadir menyambut dengan bacaan doa ‘Shalawat Badar’.

Edi juga mengklarifikasi pernyataannya yang menyebut siapkah berperang itu. Ia berdalih, perang yang dimaksudnya adalah perang melawan hawa nafsu.

Sumber : Radar Bogor [Serukan Perang Badar, Pesantren Shiddiqiyyah Klarifikasi]

Dari persoalan Bechi yang merupakan keturunan dari Kyai berpengaruh di Ponpes Shiddiqiyah dapat kita lihat bahwa bagaimana seorang tersangka dapat memanipulasi masyarakat sekitar berkat embel-embel darah suci kyai. Kasus ini menunjukkan secara jelas bagaimana proses Dogma Kefiaraunan ala Kyai dan embel-embel darah suci Kyai melebur menghasilkan pembodohan dan manipulasi publik hingga mampu mengangkangi negara.

Kasus rudapaksaan di pesantren bukan persoalan sepele karena ini dapat terjadi di seluruh industri pesantren, dimana faktor yang sama pula yang mendasari kenapa bisa terjadi rudapaksaan berantai dan berturut-turut hingga korban di lingkungan pesantren tidak memiliki keberanian menyalakan alarm tanda bahaya.

Kejadian di pesantren Siddiqiyyah serupa dengan kasus di pesantren Herry Wirawan beberapa waktu silam. Kasus dimana korban rudapaksaan kyai dan pengurus pesantren memiliki anak hasil rudapaksaan, namun memilih menitipkan akan ke teman, ketimbang melaporkan orang tuanya sendiri, menunjukkan kefiarunan pesantren telah menghasilkan budaya perbudakan. Budaya perbudakan yang mengatakan bahwa kyai dan darah keturunannya lebih suci dari orang tua sendiri, bahkan ketika dilanggar hak-hak dirinya oleh kyai dan darah keturunannya.

Apalagi kasus Jombang sudah menyingkap realita radikalisme pesantren seperti terlihat dari seruan Perang Badar melawan pasukan kafir bersenjata lengkap yang dilayangkan pengurus Pesantren Shiddiqiyah. Apalagi dikabarkan bahwa Ponpes Shiddiqiyah memiliki 5 ribu santri disertai klaim punya 5 juta jemaah menunjukkan bahwa ancaman radikalisme pesantren ini amat berbahaya.

Tidak percaya mereka akan berperang dan memiliki kemampuan untuk berperang? Usut punya usut, abdi dalem Ponpes Shiddiqiyah ternyata dipersenjatai air gun ilegal untuk mengawal Bechi. Bertindak radikal mempersenjatai diri demi melindungi junjungannya yang cabul dan nama baik pesantren yang sebenarnya tidak baik.

Sumber : Detik [Aksi Abdi Dalem Ponpes Shiddiqiyyah Dibekali Air Gun Ilegal Kawal Mas Bechi]

Ternyata tendensi terorisme yang bersembunyi di balik peci dan sarung jauh lebih laten dari mereka yang bersembunyi di balik sorban dan gamis. Peristiwa seruan Perang Badar melawan pasukan kafir bersenjata lengkap tidak boleh berhenti hanya dengan klarifikasi dari Pesantren Shiddiqiyah.


Diubah oleh NegaraTerbaru 18-07-2022 16:22
syahri.o.nymous
diki174
diki174 dan syahri.o.nymous memberi reputasi
16
5K
71
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan