Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme
https://tirto.id/tak-ada-gereja-di-c...luralisme-guaJ

Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme 

Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme
Ilustrasi Indepth Penolakan Gereja di Cilegon. tirto.id/Fuad

Senin, 18 Juli 2022 08:00 WIB

Sudah lebih dari 30 tahun, saban Minggu pagi pukul empat, Abina Simarmata harus segera bangun dari tidur lelapnya dan mulai bergegas. Selepas mandi, perempuan 76 tahun itu harus naik ojek dari rumahnya di Desa Serdang, Kota Cilegon, untuk ke jalan raya provinsi dan lanjut dengan bus menuju Kota Serang.

Jika saja ia telat bangun, telat dijemput ojek, atau telat naik bus, tentu Abina akan terlambat untuk ikut jadwal ibadah pertama pukul enam di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang—yang jaraknya 20 kilometer dari rumahnya, atau nyaris satu jam perjalanan.

Badannya kecil, kulitnya keriput, bingkai kacamatanya besar, jalannya mulai ringkih. Pedagang di salah satu pasar di Kota Cilegon itu mulai hidup sendiri sejak suaminya—seorang tokoh yang ikut memperjuangkan pembangunan gereja di Cilegon—meninggal delapan tahun lalu. Ia juga memilih menepi dari enam anak dan sebelas cucunya.

“Saya tak mau merepotkan mereka,” katanya.

Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme
Abina Simarmata, 76 tahun, seorang jemaat HKBP Maranatha Cilegon yang harus pergi ke Kota Serang setiap ingin beribadah pada hari Minggu. Foto diambil pada 16 Juni 2022. Karena tak ada gereja di Cilegon, harus melakukan itu selama 30 tahun terakhir. (Tirto/Haris Prabowo)

Saban Minggu pagi ke kota sebelah tentu bukan perkara mudah bagi Abina. Akan banyak tenaga, waktu, dan biaya yang terkuras hanya untuk ibadah di masa tuanya.

Keadaan serupa juga dialami oleh Rini Penas Meyrita Simanjuntak, 41 tahun, bersama suami dan ketiga anaknya. Sejak mulai merantau di Kota Cilegon 14 tahun lalu, mereka harus ke kota sebelah jika ingin ibadah di hari Minggu.

Empat tahun pertama di Kota Cilegon, sepanjang 2008-2012, Rini dan keluarganya masih bisa memanfaatkan bus dari perusahaan Krakatau Steel—perusahaan produksi baja pelat merah yang menguasai Cilegon sejak 1962—untuk ke Kota Serang. Biasanya, para jemaat perlu merogoh kocek sebesar lima ribu rupiah per orang untuk pergi-pulang.

Namun sejak 2012, bersamaan dengan anak-anak yang mulai tumbuh, Rini dan keluarga harus ibadah ke Kota Serang dengan sepeda motor. Biayanya tentu tak sedikit, jika tiap pekan harus menempuh perjalanan seperti itu. Apalagi, pendapatan suami sebagai tukang tambal ban pun tak seberapa.

“Terkadang biaya perjalanan ke Kota Serang lebih mahal daripada uang kolekte,“ kata Rini. Uang kolekte adalah sumbangan semampunya dari umat yang diberikan saat ibadah.

Belum lagi sepanjang perjalanan dari Cilegon ke Serang, jalanan dipenuhi debu dan batu-batu beterbangan—salah satu efek paling nyata wilayah industri. Rini sangat khawatir terhadap kesehatan anak-anaknya yang rentan terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ia tak berlebihan. Dinas Kesehatan Kota Cilegon sendiri pernah menyebut sepanjang 2018-2020 muncul ratusan ribu kasus ISPA di kota itu.

“Tentu akan lebih mudah ketika ada gereja di Cilegon,” katanya dengan wajah berharap.

Sayangnya, impian Abina dan Rini—serta mungkin juga ribuan umat Nasrani lainnya di Kota Cilegon—untuk bisa mengakses tempat ibadah dengan mudah, bagai pungguk merindukan bulan.

Selamat datang di Cilegon: kota tanpa gereja.
aldonistic
aldonistic memberi reputasi
11
4.1K
68
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan