- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cinta Itu Gila [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali


TS
breaking182
Cinta Itu Gila [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali
CINTA ITU GILA
![Cinta Itu Gila [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali](https://dl.kaskus.id/blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/205f7689d25aab0979f8a980acaa2b3d82752ec14e56e7055b46aa86fdf84534.png)
Seruan Jiwa
Menangislah ... jika itu melegakan kesakitan yang melandamu
Menjeritlah ...seperti teriakan orang gusar
Ketika kepedihan tiba-tiba membelenggumu
Berlarilah sekencang mungkin
Disaat sebuah pukulan derita menghantam getaran nyawamu
Meraunglah sekuat yang engkau mampu
Jika itu bisa melepaskan ketakutanmu
Merontalah tanpa berhenti
Membuang nestapa yang telah membuih
Sehingga tidak lagi akan kau kecap
Getirnya kegagalan yang mengikuti langkahmu
Sehingga tidak lagi akan kau cicipi
Pahitnya sebuah keputusasaan
Kemudian ikutlah menari di tengah rancaknya kemenangan
Di waktu jejakmu berhasil mengalahkan laramu
Meninggalkan segenap butiran tak bertuan di belakang
Hanya menolehnya dan lekas berpaling
Menguncinya dalam satu ruang
Tanpa hasrat akan membukanya kembali
Menangislah ... jika itu melegakan kesakitan yang melandamu
Menjeritlah ...seperti teriakan orang gusar
Ketika kepedihan tiba-tiba membelenggumu
Berlarilah sekencang mungkin
Disaat sebuah pukulan derita menghantam getaran nyawamu
Meraunglah sekuat yang engkau mampu
Jika itu bisa melepaskan ketakutanmu
Merontalah tanpa berhenti
Membuang nestapa yang telah membuih
Sehingga tidak lagi akan kau kecap
Getirnya kegagalan yang mengikuti langkahmu
Sehingga tidak lagi akan kau cicipi
Pahitnya sebuah keputusasaan
Kemudian ikutlah menari di tengah rancaknya kemenangan
Di waktu jejakmu berhasil mengalahkan laramu
Meninggalkan segenap butiran tak bertuan di belakang
Hanya menolehnya dan lekas berpaling
Menguncinya dalam satu ruang
Tanpa hasrat akan membukanya kembali
Quote:
AKU MENYELESAIKAN ketikan naskah sebuah artikel yang akan aku upload dibeberapa forum online di internet. Lumayan untuk mencari receh dengan mengandalkan jumlah viewer dan reader. Aku mengoreksi sambil lalu. Aku tahu dan sadar kalau itu adalah artikel terburuk yang terpaksa aku buat satu minggu terakhir ini. Persetan dengan tata bahasa yang benar, persetan dengan isi artikel. Hanya satu yang aku kejar hot thread. Artikelku tembus ribuan viewer. Koin yang dikumpukan aku convert jadi rupiah yang otomatis akan masuk ke rekening pribadi. So easy dan tidak terlalu jelimet.
Sudah banyak artikel, cerpen dan bahkan novel yang aku tulis di forum ini. Berlembar –lembar puluhan halaman. Apa yang aku dapatkan?! Pegal jari serasa mau patah, mata kuyu karena semalaman ngetik naskah, kepala pusing karena tiba –tiba ide macet di tengah jalan atau hidup tidak tenang karena diuber –uber pembaca yang penasaran dengan cerita yang sedang aku tulis. Itu tidak sebanding jika dihadapkan pada forum yang isinya artikel. Tulis beberapa paragraph dengan isi artikel comot sana –sini dengan modal googling. Akan tetapi viewernya banyak dan tidak jarang sering jadi hot thread. Aku sadar terlalu idealis itu pasti akan kelaparan.
Tidak banyak koreksian dari tulisanku kali ini. Hanya satu dua huruf salah ketik dan sebuah kalimat yang perlu direvisi. Meski hasilnya manurutku itu masih norak. Tapi, sudahlah konsumen itu ibarat lebih suka makan junk food daripada makan seimbang bergizi. Aku beranjak dari kursi. Menggeliat sebentar. Setelah sebelumnya naskah tulisan ku itu aku upload. Ku tengok ranjang tidurku. Sepi dan dingin. Anak lelakiku yang menginjak lima tahun itu tertidur pulas memeluk guling kesayangannya.
Aku hampiri ranjang ku yang dingin. Lalu duduk perlahan di bibirnya. Aku tidak mau anak ku itu terbangun karena goncangan kasur. Sesaat aku pandangi wajah polos dan belum pernah terpercik dosa itu. Ada segumpal kesedihan yang selalu menyergapku jika aku melihat wajah malaikat kecilku itu. Di usianya yang masih sekecil itu harus kehilangan ibu. Keadaan ini sudah hampir dua tahun aku alami. Sendiri kesepian. Semenjak istriku memutuskan untuk bercerai dengan alasan ekonomi yang tidak kunjung membaik.
Ku lirik handphone yang masih tergeletak di atas meja di depan komputer. Tidak ada barang sebiji pun pemberitahuan baru. Aku tinggalkan lagi bibir ranjangku. Suaranya berderit manakala aku mengangkat tubuhku. Kembali aku tekuni duduk di depan monitor. Aku tekan tombol enter di keyboard computer. Layar terpampang lagi dengan gambar wallpaper Maria Ozawa. Entah mengapa banyak artis JAV yang bermunculan di perindustrian film dewasa Jepang namun, masih belum mampu menggeser Maria Ozawa di otakku yang sudah cenderung keruh ini. Aku menghela nafas.
Bangsadd!!
Itu umpatan yang terloncat dari mulutku manakala handphone yang sedari tadi membisu tiba –tiba bergetar –getar. Mengejutkan ku dari ketegangan yang tiba –tiba saja menyergap sejak aku baca rentetan kalimat itu.
Telpon masuk dan tidak ada nama. Hanya sebuah nomor saja. Awalnya enggan untuk aku terima panggilan masuk itu. Namun, beberapa kali handphone itu masih saja bergetar –getar. Aku menyerah.
“ Halo “
Sapaku malas –malasan.
“ Bay…ini aku “, jawaban dari seberang telephone.
Suara seorang perempuan. Persetan dengan perempuan. Hanya saja suara itu sangat tidak asing di selaput telingaku. Retno? Mantan istriku itu? Jelas bukan, perempuan itu tidak akan pernah mau untuk menelpon dahulu jika tidak sedang ingin bertemu dengan anakku.
“ Siapa…..?”
“ Mira………”, suara itu seperti tercekat di tenggorokan. Kelu.
Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Tenggorokanku kering mendadak. Lidahku seperti terlepas sehingga mulut ini tidak mampu merangkai kalimat. Jantungku berdenyut –denyut keras tidak seperti biasanya. Mira, nama yang simple namun pemilik nama itu mampu menjungkir balikkan hidupku beberapa tahun yang lalu. Janji indah yang pernah terucap untuk hidup semati kandas sudah. Bukan karena aku tidak mencintainya, hanya saja ia memilih seorang dokter daripada aku yang waktu itu hanya seorang guru. Guru honorer yang gajinya tentu yang hanya cukup untuk membeli tahu. Aku hargai keputusan itu, meski umpatan dan cacian seperti bersenandung di pikiran ku.
“ Perempuan matre….”
Nada itu selalu megalun dan terus mengalun. Layaknya lagu dengan shymfoni yang indah. Setelah mampu mengendalikan diri dan mengendapkan luka hati. Aku mulai melupakan dia, mencoba hinggap ke hati yang lain. Gampang? Tentu susah, hampir dua tahun aku bergelut dengan diriku sendiri. Akhirnya, aku kenal Retno. Seorang perempuan yang usianya sudah terlalu matang utnuk menikah. Selisih dua tahun dengan umurku. Retno lebih tua. Tidak perlu pacaran terlalu lama. Menikah. Lima tahun kemudian Retno menggugat cerai aku. Entah karma apa yang menjeratku. Semua kisah asmaraku berujung pilu.
“ Bayu…..”
Suara itu kembali memanggilku. Seperti menarik pikiranku yang beberapa saat seperti hilang, merantau ke masa lalu.
“ Iya…ada apa? Bagaimana kabar mu? “
Hanya itu yang mampu aku katakan. Sekedar perkataan basa –basi sewajarnya.
“ Aku ada di Legend Caffe. Temui aku sekarang juga. Aku mohon “
Telpon dari seberang putus. Aku menarik nafas panjang. Sesak seperti terhimpit bongkahan karang dada ini. Sekali lagi aku lirik jam di dinding. Tepat pukul dua belas malam. Entah, apa yang menggerakkan ku. Perlahan aku sambar jaket yang tergantung di lemari. Berganti celana panjang. Tergesa –gesa memakai sepatu converse warna hitam ku. Tanpa memakai kaos kaki. Setengah bergegas aku keluar kamar.
Lantas perlahan –lahan mengetuk kamar ibu ku, setelah beberapa saat kemudian ibu ku yang sudah terlihat bertambah tua keluar dengan mata setengah terpejam dari ambang pintu yang terbuka.
“ Kenapa Bay? “
“ Tolong jaga Eza Bu, aku ada urusan perkerjaan mendadak “
Jawabku berbohong. Tanpa menunggu jawaban dari ibu ku. Lantas aku berlari –lari kecil ke garasi. Pintu mobil aku buka. Duduk di belakang kemudi, putar kunci kontak yang masih menggantung. Suara mobil menggeram memecah sunyi malam yang tadi bisu. Perlahan mobil keluar dari garasi membelah jalanan kampung yang sunyi senyap.
Sudah banyak artikel, cerpen dan bahkan novel yang aku tulis di forum ini. Berlembar –lembar puluhan halaman. Apa yang aku dapatkan?! Pegal jari serasa mau patah, mata kuyu karena semalaman ngetik naskah, kepala pusing karena tiba –tiba ide macet di tengah jalan atau hidup tidak tenang karena diuber –uber pembaca yang penasaran dengan cerita yang sedang aku tulis. Itu tidak sebanding jika dihadapkan pada forum yang isinya artikel. Tulis beberapa paragraph dengan isi artikel comot sana –sini dengan modal googling. Akan tetapi viewernya banyak dan tidak jarang sering jadi hot thread. Aku sadar terlalu idealis itu pasti akan kelaparan.
Tidak banyak koreksian dari tulisanku kali ini. Hanya satu dua huruf salah ketik dan sebuah kalimat yang perlu direvisi. Meski hasilnya manurutku itu masih norak. Tapi, sudahlah konsumen itu ibarat lebih suka makan junk food daripada makan seimbang bergizi. Aku beranjak dari kursi. Menggeliat sebentar. Setelah sebelumnya naskah tulisan ku itu aku upload. Ku tengok ranjang tidurku. Sepi dan dingin. Anak lelakiku yang menginjak lima tahun itu tertidur pulas memeluk guling kesayangannya.
Aku hampiri ranjang ku yang dingin. Lalu duduk perlahan di bibirnya. Aku tidak mau anak ku itu terbangun karena goncangan kasur. Sesaat aku pandangi wajah polos dan belum pernah terpercik dosa itu. Ada segumpal kesedihan yang selalu menyergapku jika aku melihat wajah malaikat kecilku itu. Di usianya yang masih sekecil itu harus kehilangan ibu. Keadaan ini sudah hampir dua tahun aku alami. Sendiri kesepian. Semenjak istriku memutuskan untuk bercerai dengan alasan ekonomi yang tidak kunjung membaik.
Ku lirik handphone yang masih tergeletak di atas meja di depan komputer. Tidak ada barang sebiji pun pemberitahuan baru. Aku tinggalkan lagi bibir ranjangku. Suaranya berderit manakala aku mengangkat tubuhku. Kembali aku tekuni duduk di depan monitor. Aku tekan tombol enter di keyboard computer. Layar terpampang lagi dengan gambar wallpaper Maria Ozawa. Entah mengapa banyak artis JAV yang bermunculan di perindustrian film dewasa Jepang namun, masih belum mampu menggeser Maria Ozawa di otakku yang sudah cenderung keruh ini. Aku menghela nafas.
Bangsadd!!
Itu umpatan yang terloncat dari mulutku manakala handphone yang sedari tadi membisu tiba –tiba bergetar –getar. Mengejutkan ku dari ketegangan yang tiba –tiba saja menyergap sejak aku baca rentetan kalimat itu.
Telpon masuk dan tidak ada nama. Hanya sebuah nomor saja. Awalnya enggan untuk aku terima panggilan masuk itu. Namun, beberapa kali handphone itu masih saja bergetar –getar. Aku menyerah.
“ Halo “
Sapaku malas –malasan.
“ Bay…ini aku “, jawaban dari seberang telephone.
Suara seorang perempuan. Persetan dengan perempuan. Hanya saja suara itu sangat tidak asing di selaput telingaku. Retno? Mantan istriku itu? Jelas bukan, perempuan itu tidak akan pernah mau untuk menelpon dahulu jika tidak sedang ingin bertemu dengan anakku.
“ Siapa…..?”
“ Mira………”, suara itu seperti tercekat di tenggorokan. Kelu.
Aku bagai mendengar petir di siang bolong. Tenggorokanku kering mendadak. Lidahku seperti terlepas sehingga mulut ini tidak mampu merangkai kalimat. Jantungku berdenyut –denyut keras tidak seperti biasanya. Mira, nama yang simple namun pemilik nama itu mampu menjungkir balikkan hidupku beberapa tahun yang lalu. Janji indah yang pernah terucap untuk hidup semati kandas sudah. Bukan karena aku tidak mencintainya, hanya saja ia memilih seorang dokter daripada aku yang waktu itu hanya seorang guru. Guru honorer yang gajinya tentu yang hanya cukup untuk membeli tahu. Aku hargai keputusan itu, meski umpatan dan cacian seperti bersenandung di pikiran ku.
“ Perempuan matre….”
Nada itu selalu megalun dan terus mengalun. Layaknya lagu dengan shymfoni yang indah. Setelah mampu mengendalikan diri dan mengendapkan luka hati. Aku mulai melupakan dia, mencoba hinggap ke hati yang lain. Gampang? Tentu susah, hampir dua tahun aku bergelut dengan diriku sendiri. Akhirnya, aku kenal Retno. Seorang perempuan yang usianya sudah terlalu matang utnuk menikah. Selisih dua tahun dengan umurku. Retno lebih tua. Tidak perlu pacaran terlalu lama. Menikah. Lima tahun kemudian Retno menggugat cerai aku. Entah karma apa yang menjeratku. Semua kisah asmaraku berujung pilu.
“ Bayu…..”
Suara itu kembali memanggilku. Seperti menarik pikiranku yang beberapa saat seperti hilang, merantau ke masa lalu.
“ Iya…ada apa? Bagaimana kabar mu? “
Hanya itu yang mampu aku katakan. Sekedar perkataan basa –basi sewajarnya.
“ Aku ada di Legend Caffe. Temui aku sekarang juga. Aku mohon “
Telpon dari seberang putus. Aku menarik nafas panjang. Sesak seperti terhimpit bongkahan karang dada ini. Sekali lagi aku lirik jam di dinding. Tepat pukul dua belas malam. Entah, apa yang menggerakkan ku. Perlahan aku sambar jaket yang tergantung di lemari. Berganti celana panjang. Tergesa –gesa memakai sepatu converse warna hitam ku. Tanpa memakai kaos kaki. Setengah bergegas aku keluar kamar.
Lantas perlahan –lahan mengetuk kamar ibu ku, setelah beberapa saat kemudian ibu ku yang sudah terlihat bertambah tua keluar dengan mata setengah terpejam dari ambang pintu yang terbuka.
“ Kenapa Bay? “
“ Tolong jaga Eza Bu, aku ada urusan perkerjaan mendadak “
Jawabku berbohong. Tanpa menunggu jawaban dari ibu ku. Lantas aku berlari –lari kecil ke garasi. Pintu mobil aku buka. Duduk di belakang kemudi, putar kunci kontak yang masih menggantung. Suara mobil menggeram memecah sunyi malam yang tadi bisu. Perlahan mobil keluar dari garasi membelah jalanan kampung yang sunyi senyap.
Quote:
MIRA TAMPAK jauh lebih kurus dibanding terakhir kalinya aku melihatnya, dan itu belum sampai setengah tahun ketika perempuan itu bersama suaminya tidak sengaja bertemu dalam sebuah acara resepsi pernikahan. Beberapa bulan yang lalu Mira masih tampak sehat dan penuh gairah hidup sebagaimana keadaannya semasih gadis. Kini Mira tampak kurus, lemah dan tampak seperti sedang sakit. Namun begitu kemolekan wajah nya tidak pernah hilang, la justru semakin cantik terbungkus kaos putih longgar berdada rendah. Sehingga memperlihatkan tonjolan dadanya yang menantang.
Hening yang tidak mengenakkan menyeruak diantara kami. Wajah itu hanya memandangku dengan tatapan sedikit kuyu. Aku sengaja belum mengatakan bahwa, suaminya meninggal secara mengenaskan. Aku hanya menunggu apa sebenarnya yang ia mau dengan memaksaku untuk menemuinya malam ini.
Hening itu lewat, seorang pelayan datang dengan membawa dua minuman dingin. Dan diletakkan di hadapan kami. Meski aku lihat di hadapan Mira masih ada satu gelas yang sudah kosong isinya. Asbak di depannya terlihat beberapa punting rokok. Bahkan, ada satu yang masih mengepulkan asap. Jadi perempuan ini sekarang merokok? Pertanyaan itu terlontar hanya dalam hati saja.
“ Bay…..” mulut mungil merah itu memanggil nama ku dengan lembut.
Panggilan yang sudah beberapa tahun belakangan tidak pernah ku dengar lagi.
" Ya…..”
Sahutku pendek sembari mengetuk –ngetuk meja menggunakan ujung jari. Sekedar mengurangi sedikit ketegangan.
“ Ternyata kau masih seperti dulu. Selalu peduli dengan ku. Meski keadaan kita sekarang sudah sangat jauh berbeda. Tapi sifat kamu masih sama Bay…”
Aku menghela nafas panjang. Bukan soal peduli atau bagaimana. Sejujurnya dalam hatiku yang paling dalam aku tidak bisa ingkar. Nama itu masih bertengger di hatiku. Meski sempat tergantikan selama lima tahun oleh Retno. Hal itu hanya dapat aku katakan dalam hati.
“ Sudah hampir jam dua dini hari Mira. Apakah hanya akan kita habiskan untuk berbicara sepotong –potong dan berpandang –pandangan seperti ini?”
“ Katakan, kau sedang ada masalah apa? Kalau aku mampu sudah pasti akan membantu mu “
Mira mengambil sebatang cigarette putih dari dalam tas kecilnya. Perlahan memantik sebatang lalu menghirup dan menghembuskannya perlahan –lahan. Lanjutnya, “Aku dan suamiku sangat akrab satu sama lain. Kesulitanku selalu aku beritahukan padanya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian kami dapat menanggulanginya bersama-sama. Karena itulah rumah tangga kami dapat bertahan hampir empat tahun lamanya. Tanpa ada suatu pertengkaran yang berarti. Meski kami tidak beruntung belum memperoleh keturunan. Akan tetapi, rumah tangga kami berjalan harmonis dan lancar ...”
“ Tetapi tidak, selama beberapa bulan terakhir. Mendadak ia ingin punya anak. Keinginan yang sudah lama, memang! Namun baru beberapa bulan yang lalu ia mendesak ku. Dan ketika aku katakan aku sudah berusaha tetapi sia-sia, ia mulai bertingkah. Sampai beberapa minggu yang lalu kudengar kabar, ia bergaul intim dengan seorang perempuan lain.”
Aku ternganga mendengarnya. Sudah bisa kuduga. Seorang perempuan akan mencari orang yang pernah dekat dengannya manakala sedang ada masalah. Dan itu terbukti!
“Aku tidak suka desas-desus. Jadi aku datangi gadis itu, berbicara dengan dia, dan mengetahui kenyataan sebenarnya. Dia telah aku minta baik-baik agar melepaskan suami ku. Benar, dia tidak mengatakan setuju. Tidak pula, menolak. Dia aku tinggalkan. Tanpa ancaman apa-apa. Dan pulang ke rumah, esok harinya aku habis dipukuli Irfan. Lelaki itu kalap main pukul layaknya sedang menghajar seorang begal...”
“Mira...” Aku memotong.
“Biarkan aku Bay. Biarkan kubeberkan semua. Telah lama hal ini kusimpan sendirian. Aku terluka, parah. Tetapi kini aku sudah bebas dari luka menyakitkan itu. Jadi biarkan aku jelas kan semua, sebagai perayaan untuk kebebasan ku.”
la tidak tersenyum pada ku. Matanya ketika menatap, juga bukan mata yang selama ini aku kenal dan pernah diimpikan olehku. Aku gemetar.
“ Sebentar, apa maksud dengan kebebasan? “
Mira menyeringai. Lalu mematikan rokok dengan cara menekan pada dasar asbak. Beberapa abu terpercik keluar dari asbak berceceran di meja.
“...Cuma sekali ia memukuli aku. Tetapi yang sekali itu saja, sudah cukup. Aku tidak mau kehilangan dia. Jadi semenjak itu, tak pernah lagi mendatangi gadis peliharaannya. Sampai tadi siang, Irfan berkata terang-terangan bahwa gadis itu telah hamil dan mereka akan segera menikah. Kemudian ia pergi...”
“Dan kau masih bisa tidur nyenyak?” ucap ku, tak habis pikir.
“Mengapa tidak? Tiga butir pil tidur cukup untuk membuat seseorang lupa bahwa kakinya baru saja putus disambar mobil...”
Perumpamaan yang keterlaluan, pikir ku. Dan Mira tampak semakin asing di mataku. Seolah menyelami jalan pikiran ku, perempuan itu tiba-tiba berpaling. Mira menatap lurus ke mata ku. Seorang lelaki yang pernah jadi sahabat, pernah dicintai dan mencintainya, pernah dia mohon agar untuk seterusnya mereka saling menganggap sebagai kakak beradik saja.
Dan di balik sinar mata yang tajam menusuk itu, Aku pelan-pelan menangkap suatu permintaan maaf: “ Ketahuilah, Bay aku telah begitu banyak berkorban selama ini!”
Aku menggapai tangan Mira. Mengelusnya lembut. Kemudian menariknya pelan-pelan setelah aku menyadari bahwa itu tidak pantas untuk dilakukan. Aku mengambil minuman, meneguknya tetes demi tetes, membiarkan waktu terus berlalu. Mira berpaling ke arah jalan raya yang hampir tidak ada satu pun kendaraan yang berseliweran.
Dan berujar lebih tenang lagi: “Itulah semuanya kisah hidupku. Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan saja. Dan itu kamu Bay. Hanya kamu “
Kembali aku menarik nafas panjang. Terjadi pergulatan sengit di kepalaku. Aku pernah mencintaimu sepanjang hembusan nafasku, memimpikan kamu di sepanjang malam di waktu lelapku. Aku tahu dan tidak ingkar masih ada rasa itu di hati ini. Masih ada namamu bersemayam di bilik hati. Aku memang masih mencintaimu. Hanya saja aku tidak tahu apakah aku bisa untuk memulai lagi kisah ini seperti beberapa tahun yang lalu Mira?
Hening yang tidak mengenakkan menyeruak diantara kami. Wajah itu hanya memandangku dengan tatapan sedikit kuyu. Aku sengaja belum mengatakan bahwa, suaminya meninggal secara mengenaskan. Aku hanya menunggu apa sebenarnya yang ia mau dengan memaksaku untuk menemuinya malam ini.
Hening itu lewat, seorang pelayan datang dengan membawa dua minuman dingin. Dan diletakkan di hadapan kami. Meski aku lihat di hadapan Mira masih ada satu gelas yang sudah kosong isinya. Asbak di depannya terlihat beberapa punting rokok. Bahkan, ada satu yang masih mengepulkan asap. Jadi perempuan ini sekarang merokok? Pertanyaan itu terlontar hanya dalam hati saja.
“ Bay…..” mulut mungil merah itu memanggil nama ku dengan lembut.
Panggilan yang sudah beberapa tahun belakangan tidak pernah ku dengar lagi.
" Ya…..”
Sahutku pendek sembari mengetuk –ngetuk meja menggunakan ujung jari. Sekedar mengurangi sedikit ketegangan.
“ Ternyata kau masih seperti dulu. Selalu peduli dengan ku. Meski keadaan kita sekarang sudah sangat jauh berbeda. Tapi sifat kamu masih sama Bay…”
Aku menghela nafas panjang. Bukan soal peduli atau bagaimana. Sejujurnya dalam hatiku yang paling dalam aku tidak bisa ingkar. Nama itu masih bertengger di hatiku. Meski sempat tergantikan selama lima tahun oleh Retno. Hal itu hanya dapat aku katakan dalam hati.
“ Sudah hampir jam dua dini hari Mira. Apakah hanya akan kita habiskan untuk berbicara sepotong –potong dan berpandang –pandangan seperti ini?”
“ Katakan, kau sedang ada masalah apa? Kalau aku mampu sudah pasti akan membantu mu “
Mira mengambil sebatang cigarette putih dari dalam tas kecilnya. Perlahan memantik sebatang lalu menghirup dan menghembuskannya perlahan –lahan. Lanjutnya, “Aku dan suamiku sangat akrab satu sama lain. Kesulitanku selalu aku beritahukan padanya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian kami dapat menanggulanginya bersama-sama. Karena itulah rumah tangga kami dapat bertahan hampir empat tahun lamanya. Tanpa ada suatu pertengkaran yang berarti. Meski kami tidak beruntung belum memperoleh keturunan. Akan tetapi, rumah tangga kami berjalan harmonis dan lancar ...”
“ Tetapi tidak, selama beberapa bulan terakhir. Mendadak ia ingin punya anak. Keinginan yang sudah lama, memang! Namun baru beberapa bulan yang lalu ia mendesak ku. Dan ketika aku katakan aku sudah berusaha tetapi sia-sia, ia mulai bertingkah. Sampai beberapa minggu yang lalu kudengar kabar, ia bergaul intim dengan seorang perempuan lain.”
Aku ternganga mendengarnya. Sudah bisa kuduga. Seorang perempuan akan mencari orang yang pernah dekat dengannya manakala sedang ada masalah. Dan itu terbukti!
“Aku tidak suka desas-desus. Jadi aku datangi gadis itu, berbicara dengan dia, dan mengetahui kenyataan sebenarnya. Dia telah aku minta baik-baik agar melepaskan suami ku. Benar, dia tidak mengatakan setuju. Tidak pula, menolak. Dia aku tinggalkan. Tanpa ancaman apa-apa. Dan pulang ke rumah, esok harinya aku habis dipukuli Irfan. Lelaki itu kalap main pukul layaknya sedang menghajar seorang begal...”
“Mira...” Aku memotong.
“Biarkan aku Bay. Biarkan kubeberkan semua. Telah lama hal ini kusimpan sendirian. Aku terluka, parah. Tetapi kini aku sudah bebas dari luka menyakitkan itu. Jadi biarkan aku jelas kan semua, sebagai perayaan untuk kebebasan ku.”
la tidak tersenyum pada ku. Matanya ketika menatap, juga bukan mata yang selama ini aku kenal dan pernah diimpikan olehku. Aku gemetar.
“ Sebentar, apa maksud dengan kebebasan? “
Mira menyeringai. Lalu mematikan rokok dengan cara menekan pada dasar asbak. Beberapa abu terpercik keluar dari asbak berceceran di meja.
“...Cuma sekali ia memukuli aku. Tetapi yang sekali itu saja, sudah cukup. Aku tidak mau kehilangan dia. Jadi semenjak itu, tak pernah lagi mendatangi gadis peliharaannya. Sampai tadi siang, Irfan berkata terang-terangan bahwa gadis itu telah hamil dan mereka akan segera menikah. Kemudian ia pergi...”
“Dan kau masih bisa tidur nyenyak?” ucap ku, tak habis pikir.
“Mengapa tidak? Tiga butir pil tidur cukup untuk membuat seseorang lupa bahwa kakinya baru saja putus disambar mobil...”
Perumpamaan yang keterlaluan, pikir ku. Dan Mira tampak semakin asing di mataku. Seolah menyelami jalan pikiran ku, perempuan itu tiba-tiba berpaling. Mira menatap lurus ke mata ku. Seorang lelaki yang pernah jadi sahabat, pernah dicintai dan mencintainya, pernah dia mohon agar untuk seterusnya mereka saling menganggap sebagai kakak beradik saja.
Dan di balik sinar mata yang tajam menusuk itu, Aku pelan-pelan menangkap suatu permintaan maaf: “ Ketahuilah, Bay aku telah begitu banyak berkorban selama ini!”
Aku menggapai tangan Mira. Mengelusnya lembut. Kemudian menariknya pelan-pelan setelah aku menyadari bahwa itu tidak pantas untuk dilakukan. Aku mengambil minuman, meneguknya tetes demi tetes, membiarkan waktu terus berlalu. Mira berpaling ke arah jalan raya yang hampir tidak ada satu pun kendaraan yang berseliweran.
Dan berujar lebih tenang lagi: “Itulah semuanya kisah hidupku. Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan saja. Dan itu kamu Bay. Hanya kamu “
Kembali aku menarik nafas panjang. Terjadi pergulatan sengit di kepalaku. Aku pernah mencintaimu sepanjang hembusan nafasku, memimpikan kamu di sepanjang malam di waktu lelapku. Aku tahu dan tidak ingkar masih ada rasa itu di hati ini. Masih ada namamu bersemayam di bilik hati. Aku memang masih mencintaimu. Hanya saja aku tidak tahu apakah aku bisa untuk memulai lagi kisah ini seperti beberapa tahun yang lalu Mira?
Quote:
SEMINGGU setelah pertemuanku di malam itu dengan Mira. Siang itu laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Baru. Pantai Baru ini berlokasi di wilayah Dusun Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul, Provinsi Yogyakarta. Burung - burung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Belasan perahu tampak berjejer di tepi pasir. Beberapa terlihat terombang –ambing di seberang lautan. Di tepi pantai, dibawah jejeran pohon-pohon cemara yang tumbuh subur menghampar luas dari ujung timur membentang sampai ujung barat. Anak-anak ramai bermain-main.
Para penjual kelapa muda menunggu calon pembeli di depan warung kiosnya. Beberapa orang pelayan dari warumg –warumg makan yang buka nampak sibuk melayani pesanan para tamunya. Aku duduk mencangkung di atas pohon kelapa yang telah roboh di tepi pantai bawah pohon cemara besar yang melengkung seperti membentuk payung. Di sampingku seorang cewek berambut sepunggung berwarna coklat sedikit pirang duduk tenang. Anak –anak rambutnya berkibar diterjang angin laut yang bertiup kencang. Sesekali di sibakkan rambut yang menutupi wajahnya yang manis. Di pangkuannya kelapa muda warna hijau yang telah dipangkas ujungnya. Menyisakan sedikit air di dalamnya.
“ Selama ini kamu kemana saja Bay?”
Mira bertanya lirih kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari gulungan ombak yang membelai bibir pantai. Kemudian menyisakan buih yang langsung menghilang di sengat cahaya mentari.
“ Seperti biasa, mengerjakan apa yang bisa di kerjakan. Ngurus istri dan anak. cum aitu dulu, sekarang aku sendiri. pernikahan kami sudah berakhir dua tahun yang lalu" . Ujarku kecut.
" Hei...kau sudah duda dan aku nyaris janda. Apakah ini tidak suatu kebetulan? "
Aku terdiam. Aku pandangi wajahnya yang dulu pernah aku kagumi itu. Ingin sekali aku belai pipinya yang memerah. Tapi aku urungkan. Sekarang keadaannya telah berbeda. Aku mendesah...menarik nafas panjang.
Mira beringsut mendekatkan badannya ke badan ku. Lalu kepalanya setengah di senderkan di bahu ku.
" Mira, aku heran dari mana kau dapatkan nomor telpon ku? Ini nomor termasuk baru, kau tahu darimana? "
Mira tersenyum, " Sekarang jaman sudah maju. Apa -apa sudah tersedia. kita tinggal mencari saja apa yang kita mauin. Semua sudah tersedia", lanjutnya lagi, " Aku tahu nomormu dari forum -forum jual beli "
Sekali lagi aku tersenyum kecut.
Hari itu kita habiskan waktu seharian bersama. Akan tetapi, entah mengapa perasaan ku tidak sehepi dulu. Iya..seneng bisa ketemu lagi,bisa ngobrol lagi..hanya saja ada perasaan enggan untuk mengawali lagi sebuah perjalanan. Bukan karena aku trauma. Sama sekali bukan. Ataukah aku jalani saja cerita ini, biarkan mengalir mengikuti irama kehidupan. Jujur cinta yang dulu sempat redup semakin hari semakin nyala terangnya. Dan Cinta Itu Memang Gila.
Para penjual kelapa muda menunggu calon pembeli di depan warung kiosnya. Beberapa orang pelayan dari warumg –warumg makan yang buka nampak sibuk melayani pesanan para tamunya. Aku duduk mencangkung di atas pohon kelapa yang telah roboh di tepi pantai bawah pohon cemara besar yang melengkung seperti membentuk payung. Di sampingku seorang cewek berambut sepunggung berwarna coklat sedikit pirang duduk tenang. Anak –anak rambutnya berkibar diterjang angin laut yang bertiup kencang. Sesekali di sibakkan rambut yang menutupi wajahnya yang manis. Di pangkuannya kelapa muda warna hijau yang telah dipangkas ujungnya. Menyisakan sedikit air di dalamnya.
“ Selama ini kamu kemana saja Bay?”
Mira bertanya lirih kepadaku. Pandangannya tidak lepas dari gulungan ombak yang membelai bibir pantai. Kemudian menyisakan buih yang langsung menghilang di sengat cahaya mentari.
“ Seperti biasa, mengerjakan apa yang bisa di kerjakan. Ngurus istri dan anak. cum aitu dulu, sekarang aku sendiri. pernikahan kami sudah berakhir dua tahun yang lalu" . Ujarku kecut.
" Hei...kau sudah duda dan aku nyaris janda. Apakah ini tidak suatu kebetulan? "
Aku terdiam. Aku pandangi wajahnya yang dulu pernah aku kagumi itu. Ingin sekali aku belai pipinya yang memerah. Tapi aku urungkan. Sekarang keadaannya telah berbeda. Aku mendesah...menarik nafas panjang.
Mira beringsut mendekatkan badannya ke badan ku. Lalu kepalanya setengah di senderkan di bahu ku.
" Mira, aku heran dari mana kau dapatkan nomor telpon ku? Ini nomor termasuk baru, kau tahu darimana? "
Mira tersenyum, " Sekarang jaman sudah maju. Apa -apa sudah tersedia. kita tinggal mencari saja apa yang kita mauin. Semua sudah tersedia", lanjutnya lagi, " Aku tahu nomormu dari forum -forum jual beli "
Sekali lagi aku tersenyum kecut.
Hari itu kita habiskan waktu seharian bersama. Akan tetapi, entah mengapa perasaan ku tidak sehepi dulu. Iya..seneng bisa ketemu lagi,bisa ngobrol lagi..hanya saja ada perasaan enggan untuk mengawali lagi sebuah perjalanan. Bukan karena aku trauma. Sama sekali bukan. Ataukah aku jalani saja cerita ini, biarkan mengalir mengikuti irama kehidupan. Jujur cinta yang dulu sempat redup semakin hari semakin nyala terangnya. Dan Cinta Itu Memang Gila.
Diubah oleh breaking182 09-07-2022 01:20






itkgid dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.4K
Kutip
16
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan