Kaskus

Entertainment

safita78558Avatar border
TS
safita78558
Asal Usul dan Tradisi Suku Anak Dalam "Kubu" dari Minangkabau
Asal Usul dan Tradisi Suku Anak Dalam "Kubu" dari Minangkabau

Kubu atau biasa disebut juga Suku Anak Dalam atau Orang Timbangan adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan jumlah populasi suku anak dalam sekitar 200.000 orang.

Mengikuti Garis Keturunan Matrilineal (ibu) seperti Minangkabau

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ribuan suku bangsa, salah satunya ialah Suku Anak Dalam yang akrab dengan belantara hutan di Pulau Sumatra.

Perselisihan Dua Kerajaan

Ada banyak cerita dan kajian yang menjelaskan tentang asal usul Suku Anak Dalam, salah satunya dari Kementerian Sosial.

Mereka menjelaskan, suku ini terbentuk ketika adanya perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim Rangkayo Hitam. Konon, perselisihan ini semakin memanas, hingga akhirnya didengar Raja Pagar Ruyung, yang notabene ayah dari Puti Selara Pinang Masak.

Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk membantu Kerajaan Jambi guna menaklukan Kerajaan Tanjung Jabung. Namun, saking jauhnya jarak kerajaan tersebut, para prajurit yang menempuh medan pertempuran dengan berjalan kaki ini merasa tidak sanggup lagi. Kondisi mereka mulai menurun, sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis dalam perjalanan yang memakan waktu berhari-hari di hutan.

Singkat cerita para prajurit ini bermusyawarah, hingga memutuskan untuk mempertahankan diri hidup dalam hutan dengan tujuan menghindarkan rasa malu pada kerajaan, terutama pada Raja Pagar Ruyung. Lalu mereka mencari tempat sepi yang jauh dari permukiman manusia. Lambat laun, keberadaannya makin lama makin terpencil dan terisolasi dari dunia luar, hingga mereka dan keturunannya menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Asal usul Suku Kubu memang masih dirundung misteri. Pasalnya, banyak versi cerita dan kajian yang mendasari keberadaannya. Namun, Jatna Supriatna, biolog dan pejuang konservasi, dalam bukunya Melestarikan Alam Indonesia, menegaskan asal usul Suku Anak Dalam ini belum jelas. Hal senada juga diucapkan Pandong Spenra, aktivis lingkungan yang telah membina Suku Anak Dalam di Dharmasraya, Sumatera Barat sejak 2010.

Pandong mengungkapkan masyarakat Suku Anak Dalam memiliki kesamaan dengan masyarakat Minangkabau. “Banyak orang bilang kalau orang Kubu itu keturunan masyarakat Minang yang lari ke hutan, itu belum bisa dipastikan. Tapi, orang Kubu asal Minang mungkin benar sepanjang pengamatan saya terhadap tradisi mereka,” katanya.

Suku Anak Dalam juga mengikuti garis keturunan matrilineal (wanita atau ibu). Sama dengan garis keturunan yang diterapkan masyarakat Minangkabau, sementara di Indonesia satu-satunya masyarakat yang memakai paham garis keturunan ibu hanya Minangkabau.

“Mereka sangat matrilineal. Perempuan diletakkan pada posisi seperti bundo kanduang di Ranah Minang. Jadi besar kemungkinan mereka adalah bagian dari Minangkabau,” ujarnya.

Dalam mengambil keputusan, perempuan di Suku Kubu mempunyai peranan penting. Termasuk dalam mengelola harta, di sini kaum perempuan menjadi tempat tertinggi untuk mengelola harta. Bahkan, laki-laki tidak memegang sedikit pun dari harta yang berhasil mereka kumpulkan.

Selain itu, kesamaan lain dengan masyarakat Minangkabau, menurut Pandong, mereka tidak mempunyai budaya perang. Kalau masyarakat Suku Kubu bertengkar itu hanya sekadar berteriak-teriak sambil menghempaskan kaki ke tanah atau memukul barang yang ada di sekitarnya.

“Melihat tradisi mereka, bisa saya pastikan kalau mereka merupakan bagian dari Minangkabau. Tapi bagaimana proses sejarahnya saya tidak tahu,” pungkasnya.

Ragam Tradisi
Sama seperti suku pada umumnya, Suku Kubu juga memiliki beragam tradisi yang terkait dengan adat istiadatnya. Berikut beberapa di antaranya.

Melangun
Hal ini terkait dengan kematian orang terdekatnya. Suku Kubu biasanya menganggap hal ini merupakan kesedihan, terutama bagi keluarga yang ditinggalkannya. Selain itu, kelompok yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap hal tersebut merupakan kesialan.

Tradisi ini juga kerap digunakan untuk melupakan kesedihan, dan uniknya dalam tradisi ini mereka akan meninggalkan tempat tinggalnya dalam waktu cukup lama, bahkan para leluhur Suku Kubu bisa pergi 10 sampai 12 tahun lamanya.

Besale
Kata Besale hingga saat ini belum diketahui artinya, namun secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan duduk bersama untuk memohon kepada Yang Mahakuasa agar diberikan kesehatan, ketenteraman, dan dihindarkan dari marabahaya. Tradisi besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin seorang tokoh yang disegani. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih, terutama untuk berkomunikasi dengan dunia gaib. Dalam tradisi ini biasanya orang Kubu akan membuat bunyi-bunyian dari alat musik tradisional redab (Gendang Melayu) dan tari-tarian khas yang bersifat sakral.

Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut Suku Kubu atau Orang Rimba ini adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, terutama di daerah Palembang, Riau, dan Jambi. Namun, mayoritas keberadaan suku ini banyak terdapat di wilayah Jambi.

Survei Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI), pada 2004, menyatakan jumlah keseluruhan Suku Kubu ada sekitar 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.

Hingga 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Suku Kubu. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun, sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang mereka.

Selain di TNBD, kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatra Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup di sepanjang aliran anak sungai seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Lalu kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, tercatat sekitar 500 orang.

Kehidupan suku ini terkenal dengan kebiasaan hidup yang terisolasi dari dunia luar sehingga dari segi budaya ataupun kebanyakan dari mereka masih sangat orisinal, bahkan bisa dibilang primitif.

Selain itu, Suku Kubu yang menggantungkan hidupnya di hutan, kini kelestariannya sedang terancam akibat maraknya pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah tempat tinggalnya.

Tak Mau Disebut Orang Kubu, Karena Itu Menghina
Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Suku Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka.

Dalam percakapan antar warga masyarakat Jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. Sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.


Penyebutan Orang Rimba / Orang Kubu
Ada tiga sebutan yang mengandung makna yang berbeda, yaitu:
1. Kubu, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.

2. Suku Anak Dalam, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).

3. Orang Rimba, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya.

Wilayah Pemukiman
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Adat Istiadat
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kimpoi harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.

Cara Bertahan Hidup
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suku anak anak dalam biasanya melakukan kegiatan berburu atau meramu, menangkap ikan, dan memanfaatkan buah-buahan yang ada di dalam hutan namun dengan perkembangan zaman dan adanya akulturasi budaya dari masyarakat luar, kini beberapa suku anak dalam telah mulai mengenal penegtahuan tentang pertanian dan perkebunan.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.
asmodeus489Avatar border
asmodeus489 memberi reputasi
3
2K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan