Kaskus

Story

blank.codeAvatar border
TS
blank.code
Akasia And The Secret Door [A2TSD]
Akasia And The Secret Door [A2TSD]



# PROLOGUE -

Jakarta, Juni 2021

Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi, membelai lembut kelopak mata Akasia yang masih terlelap. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu, dengan rambut hitam yang menjuntai satu sentimeter di bawah telinga, menggeliat malas. Tangannya meraba-raba, mencari guling di atas kasur lantai berbalut seprai bergambar lambang Juventus. Dengan gerakan lamban, ia menutupi wajahnya, menghalau serbuan cahaya yang kian mengganggu.

Melody ponsel memecah keheningan. "Tang ting tung tang ting tung..." Nada dering itu menggema, seolah menari-nari di sekitar telinga Akasia.

"Cih!" decaknya kesal.

Dengan enggan, Akasia meraih gawai hitamnya. Dari balik guling, ia mengintip layar yang menampilkan dua panggilan tak terjawab dari kontak bernama "Hitler" - julukan untuk manajer divisinya. Jemarinya bergerak cepat, membuka kunci layar, lalu mengaktifkan mode hening. Setelah itu, ponsel itu pun terlempar pelan, mendarat entah di mana.

Entah berapa lama waktu berlalu ketika Akasia akhirnya bangkit. Ia mendudukkan diri, bersandar pada dinding putih kamar berukuran empat kali empat meter persegi itu. Kakinya menyeret ponsel mendekat, lalu jemarinya menekan tombol di sisi kanan atas. Angka digital menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Dengan langkah gontai, Akasia menuju wastafel dapur. Ia meraih cairan pembersih wajah, memutar keran, lalu membasuh mukanya yang masih kusut. Sikat gigi menjadi ritual berikutnya. Usai itu, handuk biru tua yang tergantung di sisi kiri wastafel menjadi sasaran untuk mengeringkan wajah dan rambutnya. Bagi Akasia, ini adalah rutinitas pagi yang tak pernah absen. Ia bukan tipe yang gemar mandi pagi; satu kali mandi sehari, sore atau menjelang malam, sudah cukup baginya. Dalam benaknya, ini adalah wujud nyata kepeduliannya terhadap bumi - menghemat penggunaan air.

Setelah berganti pakaian dan menyemprotkan parfum ke sudut-sudut tubuhnya, Akasia beranjak ke dapur sederhana. Ia mengambil gelas bening, mengisinya dengan air dari dispenser, lalu meneguknya perlahan. Matanya tertuju pada poster dua tokoh idolanya: Nikola Tesla dan Einstein.

"Morning, Sir! Have a nice day!" sapanya pada kedua poster itu, mengacungkan gelas yang kini hanya berisi air setinggi ruas jari kelingking. Senyum tipis tersungging di bibirnya sebelum meletakkan gelas itu kembali ke meja dapur.

Langkahnya mantap menuju meja kerja di tengah ruangan, sejajar dengan dua daun jendela berkusen aluminium. Laptop putih dinyalakan, sementara Akasia mendudukkan diri di kursi putar hitam yang empuk. Sambil menunggu sistem operasi memuat, ia berputar 360 derajat, menikmati sensasi kebebasan sesaat. Kabel printer dihubungkan, Microsoft Word dibuka, dan selembar kertas berisi format surat pengunduran diri dicetak. Ya, hari ini adalah hari dimana Akasia memutuskan untuk mengakhiri karirnya di perusahaan telekomunikasi ternama di Jakarta. Itulah alasan di balik bangun siangnya - hanya untuk datang ke kantor terakhir kali, menyerahkan surat resign.

Tiga puluh menit berlalu. Setelah menempuh perjalanan dengan kereta komuter, Akasia tiba di depan gedung kantornya. Namun, perjalanannya belum berakhir. Ruang kerjanya berada di antara lantai 10 hingga 15. Mengenakan kemeja navy polos yang dipadukan dengan celana jeans hitam belel dan sneakers putih berstrip hitam, ia melangkah mantap.

Begitu tiba di lobi lantai 10, pandangan Akasia tertuju pada seorang gadis berparas anggun. Rambut hitamnya yang seleher dengan poni rapi membingkai wajahnya dengan sempurna. Tag nama di seragamnya tertulis "Arini P".

"Psst... psst..." Akasia berbisik, berusaha menarik perhatian Arini yang tengah sibuk menerima panggilan telepon.

Arini tak menggubris. Akasia menunggu dengan sabar hingga rekan kerjanya itu mengakhiri percakapan teleponnya.

"Aka! Lo gila ya? Jam segini baru nongol?" cerca Arini, nada suaranya campuran antara kaget dan geli.

Akasia menanggapi dengan santai, senyum jenaka tersungging di bibirnya. "Santai dong, Rin. Gue ke sini cuma mau nitip ini," ucapnya enteng sambil menyodorkan amplop putih. "Nanti tolong kasih ke mbak Yuni di personalia ya?"

"Nih, sekalian buat lo. Gue nggak lupa kok," lanjutnya, memberikan sebatang cokelat berbungkus biru tua.

Arini menerima amplop dan cokelat itu dengan alis terangkat. "Apaan nih, Ka? Jangan bilang..."

"Udah, kasih aja. Nggak usah nanya-nanya," potong Akasia, masih dengan nada santainya.

Arini membelalakkan mata, paham akan maksud amplop tersebut. "Serius lo, Ka? Duh, berarti nggak ada lagi dong yang suka traktir gue cokelat." godanya, pura-pura sedih.

"Jadi, cuma segitu harga gue di mata lo?" balas Akasia, pura-pura tersinggung.

Keduanya tertawa lepas, mengundang tatapan heran dari orang-orang yang berlalu-lalang di lobi.

"Sukses ya, Ka," ujar Arini setelah tawa mereka mereda. "Ngomong-ngomong, lo mau cabut ke mana sih?"

"Duh, kepo banget sih lo, Rin," Akasia terkekeh. "Nanti gue kabarin deh. Gue chat lo infonya."

"Oke deh, bos!" Arini mengangguk. "Tapi gue sedih beneran lho, Ka."

"Sedih karena nggak ada lagi cowok ganteng di kantor, ya?" goda Akasia, memasang ekspresi narsis.

Arini memutar bola matanya. "Ih, mendadak dari sedih jadi pengen muntah gue!"

Tawa mereka kembali pecah, kali ini lebih keras hingga beberapa orang di sekitar lobi menoleh ke arah mereka.

"Udah ah, gue cabut dulu ya, Rin," kata Akasia, mulai meredakan tawanya. "Gue minta maaf ya, kalo selama di kantor ada salah atau becandaan gue yang kelewatan."

"Aelah, lebay lo. Emangnya gue nggak tau lo gimana?" balas Arini, tersenyum lembut. "Eh, lo nggak mau pamitan sama yang lain di dalam?"

Akasia menggeleng. "Nggak usah deh, ribet. Nanti gue pamitan di grup chat aja."

"Ya udah kalo gitu. Sukses ya, Ka. Sampai ketemu di luar sana kapan-kapan."

Akasia mengangguk, tersenyum tulus pada Arini sebelum berbalik menuju lift. Di dalam lift, ia mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa kalimat perpisahan yang terkesan klise di grup chat kantor. Jemarinya lalu bergerak cepat, memilih untuk keluar dari grup tersebut.

Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, Akasia melangkah keluar dengan perlahan. Gawainya dinonaktifkan; ia paham betul bahwa keputusannya yang mendadak pasti akan memancing banjir pertanyaan dari rekan kerja dan atasan. Namun, ia tak berminat menjawabnya saat ini. Di luar gedung, ia menghirup udara dalam-dalam, seolah menyesap kebebasan yang baru saja diraihnya, sebelum memanggil tukang ojek untuk mengantarnya ke stasiun komuter terdekat.

Stasiun Gondangdia menjadi perhentian berikutnya. Setelah membayar ongkos ojek, Akasia melangkah masuk, mengetapkan kartu elektronik berlogo KRL yang terselip di bagian belakang casing ponselnya. Lima menit menunggu, dan kereta tujuannya tiba. Decit roda baja yang beradu dengan rel cumiakkan telinga sebelum akhirnya melambat dan berhenti tepat di hadapannya.

Di dalam gerbong yang lengang, Akasia memilih duduk di bangku kosong. Earphone wireless dan iPod hitam dikeluarkan dari tas katun abu-abunya. Tak lama kemudian, intro lagu "Fake Plastic Trees" milik Radiohead mengalun, meredam suara-suara di sekitarnya. Siang itu, suasana gerbong tampak sepi. Hanya ada dua anak lelaki berseragam SMP dan seorang wanita paruh baya yang memeluk kantong plastik putih.

Bersandar dengan kedua tangan sebagai tumpuan di belakang kepala, Akasia memejamkan mata. Seketika, kenangan-kenangan selama bekerja berkelebat dalam benaknya. Teman-teman dan rekan kerjanya tak pernah tahu bahwa keputusan untuk mengundurkan diri ini telah ia rencanakan jauh-jauh hari, tepatnya empat bulan lalu.

Keputusan besar ini, salah satunya, dipicu oleh sebuah peristiwa yang ia saksikan suatu malam. Sebagai seorang yang ahli dalam piranti komputer, ia tak sengaja menemukan sebuah file terenkripsi. Setelah melalui proses rumit, file tersebut akhirnya terbuka. Namun, alangkah terkejutnya Akasia saat melihat isinya: sebuah video berdurasi dua menit dan satu paragraf tulisan berformat .txt. Penemuan ini membentuk jurang penasaran yang begitu dalam di pikiran serta hatinya, sekaligus menjadi titik awal dari kisah yang akan mengubah hidupnya selamanya
.


emoticon-heartAnd emoticon-rose

Diubah oleh blank.code 07-09-2024 10:53
itkgidAvatar border
maniacok99Avatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 9 lainnya memberi reputasi
10
3.5K
53
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan