- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Man Do Not Cry


TS
drhans
Man Do Not Cry
Man Do Not Cry
Aceng terduduk lesu di pinggiran trotoar yang panas. Sudah setengah harian ia berjualan boneka plastik beruang di sekitaran perhentian lampu merah, tetapi belum satupun terjual.
Haus dan lapar sudah beberapa kali menjenguknya bahkan menggedor pintu lambungnya dengan keras. Air minum dalam plastik kemasan sudah habis ditenggaknya beberapa jam yang lalu.
Tak ada uang sepeserpun tersisa sekedar untuk membeli air minum dan sepotong gorengan.
Aceng malu untuk meminjam uang lagi kepada teman-teman sesama pengasong. Nasib mereka tak lebih baik dibanding dirinya.
***
Semalam, di bedeng kos tempat Aceng menginap bersama 9 orang temannya, datang bos Handi menawarkan pekerjaan.
Setelah lebih dari tiga bulan menganggur dan harus berdiam di bedeng, tawaran pekerjaan seperti itu bagaikan turunnya hujan di saat kemarau. Semuanya menyambut dengan sukacita.
Memang, pemerintah belum membebaskan dan melonggarkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) walau sudah menginjak bulan ketiga, tetapi bagi orang-orang seperti Aceng, satu hari berdiam di bedeng tanpa pekerjaan, satu hari yang berat lagi harus dilalui.
Semenjak PSBB diberlakukan, jangankan perkara membeli rokok lagi, untuk membeli makanan saja, Aceng setiap waktu harus memikirkan dengan susah payah.
Hutangnya kepada yu Yem, kang Dedi, bang Amat, cak Wirun, te' Eni dan masih banyak orang lagi, setiap waktu semakin bertambah dan dia hanya bisa berjanji akan berusaha melunasi setelah mendapat pekerjaan lagi.
***
Jalanan siang itu tampak lenggang. Hanya satu-dua mobil yang terlihat lalu-lalang. Sesekali pasukan ojol (ojek online) melintas mengantar pesanan.
Agaknya, wabah pandemi kali ini cukup menakutkan bagi banyak orang. Bila tidak terpaksa sekali untuk keluar rumah, orang-orang menghindari bepergian.
Malangnya, bagi orang seperti Aceng, lalu-lintas yang sepi bak buah simalakama. Berdagang sudah susah, hampir tak ada calon pembeli pula.
Sedang menikmati kesendiriannya di trotoar, Aceng dikejutkan dengan teriakan panik teman-temannya dan suara ribut dari arah belakang.
Celaka!
Satuan tramtib pamong praja disertai petugas kepolisian dan dinas perhubungan melakukan patroli PSBB.
Aceng ikut panik dan bersiap lari. Sialnya, ia tersandung batu trotoar. Hampir saja Aceng terjaring patroli petugas PSBB.
Ia berhasil selamat setelah lari masuk ke dalam gang-gang di pemukiman padat penduduk.
Apesnya, saat berlari ketakutan itu, Aceng tak sadar bahwa beberapa barang jualannya tercecer di jalanan.
Belum juga laris satupun, sekarang hilang entah dimana. Bos Handi pasti tidak mau tahu alasan hilangnya barang jualan itu. Ia pasti menagih hasil jualannya secara utuh.
Bagaimana ini?
Seharian Aceng berkeliling tanpa arah tujuan. Berpikir bahwa ia takkan dapat mengembalikan barang jualan yang hilang atau membayarnya, Aceng tak berani pulang ke bedeng.
Berjalan tanpa tujuan, tahu-tahu bulan sudah merambat naik. Aceng berpikir ia sebaiknya menumpang tidur di depan etalase toko malam itu.
Namun, ketika sampai di lokasi, ia harus menerima digusur dari sana. Kaveling di depan etalase toko sudah berpenghuni. Bergeser ke sebelah, demikian pula. Digusur. Terus begitu.
Salah seorang penghuni emperan toko berbaik hati membisiki Aceng bahwa untuk mendapat 'tempat menginap', Aceng harus membayar 'uang jago' kepada kepala preman di sana. Dan itu mustahil bagi Aceng. Ia tak mengantongi uang sepeserpun.
Akhirnya, setelah ditolak di banyak tempat, Aceng mendapat juga tempat istirahat, pas di sebelah got saluran pembuangan.
Saat menikmati hiburan jutaan bintang di langit, bunyi sms masuk mengusik Aceng. Sms dari sang isteri di kampung.
Isterinya menanyakan mengapa ia belum mengirim uang selama berbulan-bulan.
Sang isteri sudah tak sanggup bertahan lagi. Sudah tak ada persediaan makanan, uang dan tak ada lagi barang perabotan yang bisa dijual.
Kedua anaknya yang besar, tidak berani masuk sekolah lagi karena menunggak uang sekolah, sedang si bungsu selalu merengek rewel dan acapkali demam tubuhnya.
Pandangan Aceng nanar dan ia hanya bisa menatap kosong layar telepon genggamnya.
***
Pagi-pagi sekali Aceng dibangunkan oleh suara 'nguing-nguing' sirene mobil ambulan. Ada yang meninggal.
Astaga!
Seorang pria diperkirakan berusia sekitar 50-an tahun ditemukan meninggal di dekat gorong-gorong pembuangan air. Letaknya tak sampai 10 meter dari tempat Aceng berbaring.
Salah seorang pelancong melapor ke - 119 karena melihat sesosok mayat terbujur kaku di sana.
Aceng yang syok dan terpaku diam di lokasi mayat, ikut diangkut oleh petugas ke dalam ambulan. Ia dianggap sebagai kerabat atau teman terdekat dari si mayat karena petugas tak menemukan orang lain lagi di sekitar lokasi.
Sesampainya di kamar mayat, salah seorang petugas ambulan meminta Aceng ikut dengannya untuk mengurus administrasi orang yang meninggal itu.
Aceng yang tak tahu apa-apa, mengekor saja si petugas bak kerbau yang dicocok hidungnya.
Ia baru terkaget setengah mati ketika diminta untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya transpor dan administrasi.
Belum sempat menjelaskan, Aceng sudah ditodong lagi mengenai berbagai macam biaya penguburan dan lainnya.
Saat itu, sang petugas administrasi tak melihat tampang Aceng yang sudah pucat pasi dan masih terus memberondongnya dengan berbagai tagihan dan biaya.
Semakin mendengar, semakin keras terlihat tubuh Aceng bergetar.
Aceng mau memprotes. Ia mau berteriak. Ia mau menangis. Tetapi, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada tetes air mata yang mengalir dari matanya yang cekung.
Yang ada hanya tubuhnya mendadak kejang-kejang dan ketika pandangannya mulai memudar, samar-samar ia mendengar seorang motivator terkenal sedang bersiaran langsung melalui radio.
Topik yang dibahas oleh sang motivator, kalau tidak salah, adalah, 'Hidup ini adalah kesempatan'.
Aceng tak sempat mendengar apa-apa lagi ...
Salam semua. Be happy. Gbu.
Aceng terduduk lesu di pinggiran trotoar yang panas. Sudah setengah harian ia berjualan boneka plastik beruang di sekitaran perhentian lampu merah, tetapi belum satupun terjual.
Haus dan lapar sudah beberapa kali menjenguknya bahkan menggedor pintu lambungnya dengan keras. Air minum dalam plastik kemasan sudah habis ditenggaknya beberapa jam yang lalu.
Tak ada uang sepeserpun tersisa sekedar untuk membeli air minum dan sepotong gorengan.
Aceng malu untuk meminjam uang lagi kepada teman-teman sesama pengasong. Nasib mereka tak lebih baik dibanding dirinya.
***
Semalam, di bedeng kos tempat Aceng menginap bersama 9 orang temannya, datang bos Handi menawarkan pekerjaan.
Setelah lebih dari tiga bulan menganggur dan harus berdiam di bedeng, tawaran pekerjaan seperti itu bagaikan turunnya hujan di saat kemarau. Semuanya menyambut dengan sukacita.
Memang, pemerintah belum membebaskan dan melonggarkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) walau sudah menginjak bulan ketiga, tetapi bagi orang-orang seperti Aceng, satu hari berdiam di bedeng tanpa pekerjaan, satu hari yang berat lagi harus dilalui.
Semenjak PSBB diberlakukan, jangankan perkara membeli rokok lagi, untuk membeli makanan saja, Aceng setiap waktu harus memikirkan dengan susah payah.
Hutangnya kepada yu Yem, kang Dedi, bang Amat, cak Wirun, te' Eni dan masih banyak orang lagi, setiap waktu semakin bertambah dan dia hanya bisa berjanji akan berusaha melunasi setelah mendapat pekerjaan lagi.
***
Jalanan siang itu tampak lenggang. Hanya satu-dua mobil yang terlihat lalu-lalang. Sesekali pasukan ojol (ojek online) melintas mengantar pesanan.
Agaknya, wabah pandemi kali ini cukup menakutkan bagi banyak orang. Bila tidak terpaksa sekali untuk keluar rumah, orang-orang menghindari bepergian.
Malangnya, bagi orang seperti Aceng, lalu-lintas yang sepi bak buah simalakama. Berdagang sudah susah, hampir tak ada calon pembeli pula.
Sedang menikmati kesendiriannya di trotoar, Aceng dikejutkan dengan teriakan panik teman-temannya dan suara ribut dari arah belakang.
Celaka!
Satuan tramtib pamong praja disertai petugas kepolisian dan dinas perhubungan melakukan patroli PSBB.
Aceng ikut panik dan bersiap lari. Sialnya, ia tersandung batu trotoar. Hampir saja Aceng terjaring patroli petugas PSBB.
Ia berhasil selamat setelah lari masuk ke dalam gang-gang di pemukiman padat penduduk.
Apesnya, saat berlari ketakutan itu, Aceng tak sadar bahwa beberapa barang jualannya tercecer di jalanan.
Belum juga laris satupun, sekarang hilang entah dimana. Bos Handi pasti tidak mau tahu alasan hilangnya barang jualan itu. Ia pasti menagih hasil jualannya secara utuh.
Bagaimana ini?
Seharian Aceng berkeliling tanpa arah tujuan. Berpikir bahwa ia takkan dapat mengembalikan barang jualan yang hilang atau membayarnya, Aceng tak berani pulang ke bedeng.
Berjalan tanpa tujuan, tahu-tahu bulan sudah merambat naik. Aceng berpikir ia sebaiknya menumpang tidur di depan etalase toko malam itu.
Namun, ketika sampai di lokasi, ia harus menerima digusur dari sana. Kaveling di depan etalase toko sudah berpenghuni. Bergeser ke sebelah, demikian pula. Digusur. Terus begitu.
Salah seorang penghuni emperan toko berbaik hati membisiki Aceng bahwa untuk mendapat 'tempat menginap', Aceng harus membayar 'uang jago' kepada kepala preman di sana. Dan itu mustahil bagi Aceng. Ia tak mengantongi uang sepeserpun.
Akhirnya, setelah ditolak di banyak tempat, Aceng mendapat juga tempat istirahat, pas di sebelah got saluran pembuangan.
Saat menikmati hiburan jutaan bintang di langit, bunyi sms masuk mengusik Aceng. Sms dari sang isteri di kampung.
Isterinya menanyakan mengapa ia belum mengirim uang selama berbulan-bulan.
Sang isteri sudah tak sanggup bertahan lagi. Sudah tak ada persediaan makanan, uang dan tak ada lagi barang perabotan yang bisa dijual.
Kedua anaknya yang besar, tidak berani masuk sekolah lagi karena menunggak uang sekolah, sedang si bungsu selalu merengek rewel dan acapkali demam tubuhnya.
Pandangan Aceng nanar dan ia hanya bisa menatap kosong layar telepon genggamnya.
***
Pagi-pagi sekali Aceng dibangunkan oleh suara 'nguing-nguing' sirene mobil ambulan. Ada yang meninggal.
Astaga!
Seorang pria diperkirakan berusia sekitar 50-an tahun ditemukan meninggal di dekat gorong-gorong pembuangan air. Letaknya tak sampai 10 meter dari tempat Aceng berbaring.
Salah seorang pelancong melapor ke - 119 karena melihat sesosok mayat terbujur kaku di sana.
Aceng yang syok dan terpaku diam di lokasi mayat, ikut diangkut oleh petugas ke dalam ambulan. Ia dianggap sebagai kerabat atau teman terdekat dari si mayat karena petugas tak menemukan orang lain lagi di sekitar lokasi.
Sesampainya di kamar mayat, salah seorang petugas ambulan meminta Aceng ikut dengannya untuk mengurus administrasi orang yang meninggal itu.
Aceng yang tak tahu apa-apa, mengekor saja si petugas bak kerbau yang dicocok hidungnya.
Ia baru terkaget setengah mati ketika diminta untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya transpor dan administrasi.
Belum sempat menjelaskan, Aceng sudah ditodong lagi mengenai berbagai macam biaya penguburan dan lainnya.
Saat itu, sang petugas administrasi tak melihat tampang Aceng yang sudah pucat pasi dan masih terus memberondongnya dengan berbagai tagihan dan biaya.
Semakin mendengar, semakin keras terlihat tubuh Aceng bergetar.
Aceng mau memprotes. Ia mau berteriak. Ia mau menangis. Tetapi, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada tetes air mata yang mengalir dari matanya yang cekung.
Yang ada hanya tubuhnya mendadak kejang-kejang dan ketika pandangannya mulai memudar, samar-samar ia mendengar seorang motivator terkenal sedang bersiaran langsung melalui radio.
Topik yang dibahas oleh sang motivator, kalau tidak salah, adalah, 'Hidup ini adalah kesempatan'.
Aceng tak sempat mendengar apa-apa lagi ...
Salam semua. Be happy. Gbu.






husnulhatima204 dan 4 lainnya memberi reputasi
3
831
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan