- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mantan Ketum PB IDI Daeng M Faqih: Ada Fakultas Kedokteran tapi Tidak Ada Dosennya


TS
dragonroar
Mantan Ketum PB IDI Daeng M Faqih: Ada Fakultas Kedokteran tapi Tidak Ada Dosennya
https://www.merdeka.com/khas/mantan-...-dosennya.html
Mantan Ketum PB IDI Daeng M Faqih: Ada Fakultas Kedokteran tapi Tidak Ada Dosennya
Jumat, 17 Juni 2022 10:11
Mantan Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih. ©2019 Merdeka.com
Merdeka.com - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2018-2021, Daeng Mohammad Faqih mengungkapkan ada empat masalah dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Mulai akses hingga rekognisi, keempatnya saling terkait.
Upaya pemerintah memperluas akses pendidikan kedokteran, terutama di Indonesia timur tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga pendidik. Akibatnya, ada fakultas-fakultas kedokteran yang baru dibuka, tidak memiliki dosen.

"Jadi ada kasus-kasus di zaman saya itu, misalnya di Papua sama Sulawesi itu sampai mahasiswanya misalnya tidak dapat dosen, padahal fakultas itu sudah dibuka tapi tidak ada dosen yang ngajar. Karena enggak ada dosennya, akhirnya diampu oleh universitas lain," kata Daeng dalam wawancara dengan merdeka.com, 8 Juni lalu.
Berikut wawancara lengkap reporter merdeka.com Supriatin dengan Daeng M Faqih:
Saat Bapak menjadi ketua umum IDI, bagaimana situasi pendidikan kedokteran di Indonesia?
Ini bukan hanya satu pihak yang merasakan, tapi semua. Jadi masyarakat, kawan-kawan dokter, termasuk IDI, kawan-kawan di pendidikan juga, itu merasakan. Kawan-kawan di DPR setahu saya, dan pemerintah itu merasakan bahwa mengakses pendidikan kedokteran itu tidak mudah.
Faktor yang menyebabkan tidak mudah itu, yang paling utama adalah mahal masuk (kuliah) kedokteran itu. Sehingga memang ada kawan-kawan yang orangnya cerdas tapi enggak punya duit, enggak bisa sekolah kedokteran, enggak mampu bayar. Nah ini harus dicarikan solusi.
Kemudian yang kedua, dengan monitoring fakultas-fakultas kedokteran. Jadi ada kasus-kasus di zaman saya itu, misalnya di Papua sama Sulawesi itu sampai mahasiswanya misalnya tidak dapat dosen, padahal fakultas itu sudah dibuka tapi tidak ada dosen yang ngajar. Karena enggak ada dosennya, akhirnya diampu oleh universitas lain. Itu yang terjadi sehingga ini jadi perhatian. Bahwa kesiapan membuka fakultas kedokteran itu penting harus jelas-jelas memang memenuhi syarat. Enggak boleh nanti ada mahasiswa yang masuk itu enggak ada dosen yang mengajar.
Saya hanya menunjukkan peristiwa-peristiwa ya, sudah disetujui berdiri, sudah dikasih izin, ternyata ada problem yang setahu saya waktu itu di daerah Papua dan Sulawesi. Daerah Papua yang kelihatan jelas itu, dosen-dosennya tidak tersedia. Jadi itu sebenarnya harus dibenahi bahwa fakultas kedokteran itu bediri, itu semuanya sudah clear, sarananya siap, dosenya siap, mutunya juga siap. Itu semuanya itu harus clear.
Kemudian yang ketiga, yang saya tahu itu, ada problem ujian nasional. Ujian mahasiswa kedokteran yang terakhir itu kan ada ujian istilanya ujian nasional untuk dokter. Itu jumlahnya banyak sekali, di zaman saya itu menyentuh angka 3.000 yang enggak lulus.
Ujian nasional itu dilaksanakan semestinya oleh asosiasi pendidikan bersama kalau enggak salah kolegium. Tapi praktiknya memang kemudian dilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk oleh Dikbud, itu yang enggak lulus, yang mengulang sampai berkali-kali ikut ujian. Ada yang sampai 10 kali, ada yang 15 kali, itu total yang terkatung-katung karena tidak lulus ujian yang sifatnya nasional.
Keempat, ini persoalan yang terkait bagaimana merekognisi (mengakui) saudara-saudara kita yang sudah belajar keluar (kuliah kedokteran di luar negeri), mau masuk ke dalam negeri kan ribet. Saya waktu ketua IDI sudah menyampaikan kepada pemerintah, ini biar enggak ribet, enggak menyusahkan kawan-kawan, sebaiknya itu dilakukan di awal.
Maksudnya dilakukan di awal begini, jadi kementerian Dikbud dan Dikti itu dia sudah melakukan rekognisi atau melakukan pengakuan terlebih dulu universitas-universitas mana diakui oleh negara kita, ada daftarnya. Jadi kalau ada saudara kita yang mau sekolah keluar negeri, itu lihat daftar dulu di Dikti, di Dikbud, sehingga kalau sudah masuk ke universitas yang masuk daftar, diakui oleh pemerintah, begitu dia lulus enggak ribet lagi langsung pemerintah merekognisi.
Nah, sistem kayak begitu belum ada di Indonesia. Di Singapura, Malaysia banyak dilakukan, dia sudah mengakreditasi atau merekognisi atau mengakui universitas itu di luar yang menurut dia mutunya bagus. Pokoknya itu sudah ada, sehingga warganya itu kalau sekolah keluar dia tahu pilih universitas mana yang tentunya diakui oleh negaranya.
Saya waktu jadi ketua umum IDI mendorong itu, mendorong pemerintah membuat list itu, sehingga kalau ada saudara kita, warga negara kita mau sekolah keluar, sebaiknya melihat daftar itu. Jadi yang utama saya lihat itu. Empat hal itu yang harus dibenahi.
Biaya pendidikan kedokteran sangat mahal, apa penyebabnya?
Begini, pendidikan kedokteran itu biayanya mahal. Kan butuh ini, butuh itu, banyak praktikumnya kan. Memang biaya operasionalnya mahal. biaya yang besar ini, jangan hanya dibebankan menjadi SPP atau UKT (uang kuliah tunggal). Kalau dibebankan semua ke anak didik atau orang tua, itu bagi masyarakat jatuhnya mahal.
Bagi orang tua atau peserta didik, calon peserta didik yang tidak mampu tapi pintar, enggak akan bisa menjangkau. Ini perlu dicarikan sistem lain, jangan dibebankan ke peserta didik sama orang tua saja. Itu yang bikin mahal, saya tidak tahu persis ya apakah keseluruhannya atau mayoritas dibebankan ke peserta didik. Jadi harus diubah sistemnya, negara harus hadir di situ. Seperti apa caranya? Harus dicari, harus didiskusikan bersama.
Menurut IDI, sistem yang ideal seperti apa?
Jadi cobalah kita benchmark (membandingkan) ke beberapa negara. Kita sebenarnya meminta DPR, pemerintah melakukan perbandingan tentang bagaimana cara pembiayaan untuk sekolah kedokteran. Misalnya negara dengan skema basiswa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kemudian, itu dikaitkan dengan penempatan dalam rangka distribusi dokter. Kan sekarang problemnya ada distribusi dokter dalam pelayanan.
Ini harus matching dengan pendidikan. Kalau pendidikan itu di kedokteran itu ada skema afirmasi. Supaya daerah-daerah yang tidak ada dokternya itu, di situ anak-anak yang cerdas disekolahkan di kedokteran. Dibiayai oleh pemda maupun pemerintah pusat. Pemerintah pusat kan banyak itu instrumennya, lewat LPDP dan lain-lain. Pemda juga turut serta.
Nanti karena ini anak daerah dikembalikan ke daerah itu yang memang tidak ada dokter. Jadi ini harus matching dengan ranah pelayanan untuk distribusi tenaga dokter. Jadi harus dipadukan dengan upaya di sistem pelayanan dengan program afirmasi tadi. Istilah kami di IDI itu, program afirmasi. Jadi pemerintah daerah ikut turut serta, pemerintah pusat ikut turut serta.
Itu menyelesaikan dua hal, apa itu? Akses ke pendidikan kedokteran itu terbuka. Meskipun ada warga kita yang tidak mampu secara ekonomi bisa ikut sekolah. Kemudian dia juga bisa membantu menyelesaikan persoalan distribusi pelayanan, khususnya distribusi tenaga dokter. Kita sudah ajukan itu, kita sudah diskusikan ke pemerintah, ke DPR, mudah-mudah ini akan ada karena mumpung ada pembahasan UU pendidikan kedokteran, mudah-mudahan ini masuk.
Yang kedua, yang tadi tentang sudah diterima kemudian fakultas kedokteran tidak bisa berproses. Kenapa? Karena tidak ada tenaganya, tidak ada fasilitasnya, kalau menurut saya yang sudah diajukan oleh PB IDI itu mengenai sistem untuk menyetujui pendirian fakultas kedokteran harus dilakukan dengan baik syarat-syaratnya. Kemudian monitoring dengan baik setiap periode. 5 Tahun sekali diperiksa itu, supaya kejadian-kejadian tidak ada pengajarnya, kurang pengajarnya atau kurang fasilitas, semua ini terhindari.
Kemudian kalau banyak yang tidak lulus peserta ujian, harus berani untuk mengoreksi. Bagaimana sih cara penjagaan mutu yang dilakukan secara benchmark, modelnya secara internasional apakah dengan ujian nasional? Padahal semangat pemerintah kan waktu (Mendikbud Ristek) Nadiem, bahkan sebelum Nadiem, itu kan ingin menghapus ujian nasional. Apakah memang dengan cara seperti itu ataukah dengan cara yang lain yang mungkin di internasional itu benchmarknya di beberapa negara dilakukan dengan baik. Karena saya pernah dikasih tahu oleh kawan-kawan DPR saya enggak sebut namanya ya, pernah benchmark negara di luar itu ujian nasional untuk kedokteran, kecuali di Indonesia.
Bukan IDI loh yang mengatakan, coba cek saja di dunia internasional seperti apa. Di dokumen Dikti yang kami tahu juga, justru ujian nasional ini dihapus. Kemudian kemarin kan juga itu kawan-kawan asosiasi perguruan tinggi kesehatan kayanya juga protes ke Mahkamah Konstitusi tentang masalah ujian nasional tenaga kesehatan kan.
Itu harus berani kita kaji ulang, apakah memang seperti ini caranya atau seperti apa? Karena ini berpotensi menghambat produksi dokter. Bayangkan yang tersisa sampai 3.000. Ini bukan di ranah profesi loh ya, karena ini yang melaksanakannya di bawah kepanitiaan kementerian, kawan-kawan di kementerian harus mengkaji menurut saya. Kami hanya mengusulkan.
Tepatkah UN tenaga kesehatan dibuat Kemendikbud?
Itu yang kami sebenarnya mencoba untuk ingin mendiskusikan, tetapi kan harus dicarikan solusi seperti apa. Yang pertama apakah itu sesuai dengan kalau kita benchmark ke dunia internasional, ke beberapa negara, apakah itu memang sesuai dengan standar-standar yang lazim diberlakukan atau seperti apa. Yang kedua, kalau enggak dengan UN banyak tidak lulus kemudian terhambat untuk jadi dokter, itu kira2 solusinya seperti apa? Ini kan harus berani kita diskusikan, kita kaji.
Kemudian yang terakhir tadi, yang susah masuk ke dalam negeri itu. Kami sangat berharap waktu itu zaman saya, mudah-mudahan ini masih terus diupayakan supaya pemerintah dari awal itu sudah membuat list di awal, universitas mana yang diakui oleh negara kita, universitas di luar ya, misalnya Universitas Harvard, apa, daftarnya sudah ada. Sehingga warga negara kita tahu itu, misal mau sekolah di luar memilih yang ini, supaya kalu saya lulus datang ke dalam negeri, sudah selesai, hanya diverifikasi saja. Tidak melalui proses yang panjang.
Itu sudah diusulkan waktu itu zaman saya ke Dikbud, mudah-mudahan itu bisa diadopsi di peraturan karena bagaimana pun kan IDI hanya mengadvokasi. IDI bukan penentu kebijakan di situ, hanya mengadvokasi, melihat kondisi hal-hal yang terkait dengan persoalan pendidikan khususnya kedokteran.
Usulan seperti ini menurut Bapak memudahkan pemerintah menambah jumlah dokter?
Iyalah, tapi sekali lagi kan IDI hanya advokasi sifatnya, bukan yang menentukan kebijakan, yang menentukan kebijakan tetap pemerintah kan.
Bagaimana peran pemerintah selama ini menekan biaya pendidikan kedokteran sekaligus menambah jumlah dokter?
Kalau menekan biaya pendidikan kedokteran harus ada instrumen baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat juga ikut serta di situ. Kalau pemerintah pusat ada LPDP kan, pemerintah daerah harus menyisihkan anggaran. Ini yang saya katakan tadi. Kalau ini kompak, pemda, pusat, sama-sama memberikan strategi untuk anggaran pendidikan kedokteran atau namanya program afirmasi, itu dua hal yang akan kita kena.
Pembiayaannya SPP bagi warga yang miskin, yang enggak punya tapi otaknya cerdas, itu bisa mengakses pendidikan kedokteran lewat program afirmasi itu. Itu bisa dimanfaatkan untuk distribusi tenaga kesehatan. Kenapa bisa? Karena diutamakan yang sekolah itu adalah anak-anak cerdas yang berasal dari daerah-daerah yang di situ kekurangan tenaga medis.
Artinya selama ini program afirmasi belum dijalankan pemda dan pemerintah pusat?
Belum ada. Makanya kita dorong itu, mudah-mudahan diakomodasi di UU Pendidikan Kedokteran. Jadi program afirmasi itu belum ada. Kemudian kita yang juga kekurangan produksi dokter, sebenarnya kekurangan yang utama itu kekurangan produksi dokter spesialis. Yang kami dorong itu, kami tekankan ke pemerintah salah satu strateginya adalah menambah tempat pendidikan dokter spesialis.
Pendidikan dokter spesialis ini sistemnya magang kan. Jadi perlu rumah sakit untuk magang tempat pendidikan. Nah selama ini yang dipakai adalah rumah sakit-rumah sakit di sentra-sentra pendidikan. Kita mendorong supaya pemerintah punya kebijakan rumah sakit-rumah sakit daerah di Indonesia yang memiliki kapasitas baik dari SDM dokter spesialisnya, kemudian teknologinya, alat-alatnya, kemudian pasiennya, itu bisa dipakai untuk mendidik dokter spesialis. Itu bisa dibuka jadi wahana. Jadi lebih banyak dokter spesialis nanti yang dididik.
Selama ini jumlah RS untuk magang dokter spesialis terbatas?
Iya. Kita sarankan, contoh ya, di Jakarta nih. Yang bisa itu kan jejaringnya RS Persahabatan, RSCM, RS Fatmawati, RS Sulianti Saroso, RS PON, RSPAD. Rumah sakit lain misalnya kayak RSUD Tarakan sama lain-lain yang sudah gede-gede, yang dokter spesialisnya nanti bisa dibina jadi pendidik, kemudian alat teknologinya sudah bagus, bisa dipakai untuk pendidikan, jumlah pasiennya, fasilitasnya bagus, bisa dipakai untuk pendidikan, itu sekarang mestinya dibuka untuk wahana pendidikan juga.
Di daerah-darah itu sudah banyak RS yang bagus-bagus. Enggak kayak dulu, itu bisa dibuka sebagai tempat pendidikan dokter spesialis. Nah kalau seperti itu, maka penerimaan dokter spesialis akan jauh lebih banyak karena faktor pendidikannya yang mendidik, fasilitas, teknologi, pasiennya juga lebih banyak.
Kendalanya kemarin sebenarnya bukan mempersulit karena memang tempatnya, misalnya di RS tertentu di situ kan tenaganya ada batasnya, fasilitas ada batasnya. Sehingga memang yang diterima memang harus ada batasnya. Tetapi kalau wahana pendidikan RS pendidikan ditambah, otomatis kan daya serap yang akan dididik dokter spesialis bertambah.
Kalau daya serapnya tambah nanti yang lulus juga kan akan tambah banyak. Itu sekarang juga lagi diusulkan. Mudah-mudahan didukung. Di daerah-daerah RSUD itu sudah banyak yang bagus-bagus, itu harus dimanfaatkan untuk jadi wahana tempat pendidikan dokter spesialis.
Tadi Bapak sebut dibatasi calon dokter spesialis, maksudnya seperti apa?
Kenapa dibatasi, karena disesuaikan dengan jumlah yang akan mendidik di RS itu kan. Kemudian fasilitasnya yang tersedia. Alat yang tersedia, enggak bisa kalau yang mendidik cuma berapa orang, sementara calon dokter spesialis banyak. Sehingga yang perlu ditambah itu wahananya, rumah sakit, tempat mendidiknya.
Misalnya di RSCM saya bisa menyerap 10 orang, kalau dikatakan bisa enggak ditambah sampai 50 orang? Mungkin enggak bisa karena tambah sampai 50 orang gimana cara didiknya. Takut tidak maksimal kan mutunya karena ini sistem magang, bukan kelas belajar. Harus didampingi dalam magang praktik kan.
Nah beda dengan pendidikan di kelas. Masalahnya itu, kalau ngasih ceramah mungkin 10 sampai 50 orang sama kan. Karena masuk kelas, tapi ini cara mendidiknya magang langsung praktik di lapangan. Sehingga memang terhandle betul ini peserta didik.
Misalnya di RSCM hanya mampu menerima 10 (calon dokter spesialis) kalau ditambah sampai 50, enggak bisa kepegang itu. Kalau ditambah sampai 15 mungkin masih bisa. Kalau mau tambah sampai 50 kan harus dibawa tempat lain kan, RS lain. Nah jadi menambah jumlah wahana RS pendidikan itu penting untuk menyerap pendidikan spesialis lebih banyak, produksinya pasti akan jauh lebih banyak.
Apa itu yang harus dimanfaatkan? RS di daerah-daerah yang bagus-bagus. Tentunya harus pakai penilaian dulu kan. RS misalnya ada yang terkenal bagus sampai direkturnya dapat penghargaan. RS Tulungagung misalnya di Jatim, itu dilihat memenuhi syarat enggak untuk pendidikan spesialis. Kalau memenuhi syarat, dibuka saja supaya daya serap pendidikan dokter spesialis banyak.
Dengan begitu, output hasil pendidikannya lebih banyak juga. Sehingga dokter spesialis lebih cepat kita produksi. Di daerah-daerah RSUD banyak yang sudah bisa mendidik dokter spesialis, tinggal kita menilai kriteria-kriteria yang dimungkinkan bisa mendidik dokter spesialis.
Mantan Ketum PB IDI Daeng M Faqih: Ada Fakultas Kedokteran tapi Tidak Ada Dosennya
Jumat, 17 Juni 2022 10:11

Merdeka.com - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2018-2021, Daeng Mohammad Faqih mengungkapkan ada empat masalah dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Mulai akses hingga rekognisi, keempatnya saling terkait.
Upaya pemerintah memperluas akses pendidikan kedokteran, terutama di Indonesia timur tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga pendidik. Akibatnya, ada fakultas-fakultas kedokteran yang baru dibuka, tidak memiliki dosen.
"Jadi ada kasus-kasus di zaman saya itu, misalnya di Papua sama Sulawesi itu sampai mahasiswanya misalnya tidak dapat dosen, padahal fakultas itu sudah dibuka tapi tidak ada dosen yang ngajar. Karena enggak ada dosennya, akhirnya diampu oleh universitas lain," kata Daeng dalam wawancara dengan merdeka.com, 8 Juni lalu.
Berikut wawancara lengkap reporter merdeka.com Supriatin dengan Daeng M Faqih:
Saat Bapak menjadi ketua umum IDI, bagaimana situasi pendidikan kedokteran di Indonesia?
Ini bukan hanya satu pihak yang merasakan, tapi semua. Jadi masyarakat, kawan-kawan dokter, termasuk IDI, kawan-kawan di pendidikan juga, itu merasakan. Kawan-kawan di DPR setahu saya, dan pemerintah itu merasakan bahwa mengakses pendidikan kedokteran itu tidak mudah.
Faktor yang menyebabkan tidak mudah itu, yang paling utama adalah mahal masuk (kuliah) kedokteran itu. Sehingga memang ada kawan-kawan yang orangnya cerdas tapi enggak punya duit, enggak bisa sekolah kedokteran, enggak mampu bayar. Nah ini harus dicarikan solusi.
Kemudian yang kedua, dengan monitoring fakultas-fakultas kedokteran. Jadi ada kasus-kasus di zaman saya itu, misalnya di Papua sama Sulawesi itu sampai mahasiswanya misalnya tidak dapat dosen, padahal fakultas itu sudah dibuka tapi tidak ada dosen yang ngajar. Karena enggak ada dosennya, akhirnya diampu oleh universitas lain. Itu yang terjadi sehingga ini jadi perhatian. Bahwa kesiapan membuka fakultas kedokteran itu penting harus jelas-jelas memang memenuhi syarat. Enggak boleh nanti ada mahasiswa yang masuk itu enggak ada dosen yang mengajar.
Saya hanya menunjukkan peristiwa-peristiwa ya, sudah disetujui berdiri, sudah dikasih izin, ternyata ada problem yang setahu saya waktu itu di daerah Papua dan Sulawesi. Daerah Papua yang kelihatan jelas itu, dosen-dosennya tidak tersedia. Jadi itu sebenarnya harus dibenahi bahwa fakultas kedokteran itu bediri, itu semuanya sudah clear, sarananya siap, dosenya siap, mutunya juga siap. Itu semuanya itu harus clear.
Kemudian yang ketiga, yang saya tahu itu, ada problem ujian nasional. Ujian mahasiswa kedokteran yang terakhir itu kan ada ujian istilanya ujian nasional untuk dokter. Itu jumlahnya banyak sekali, di zaman saya itu menyentuh angka 3.000 yang enggak lulus.
Ujian nasional itu dilaksanakan semestinya oleh asosiasi pendidikan bersama kalau enggak salah kolegium. Tapi praktiknya memang kemudian dilaksanakan oleh kepanitiaan yang dibentuk oleh Dikbud, itu yang enggak lulus, yang mengulang sampai berkali-kali ikut ujian. Ada yang sampai 10 kali, ada yang 15 kali, itu total yang terkatung-katung karena tidak lulus ujian yang sifatnya nasional.
Keempat, ini persoalan yang terkait bagaimana merekognisi (mengakui) saudara-saudara kita yang sudah belajar keluar (kuliah kedokteran di luar negeri), mau masuk ke dalam negeri kan ribet. Saya waktu ketua IDI sudah menyampaikan kepada pemerintah, ini biar enggak ribet, enggak menyusahkan kawan-kawan, sebaiknya itu dilakukan di awal.
Maksudnya dilakukan di awal begini, jadi kementerian Dikbud dan Dikti itu dia sudah melakukan rekognisi atau melakukan pengakuan terlebih dulu universitas-universitas mana diakui oleh negara kita, ada daftarnya. Jadi kalau ada saudara kita yang mau sekolah keluar negeri, itu lihat daftar dulu di Dikti, di Dikbud, sehingga kalau sudah masuk ke universitas yang masuk daftar, diakui oleh pemerintah, begitu dia lulus enggak ribet lagi langsung pemerintah merekognisi.
Nah, sistem kayak begitu belum ada di Indonesia. Di Singapura, Malaysia banyak dilakukan, dia sudah mengakreditasi atau merekognisi atau mengakui universitas itu di luar yang menurut dia mutunya bagus. Pokoknya itu sudah ada, sehingga warganya itu kalau sekolah keluar dia tahu pilih universitas mana yang tentunya diakui oleh negaranya.
Saya waktu jadi ketua umum IDI mendorong itu, mendorong pemerintah membuat list itu, sehingga kalau ada saudara kita, warga negara kita mau sekolah keluar, sebaiknya melihat daftar itu. Jadi yang utama saya lihat itu. Empat hal itu yang harus dibenahi.
Biaya pendidikan kedokteran sangat mahal, apa penyebabnya?
Begini, pendidikan kedokteran itu biayanya mahal. Kan butuh ini, butuh itu, banyak praktikumnya kan. Memang biaya operasionalnya mahal. biaya yang besar ini, jangan hanya dibebankan menjadi SPP atau UKT (uang kuliah tunggal). Kalau dibebankan semua ke anak didik atau orang tua, itu bagi masyarakat jatuhnya mahal.
Bagi orang tua atau peserta didik, calon peserta didik yang tidak mampu tapi pintar, enggak akan bisa menjangkau. Ini perlu dicarikan sistem lain, jangan dibebankan ke peserta didik sama orang tua saja. Itu yang bikin mahal, saya tidak tahu persis ya apakah keseluruhannya atau mayoritas dibebankan ke peserta didik. Jadi harus diubah sistemnya, negara harus hadir di situ. Seperti apa caranya? Harus dicari, harus didiskusikan bersama.
Menurut IDI, sistem yang ideal seperti apa?
Jadi cobalah kita benchmark (membandingkan) ke beberapa negara. Kita sebenarnya meminta DPR, pemerintah melakukan perbandingan tentang bagaimana cara pembiayaan untuk sekolah kedokteran. Misalnya negara dengan skema basiswa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kemudian, itu dikaitkan dengan penempatan dalam rangka distribusi dokter. Kan sekarang problemnya ada distribusi dokter dalam pelayanan.
Ini harus matching dengan pendidikan. Kalau pendidikan itu di kedokteran itu ada skema afirmasi. Supaya daerah-daerah yang tidak ada dokternya itu, di situ anak-anak yang cerdas disekolahkan di kedokteran. Dibiayai oleh pemda maupun pemerintah pusat. Pemerintah pusat kan banyak itu instrumennya, lewat LPDP dan lain-lain. Pemda juga turut serta.
Nanti karena ini anak daerah dikembalikan ke daerah itu yang memang tidak ada dokter. Jadi ini harus matching dengan ranah pelayanan untuk distribusi tenaga dokter. Jadi harus dipadukan dengan upaya di sistem pelayanan dengan program afirmasi tadi. Istilah kami di IDI itu, program afirmasi. Jadi pemerintah daerah ikut turut serta, pemerintah pusat ikut turut serta.
Itu menyelesaikan dua hal, apa itu? Akses ke pendidikan kedokteran itu terbuka. Meskipun ada warga kita yang tidak mampu secara ekonomi bisa ikut sekolah. Kemudian dia juga bisa membantu menyelesaikan persoalan distribusi pelayanan, khususnya distribusi tenaga dokter. Kita sudah ajukan itu, kita sudah diskusikan ke pemerintah, ke DPR, mudah-mudah ini akan ada karena mumpung ada pembahasan UU pendidikan kedokteran, mudah-mudahan ini masuk.
Yang kedua, yang tadi tentang sudah diterima kemudian fakultas kedokteran tidak bisa berproses. Kenapa? Karena tidak ada tenaganya, tidak ada fasilitasnya, kalau menurut saya yang sudah diajukan oleh PB IDI itu mengenai sistem untuk menyetujui pendirian fakultas kedokteran harus dilakukan dengan baik syarat-syaratnya. Kemudian monitoring dengan baik setiap periode. 5 Tahun sekali diperiksa itu, supaya kejadian-kejadian tidak ada pengajarnya, kurang pengajarnya atau kurang fasilitas, semua ini terhindari.
Kemudian kalau banyak yang tidak lulus peserta ujian, harus berani untuk mengoreksi. Bagaimana sih cara penjagaan mutu yang dilakukan secara benchmark, modelnya secara internasional apakah dengan ujian nasional? Padahal semangat pemerintah kan waktu (Mendikbud Ristek) Nadiem, bahkan sebelum Nadiem, itu kan ingin menghapus ujian nasional. Apakah memang dengan cara seperti itu ataukah dengan cara yang lain yang mungkin di internasional itu benchmarknya di beberapa negara dilakukan dengan baik. Karena saya pernah dikasih tahu oleh kawan-kawan DPR saya enggak sebut namanya ya, pernah benchmark negara di luar itu ujian nasional untuk kedokteran, kecuali di Indonesia.
Bukan IDI loh yang mengatakan, coba cek saja di dunia internasional seperti apa. Di dokumen Dikti yang kami tahu juga, justru ujian nasional ini dihapus. Kemudian kemarin kan juga itu kawan-kawan asosiasi perguruan tinggi kesehatan kayanya juga protes ke Mahkamah Konstitusi tentang masalah ujian nasional tenaga kesehatan kan.
Itu harus berani kita kaji ulang, apakah memang seperti ini caranya atau seperti apa? Karena ini berpotensi menghambat produksi dokter. Bayangkan yang tersisa sampai 3.000. Ini bukan di ranah profesi loh ya, karena ini yang melaksanakannya di bawah kepanitiaan kementerian, kawan-kawan di kementerian harus mengkaji menurut saya. Kami hanya mengusulkan.
Tepatkah UN tenaga kesehatan dibuat Kemendikbud?
Itu yang kami sebenarnya mencoba untuk ingin mendiskusikan, tetapi kan harus dicarikan solusi seperti apa. Yang pertama apakah itu sesuai dengan kalau kita benchmark ke dunia internasional, ke beberapa negara, apakah itu memang sesuai dengan standar-standar yang lazim diberlakukan atau seperti apa. Yang kedua, kalau enggak dengan UN banyak tidak lulus kemudian terhambat untuk jadi dokter, itu kira2 solusinya seperti apa? Ini kan harus berani kita diskusikan, kita kaji.
Kemudian yang terakhir tadi, yang susah masuk ke dalam negeri itu. Kami sangat berharap waktu itu zaman saya, mudah-mudahan ini masih terus diupayakan supaya pemerintah dari awal itu sudah membuat list di awal, universitas mana yang diakui oleh negara kita, universitas di luar ya, misalnya Universitas Harvard, apa, daftarnya sudah ada. Sehingga warga negara kita tahu itu, misal mau sekolah di luar memilih yang ini, supaya kalu saya lulus datang ke dalam negeri, sudah selesai, hanya diverifikasi saja. Tidak melalui proses yang panjang.
Itu sudah diusulkan waktu itu zaman saya ke Dikbud, mudah-mudahan itu bisa diadopsi di peraturan karena bagaimana pun kan IDI hanya mengadvokasi. IDI bukan penentu kebijakan di situ, hanya mengadvokasi, melihat kondisi hal-hal yang terkait dengan persoalan pendidikan khususnya kedokteran.
Usulan seperti ini menurut Bapak memudahkan pemerintah menambah jumlah dokter?
Iyalah, tapi sekali lagi kan IDI hanya advokasi sifatnya, bukan yang menentukan kebijakan, yang menentukan kebijakan tetap pemerintah kan.
Bagaimana peran pemerintah selama ini menekan biaya pendidikan kedokteran sekaligus menambah jumlah dokter?
Kalau menekan biaya pendidikan kedokteran harus ada instrumen baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat juga ikut serta di situ. Kalau pemerintah pusat ada LPDP kan, pemerintah daerah harus menyisihkan anggaran. Ini yang saya katakan tadi. Kalau ini kompak, pemda, pusat, sama-sama memberikan strategi untuk anggaran pendidikan kedokteran atau namanya program afirmasi, itu dua hal yang akan kita kena.
Pembiayaannya SPP bagi warga yang miskin, yang enggak punya tapi otaknya cerdas, itu bisa mengakses pendidikan kedokteran lewat program afirmasi itu. Itu bisa dimanfaatkan untuk distribusi tenaga kesehatan. Kenapa bisa? Karena diutamakan yang sekolah itu adalah anak-anak cerdas yang berasal dari daerah-daerah yang di situ kekurangan tenaga medis.
Artinya selama ini program afirmasi belum dijalankan pemda dan pemerintah pusat?
Belum ada. Makanya kita dorong itu, mudah-mudahan diakomodasi di UU Pendidikan Kedokteran. Jadi program afirmasi itu belum ada. Kemudian kita yang juga kekurangan produksi dokter, sebenarnya kekurangan yang utama itu kekurangan produksi dokter spesialis. Yang kami dorong itu, kami tekankan ke pemerintah salah satu strateginya adalah menambah tempat pendidikan dokter spesialis.
Pendidikan dokter spesialis ini sistemnya magang kan. Jadi perlu rumah sakit untuk magang tempat pendidikan. Nah selama ini yang dipakai adalah rumah sakit-rumah sakit di sentra-sentra pendidikan. Kita mendorong supaya pemerintah punya kebijakan rumah sakit-rumah sakit daerah di Indonesia yang memiliki kapasitas baik dari SDM dokter spesialisnya, kemudian teknologinya, alat-alatnya, kemudian pasiennya, itu bisa dipakai untuk mendidik dokter spesialis. Itu bisa dibuka jadi wahana. Jadi lebih banyak dokter spesialis nanti yang dididik.
Selama ini jumlah RS untuk magang dokter spesialis terbatas?
Iya. Kita sarankan, contoh ya, di Jakarta nih. Yang bisa itu kan jejaringnya RS Persahabatan, RSCM, RS Fatmawati, RS Sulianti Saroso, RS PON, RSPAD. Rumah sakit lain misalnya kayak RSUD Tarakan sama lain-lain yang sudah gede-gede, yang dokter spesialisnya nanti bisa dibina jadi pendidik, kemudian alat teknologinya sudah bagus, bisa dipakai untuk pendidikan, jumlah pasiennya, fasilitasnya bagus, bisa dipakai untuk pendidikan, itu sekarang mestinya dibuka untuk wahana pendidikan juga.
Di daerah-darah itu sudah banyak RS yang bagus-bagus. Enggak kayak dulu, itu bisa dibuka sebagai tempat pendidikan dokter spesialis. Nah kalau seperti itu, maka penerimaan dokter spesialis akan jauh lebih banyak karena faktor pendidikannya yang mendidik, fasilitas, teknologi, pasiennya juga lebih banyak.
Kendalanya kemarin sebenarnya bukan mempersulit karena memang tempatnya, misalnya di RS tertentu di situ kan tenaganya ada batasnya, fasilitas ada batasnya. Sehingga memang yang diterima memang harus ada batasnya. Tetapi kalau wahana pendidikan RS pendidikan ditambah, otomatis kan daya serap yang akan dididik dokter spesialis bertambah.
Kalau daya serapnya tambah nanti yang lulus juga kan akan tambah banyak. Itu sekarang juga lagi diusulkan. Mudah-mudahan didukung. Di daerah-daerah RSUD itu sudah banyak yang bagus-bagus, itu harus dimanfaatkan untuk jadi wahana tempat pendidikan dokter spesialis.
Tadi Bapak sebut dibatasi calon dokter spesialis, maksudnya seperti apa?
Kenapa dibatasi, karena disesuaikan dengan jumlah yang akan mendidik di RS itu kan. Kemudian fasilitasnya yang tersedia. Alat yang tersedia, enggak bisa kalau yang mendidik cuma berapa orang, sementara calon dokter spesialis banyak. Sehingga yang perlu ditambah itu wahananya, rumah sakit, tempat mendidiknya.
Misalnya di RSCM saya bisa menyerap 10 orang, kalau dikatakan bisa enggak ditambah sampai 50 orang? Mungkin enggak bisa karena tambah sampai 50 orang gimana cara didiknya. Takut tidak maksimal kan mutunya karena ini sistem magang, bukan kelas belajar. Harus didampingi dalam magang praktik kan.
Nah beda dengan pendidikan di kelas. Masalahnya itu, kalau ngasih ceramah mungkin 10 sampai 50 orang sama kan. Karena masuk kelas, tapi ini cara mendidiknya magang langsung praktik di lapangan. Sehingga memang terhandle betul ini peserta didik.
Misalnya di RSCM hanya mampu menerima 10 (calon dokter spesialis) kalau ditambah sampai 50, enggak bisa kepegang itu. Kalau ditambah sampai 15 mungkin masih bisa. Kalau mau tambah sampai 50 kan harus dibawa tempat lain kan, RS lain. Nah jadi menambah jumlah wahana RS pendidikan itu penting untuk menyerap pendidikan spesialis lebih banyak, produksinya pasti akan jauh lebih banyak.
Apa itu yang harus dimanfaatkan? RS di daerah-daerah yang bagus-bagus. Tentunya harus pakai penilaian dulu kan. RS misalnya ada yang terkenal bagus sampai direkturnya dapat penghargaan. RS Tulungagung misalnya di Jatim, itu dilihat memenuhi syarat enggak untuk pendidikan spesialis. Kalau memenuhi syarat, dibuka saja supaya daya serap pendidikan dokter spesialis banyak.
Dengan begitu, output hasil pendidikannya lebih banyak juga. Sehingga dokter spesialis lebih cepat kita produksi. Di daerah-daerah RSUD banyak yang sudah bisa mendidik dokter spesialis, tinggal kita menilai kriteria-kriteria yang dimungkinkan bisa mendidik dokter spesialis.




pilotugal2an541 dan bukan.bomat memberi reputasi
2
905
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan