- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Benarkah Menahan Untuk Tidak Jajan Kopi Membuat Milenial Mampu Untuk Membeli Rumah?


TS
cangkeman.net
Benarkah Menahan Untuk Tidak Jajan Kopi Membuat Milenial Mampu Untuk Membeli Rumah?
[img]https://dl.kaskus.id/blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz8eFtuTcNe6kwon5WgFZnrnxCMesepGfWkwx0ZzL9OUrei3jA8ubjJ1JiVrSTprLmkXfrSqURfxMIA-gENUCfk4ZRaBP_CssxVxGdADppx-9NL*****pg98IYoaTSbUhBqexQsnJ1bKyYbjlZ-I272EpggzAg1GENzd1ewX7WfOCqutxipV-BDaan/s6000/rod-long-I79Pgmhmy5M-unsplash.jpg[/img]
Cangkeman.net - Generasi milenial kiranya adalah generasi yang terbilang tabah dalam menampung panah-panah kritikan tajam, setidaknya untuk saat ini ketika mereka mulai memasuki kehidupannya sebagai manusia dewasa, masa ketika segala tindak-tanduknya tidak akan pernah lagi lepas dari sesosok mata-mata yang bernama tanggung jawab atau sosok lainnya yang bernama penilaian. Berbagai kritik—yang sebagian membangun dan sebagian lagi menyudutkan—sudah sering kita dengar tentang si milenial ini. Ada yang mengatakan generasi milenial sebagai “kaum rebahan,” ada yang menilai generasi milenial sebagai “generasi lembek,” ada pula yang menyudutkan generasi milenial sebagai “generasi yang tunduk pada smartphone” lantaran saban hari hanya tertunduk terpaku menatapi layar perangkat pintar itu.
Baru-baru ini generasi milenial mendapat dakwaan yang cukup berat. Generasi yang mengisi 25,87 % populasi Indonesia ini disebut-sebut tidak akan mampu membeli rumah lantaran kelewat sering jajan kopi. Jika tudingan ini benar menjadi kenyataan di kemudian hari, bisa dibayangkan betapa ngeri keadaannya: seperempat lebih warga Indonesia akan memiliki tempat tinggal beralaskan trotoar dan beratapkan langit alias menjadi gelandangan. Meskipun sangat kecil kemungkinannya akan semengerikan itu, sebab selalu ada opsi untuk mengontrak rumah atau menyewa unit apartemen.
Tapi, apakah benar jika anak-anak milenial ini berhenti membeli kopi kegemarannya, maka mereka—pada suatu titik dalam hidupnya—akan mampu membeli hunian idamannya? Rumah impian di mana mereka bisa dengan nyaman menghabiskan waktu menonton tayangan dari Netflix setelah seharian didera beban kerja hustle culture, ditemani pasangannya masing-masing, menyaksikan binatang peliharaannya yang lucu berloncatan ke sana-kemari, sembari memikirkan apakah akan mempunyai keturunan dalam waktu dekat atau memilih jalan child free saja.
Secangkir kopi dari warung kopi cap putri duyung berekor dua yang paling murah dibanderol dengan harga Rp23.000. Tanpa memperhitungkan tingkat inflasi, untuk membeli rumah seharga Rp200.000.000 di kawasan pinggiran kota saja, seorang milenial harus menahan diri dari membeli 8.600+ cangkir kopi. Anggaplah si milenial ini termasuk tipe yang boros, yang tak sehari pun terlewatkan tanpa menyesap secangkir kopi. Butuh lebih dari 23 tahun bagi dirinya puasa minum kopi untuk dapat membeli hunian itu. Kelewat lama, agaknya. Sudah keburu lahir generasi baru lagi, generasi yang mungkin akan ditembaki panah-panah tajam yang sama oleh si milenial tadi. “Sialan,” katanya, “Lebih 23 tahun aku puasa minum kopi, sekarang lahir generasi lembek yang mewarisi masalah sama dengan generasiku, tidak mampu membeli rumah. Sedang mereka saban harinya hanya rebahan saja, dan kalau matahari mulai redup, mereka ramai-ramai nongkrong di warung kopi, berbual basung dan membikin puisi yang tidak jelas!”
Alih-alih mengarahkan tudingan pada milenial, letak permasalahan yang sesungguhnya ada di harga properti yang mahal. Kenaikan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan. Rumah dipandang sebagai komoditas untuk diperjualbelikan, harganya selalu istiqomah melambung dan mengikuti hukum pasar. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bertempat tinggal merupakan hak dasar setiap manusia. Berarti, perlu ada peran pemerintah untuk menjamin setiap warganya memiliki tempat tinggal. Jika harganya terlampau mahal, lakukanlah intervensi. Bukankah pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan regulasi?
Namun sayangnya, rupanya harga properti yang mahal juga salah satu sebabnya disebabkan oleh pemerintah sendiri. Rumitnya perizinan pembangunan menyebabkan pembangunan perumahan menjadi tidak efisien, yang pada akhirnya membuat harga hunian menjadi mahal karena pihak pengembang harus menutupi biaya yang timbul dari ketidakefisienan tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan generasi milenial sulit menabung adalah mahalnya biaya transportasi. Hal ini juga berlaku bagi selain generasi milenial yang masih produktif. Masyarakat di empat wilayah metropolitan pulau Jawa selain Jakarta (Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) rata-rata menghabiskan 40 % penghasilan bulanannya untuk melakukan mobilitas. Padahal menurut standar Bank Dunia, idealnya ongkos transportasi hanya 10 % dari pemasukan bulanan. Pemiskinan yang tidak disadari ini disebabkan oleh kondisi transportasi publik yang buruk dan tingkat keterjangkauannya rendah. Akhirnya warga menjatuhkan pilihannya pada kendaraan pribadi yang jelas-jelas lebih mahal. Betapa tidak, bagi warga yang tidak memiliki akses transportasi publik pilihannya hanya dua: memakai kendaraan pribadi atau berjalan kaki sampai tempat kerja/sekolah hingga kakinya gempor dan napasnya megap-megap. Tentu akan sulit untuk menyelesaikan pekerjaan atau menerima pelajaran.
Jika ada transportasi publik yang baik, seorang warga tidak akan menghabiskan uang sebegitu banyaknya untuk bergerak. Uang yang dapat ditabungnya menjadi lebih banyak. Bukankah ini yang lebih berkemungkinan membuat seseorang bisa lebih cepat mendapatkan hunian idamannya?
Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan generasi milenial, ataupun generasi setelahnya, sebab terdengar amat tidak adil jika kita mengeluarkan perkataan yang seolah-olah hanya generasi tertentu saja yang tidak boleh minum kopi. Kopi pun tidak mesti melulu dijadikan kambing hitam—meski warnanya memang seperti kambing yang sering disalahkan itu. Bagaimanapun, cairan hitam pekat itu telah berperan dalam melukiskan peradaban dunia.
Akan lain ceritanya jika pada abad ke-9 dahulu seorang penggembala kambing di Ethiopia sana tidak menemukan bebijian yang rupanya dapat menstimulasi daya pikir itu. Mungkin peradaban di timur tengah sana tidak pernah mencapai masa gemilang, segemilang namanya yang diabadikan menjadi nama varietas arabica. Barangkali peradaban Indonesia pun tidak akan berwajah sama dengan hari ini, di mana salah satu pulau di negeri ini dijadikan rujukan untuk menyebut minuman pahit itu, a cup of java, kata orang barat.
Jika Albert Camus pernah berkata “Haruskah aku bunuh diri atau minum secangkir kopi?” bolehlah kiranya generasi milenial berkata “Setelah semua panah-panah tajam dilontarkan pada kami, masihkah kami tidak boleh mereguk secangkir kopi?”
Mari, milenial, reguk lagi saja kopinya!
Tulisan ini ditulis Muhammad Zulyadri Cangkeman pada tanggal 12 April 2022.
Cangkeman.net - Generasi milenial kiranya adalah generasi yang terbilang tabah dalam menampung panah-panah kritikan tajam, setidaknya untuk saat ini ketika mereka mulai memasuki kehidupannya sebagai manusia dewasa, masa ketika segala tindak-tanduknya tidak akan pernah lagi lepas dari sesosok mata-mata yang bernama tanggung jawab atau sosok lainnya yang bernama penilaian. Berbagai kritik—yang sebagian membangun dan sebagian lagi menyudutkan—sudah sering kita dengar tentang si milenial ini. Ada yang mengatakan generasi milenial sebagai “kaum rebahan,” ada yang menilai generasi milenial sebagai “generasi lembek,” ada pula yang menyudutkan generasi milenial sebagai “generasi yang tunduk pada smartphone” lantaran saban hari hanya tertunduk terpaku menatapi layar perangkat pintar itu.
Baru-baru ini generasi milenial mendapat dakwaan yang cukup berat. Generasi yang mengisi 25,87 % populasi Indonesia ini disebut-sebut tidak akan mampu membeli rumah lantaran kelewat sering jajan kopi. Jika tudingan ini benar menjadi kenyataan di kemudian hari, bisa dibayangkan betapa ngeri keadaannya: seperempat lebih warga Indonesia akan memiliki tempat tinggal beralaskan trotoar dan beratapkan langit alias menjadi gelandangan. Meskipun sangat kecil kemungkinannya akan semengerikan itu, sebab selalu ada opsi untuk mengontrak rumah atau menyewa unit apartemen.
Tapi, apakah benar jika anak-anak milenial ini berhenti membeli kopi kegemarannya, maka mereka—pada suatu titik dalam hidupnya—akan mampu membeli hunian idamannya? Rumah impian di mana mereka bisa dengan nyaman menghabiskan waktu menonton tayangan dari Netflix setelah seharian didera beban kerja hustle culture, ditemani pasangannya masing-masing, menyaksikan binatang peliharaannya yang lucu berloncatan ke sana-kemari, sembari memikirkan apakah akan mempunyai keturunan dalam waktu dekat atau memilih jalan child free saja.
Secangkir kopi dari warung kopi cap putri duyung berekor dua yang paling murah dibanderol dengan harga Rp23.000. Tanpa memperhitungkan tingkat inflasi, untuk membeli rumah seharga Rp200.000.000 di kawasan pinggiran kota saja, seorang milenial harus menahan diri dari membeli 8.600+ cangkir kopi. Anggaplah si milenial ini termasuk tipe yang boros, yang tak sehari pun terlewatkan tanpa menyesap secangkir kopi. Butuh lebih dari 23 tahun bagi dirinya puasa minum kopi untuk dapat membeli hunian itu. Kelewat lama, agaknya. Sudah keburu lahir generasi baru lagi, generasi yang mungkin akan ditembaki panah-panah tajam yang sama oleh si milenial tadi. “Sialan,” katanya, “Lebih 23 tahun aku puasa minum kopi, sekarang lahir generasi lembek yang mewarisi masalah sama dengan generasiku, tidak mampu membeli rumah. Sedang mereka saban harinya hanya rebahan saja, dan kalau matahari mulai redup, mereka ramai-ramai nongkrong di warung kopi, berbual basung dan membikin puisi yang tidak jelas!”
Alih-alih mengarahkan tudingan pada milenial, letak permasalahan yang sesungguhnya ada di harga properti yang mahal. Kenaikan harga properti tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan. Rumah dipandang sebagai komoditas untuk diperjualbelikan, harganya selalu istiqomah melambung dan mengikuti hukum pasar. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bertempat tinggal merupakan hak dasar setiap manusia. Berarti, perlu ada peran pemerintah untuk menjamin setiap warganya memiliki tempat tinggal. Jika harganya terlampau mahal, lakukanlah intervensi. Bukankah pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan regulasi?
Namun sayangnya, rupanya harga properti yang mahal juga salah satu sebabnya disebabkan oleh pemerintah sendiri. Rumitnya perizinan pembangunan menyebabkan pembangunan perumahan menjadi tidak efisien, yang pada akhirnya membuat harga hunian menjadi mahal karena pihak pengembang harus menutupi biaya yang timbul dari ketidakefisienan tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan generasi milenial sulit menabung adalah mahalnya biaya transportasi. Hal ini juga berlaku bagi selain generasi milenial yang masih produktif. Masyarakat di empat wilayah metropolitan pulau Jawa selain Jakarta (Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) rata-rata menghabiskan 40 % penghasilan bulanannya untuk melakukan mobilitas. Padahal menurut standar Bank Dunia, idealnya ongkos transportasi hanya 10 % dari pemasukan bulanan. Pemiskinan yang tidak disadari ini disebabkan oleh kondisi transportasi publik yang buruk dan tingkat keterjangkauannya rendah. Akhirnya warga menjatuhkan pilihannya pada kendaraan pribadi yang jelas-jelas lebih mahal. Betapa tidak, bagi warga yang tidak memiliki akses transportasi publik pilihannya hanya dua: memakai kendaraan pribadi atau berjalan kaki sampai tempat kerja/sekolah hingga kakinya gempor dan napasnya megap-megap. Tentu akan sulit untuk menyelesaikan pekerjaan atau menerima pelajaran.
Jika ada transportasi publik yang baik, seorang warga tidak akan menghabiskan uang sebegitu banyaknya untuk bergerak. Uang yang dapat ditabungnya menjadi lebih banyak. Bukankah ini yang lebih berkemungkinan membuat seseorang bisa lebih cepat mendapatkan hunian idamannya?
Kita tidak bisa terus-terusan menyalahkan generasi milenial, ataupun generasi setelahnya, sebab terdengar amat tidak adil jika kita mengeluarkan perkataan yang seolah-olah hanya generasi tertentu saja yang tidak boleh minum kopi. Kopi pun tidak mesti melulu dijadikan kambing hitam—meski warnanya memang seperti kambing yang sering disalahkan itu. Bagaimanapun, cairan hitam pekat itu telah berperan dalam melukiskan peradaban dunia.
Akan lain ceritanya jika pada abad ke-9 dahulu seorang penggembala kambing di Ethiopia sana tidak menemukan bebijian yang rupanya dapat menstimulasi daya pikir itu. Mungkin peradaban di timur tengah sana tidak pernah mencapai masa gemilang, segemilang namanya yang diabadikan menjadi nama varietas arabica. Barangkali peradaban Indonesia pun tidak akan berwajah sama dengan hari ini, di mana salah satu pulau di negeri ini dijadikan rujukan untuk menyebut minuman pahit itu, a cup of java, kata orang barat.
Jika Albert Camus pernah berkata “Haruskah aku bunuh diri atau minum secangkir kopi?” bolehlah kiranya generasi milenial berkata “Setelah semua panah-panah tajam dilontarkan pada kami, masihkah kami tidak boleh mereguk secangkir kopi?”
Mari, milenial, reguk lagi saja kopinya!
Tulisan ini ditulis Muhammad Zulyadri Cangkeman pada tanggal 12 April 2022.
0
706
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan