Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

fay105Avatar border
TS
fay105
Oke Ayo Kita menikah
Oke Ayo Kita menikah


Oke Ayo Kita Menikah
***

Grekk..
Terdengar suara pintu terbuka

Aku sedikit terkejut karena saat ia membuka pintu, langsung bertatapan dengan Bi Inah, asisten rumah tangga keluarga Wijaya.

"Ada apa Bi?"

"Mbak Bunga sudah ditunggu oleh Bapak di ruang kerjanya," Bi Inah menutup kembali pintu depan.

Aku berjalan perlahan menuju ruang kerja Pak Wijaya, ayah angkatku. Jantung Bunga berdetak kencang. Jika aku dipanggil ke ruang kerja ayah angkat, itu berarti akan ada suatu perintah yang harus aku penuhi dan laksanakan.

Tok..tok
Suara ketukan pintu

"Ayah memanggil aku?"

Aku terkejut, ternyata yang sedang menungguku bukan hanya ayahku saja, tetapi juga ibu dan ada orang yang tidak aku kenali.

"Apakah dia yang bernama Bunga, Pak Wijaya?" Tanya bapak berjas itu sambil bangkit dari duduknya.

"Bunga beri salam pada calon mertuamu."

"Apa ayah?" Tanyaku dengan ekspresi yang kebingungan.

"Kamu akan menikah 2 bulan lagi."

Mendengar jawaban yang tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Baru saja pulang dari kuliah, lalu secara tiba-tiba disuruh menikah.

"Bukankah kami telah membesarkanmu dengan kasih sayang hingga saat ini, sudah sewajarnya kamu menikah dengan pria dari keluarga yang pantas."

Ibu angkatku mengatakan kalimat andalannya. Nampak memberi kasih sayang, tetapi sesungguhnya itu adalah palsu. Dengan kalimat itu, ibu menjadikanku sebagai bonekanya.

Demi mendapatkan popularitas sebagai seorang ibu yang berhasil membesarkan anak yang cantik, cerdas dan berprestasi. Tapi rasa kasih sayang itu terasa hampa bagiku.

"Nampaknya Bunga sangat disayang oleh Bapak dan Ibu ya,"

Aku memperhatikan ekspresi bapak berjas yang ayahku sebut sebagai calon mertuaku. Ia terlihat tidak tahu apa-apa mengenaiku dan keluarga ini. Ia pasti tertipu dengan sandiwara ibu.

"Apakah ayah dan ibu akan bahagia jika aku menikah?"

"Tentu saja kami bahagia, maka dari itu menikahlah."

"Baiklah aku bersedia menikah."

Ucapanku sesaat sebelum pamit dari ruangan itu. Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang dibicarakan oleh ketiga orang tua itu. Aku berjalan menuju kamarku, sambil memikirkan..

Apakah kehidupan aku akan berakhir karena menikah dengan orang yang bukan aku suka?

"Cie yang bakal nikah!"

Aku langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Ternyata yang barusan berbicara adalah adikku, anak kandung dari keluarga ini, Jasmin Wijaya.

Aku memang jarang akur dengannya, daripada aku berdebat dengan Jasmin, lebih baik aku hiraukan dia dan masuk ke kamarku.

"Selamat ya kak, bakal menikah dengan kepala manager terkenal dengan rumornya dan image nya sebagai lelaki manja dan playboy!"

Langkahku terhentikan oleh perkataan dari Jasmin. Aku menguatkan genggaman tasku dan memejamkan kedua mataku, untuk menetralisir rasa ingin menghajar adik sendiri.

"Urus saja urusan kamu!"

"Cih. Dasar kakak sombong."

Aku meninggalkan Jasmin dan masuk ke kamarku. Aku merebahkan tubuhku di kasur dan menutup kedua mataku dengan lengan.

Pernikahan? Memangnya itu hal yang semudah itu. Hingga mereka seenaknya saja menyuruh aku menikah.

Aku bahkan belum bertemu dengan pria yang akan menikahiku. Apakah dia orang baik? Atau bahkan dia memang pria yang seperti di rumorkan.

Apakah dia juga menginginkan pernikahan ini? Apa yang harus kulakukan? Aku ingin melawan tapi aku tidak punya daya untuk melawan. Walaupun palsu, setidaknya aku menerima kasih sayang dan kebutuhan dari kecil hingga sekarang. Kalau keluarga ini tidak mengangkatku sebagai anak mereka, mungkin aku masih tetap berada di panti asuhan itu.

Aku terlalu lelah dengan semua keadaan ini, lebih baik aku istirahat sejenak.

~~

Dua hari kemudian dari pemberitahuan pernikahanku, disini lah aku berada, rumah calon mertuaku. Aku disuruh datang ke rumah ini, karena katanya calon suamiku tiba dari dinas luar negerinya.

Pelayan di rumah ini sangat sopan, membukakan aku pintu dan mengantarkanku ke ruangan, tempat calon mertuaku menunggu.

"Apa?! Menikah? Papa aku tidak mau menikah dengan cara seperti ini! Menikah bukan hal yang bisa disuruh seenaknya."

Terdengar suara laki-laki yang belum pernah kudengar. Suara ini, mungkinkah itu suara calon suamiku? Jadi dia juga tidak menginginkan pernikahan ini. Percakapan mereka terlalu serius, hingga membuat aku tidak berani mengetuk pintu dan masuk ke dalam.

"Terus pernikahan apa yang kamu mau?!"

"Iya masalah itu bisa dipikirkan nanti saja. Aku masih ingin melakukan apa yang aku mau, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan dan aku belum siap untuk memegang tanggung jawab atas orang lain."

"Mau sampai kapan? Sadar, umur kamu udah masuk angka 30 tahun, kamu juga belum pernah menunjukkan keseriusan terhadap wanita, yang bisa kamu lakukan hanya mempermainkan mereka. Papa sudah malu dengan semua kelakuan kamu yang seperti ini."

Apa? Mempermainkan wanita? Apa ini maksudnya rumor itu adalah kebenaran? Calon suamiku, apakah dia benar seorang playboy?

"Walaupun malu, papa tidak bisa sembarangan menyuruh aku menikah dengan perempuan yang bahkan aku belum pernah kenal. Tadi papa bilang umurnya 20 tahun? Mungkin dia lebih pantas jadi adik daripada istriku."

"Umur itu hanya angka, buktinya kamu yang sudah 30 tahun saja masih seperti anak kecil. Kamu menikah? Atau tinggalkan rumah ini dan seluruh hal yang papa kasih untuk kamu!"

"Oke, ini semuanya, kartu ATM, mobil, jam dan bahkan sepatu ini juga dari papa kan. Asal papa tau, aku bukan orang zaman dulu, yang masih harus dijodohkan."

Tuk..tuk
Suara langkah kaki terdengar olehku. Apa dia akan keluar dari ruangan ini. Jika itu benar, maka aku harus pindah tem...pat

Grekk..
Tiba-tiba pintunya terbuka. Sekarang terlihat olehku wajah dari calon suamiku. Dia mempunyai wajah yang imut, rambut dan alis yang hitam pekat, bibir yang merah. Sepintas wajahnya memang masih seperti anak kecil.

Dia menatap sinis ke arahku. Tidak lama, lalu ia pergi meninggalkanku, pergi tanpa mengenakan sepatu, padahal ia sedang berpakaian resmi dengan jas.

"Kamu tadi mendengarnya ya Bunga?"

"Eh iya, maafkan Bunga om, aku tidak bermaksud mendengarnya."

"Tidak apa-apa Bunga, sekarang bisa kamu susul dia. Saat ini, pasti dia sedang mandi, karena dia tidak bisa keluar rumah tanpa mandi sebelumnya. Jadi pergi saja ke kamar dia dan berbicaralah dengannya."

"Iya om, kalau begitu aku pamit dulu."

Pelayan mengantarkanku menuju kamarnya. Aku tidak mengerti, kenapa bapaknya sendiri menyuruhku menunggunya di kamar. Sudah jelas aku ini perempuan dan dia itu laki-laki.

Ya sudah lah, aku hanya perlu melakukan yang mereka suruhkan. Aku membuka pintu kamarnya, terdengar suara air dan tercium wangi yang sangat nyaman di hidung.

Aku duduk di pinggir ranjangnya. Kamar yang rapi untuk seorang pria. Apa dia benar-benar akan meninggalkan rumah dan seluruh kemewahan ini. Kalau memang dia anak yang manja, pasti dia tidak akan tahan.

Sreekk..
Terdengar suara pintu geser yang terbuka

Aku dengan spontannya melihat ke arah suara pintu itu. Dia keluar, laki-laki itu, calon suamiku. Kini aroma dari sabun mandinya tercium lebih wangi. Dia keluar menggunakan pakaian handuknya dan menutup kepalanya dengan handuk kecil.

Aku menundukkan kepalaku, badanku kaku karena aku takut untuk berdiri. Aku takut dia menyadari kehadiranku dan malah mengusirku pergi. Tapi kenapa ia malah membaringkan tubuhnya di kasur.

"Aneh-aneh saja papa, bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan perempuan yang aku belum kenal dan lagi dia masih 20 tahun. Dia masih terlalu kecil, perjalanan dia masih panjang, kenapa juga harus menikah hanya karena keinginan orang tua."

Apa dia masih tidak menyadari kehadiranku disini? Aku jadi bisa mendengar semua yang ia katakan. Tapi ternyata dia masih memikirkanku.

"Papa ingin aku mengembalikan semua aset ini, ya sudah aku kembalikan saja. Aku pasti bisa hidup dari 0 anggap saja aku sedang bangkrut, jadi aku bisa memulai semuanya."

Entah mengapa, aku jadi tak tega jika ia harus menjadi miskin seketika karena menolak pernikahan. Mungkin ada cara agar kami tetap bisa menikah tanpa harus membebani hidup kami.

"Hei, menikahlah denganku."

Dia membalikkan tubuhnya begitu aku mengatakan kalimat itu. Kini wajah kami saling berhadapan. Dengan wajah yang kebingungan ia berkata...

"Apa?"

beka123
bukhorigan
kubelti3
kubelti3 dan 4 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan