- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tanpa Sirkulasi Elit Kita Akan Menjadi Negara Berantakan


TS
beritamadani
Tanpa Sirkulasi Elit Kita Akan Menjadi Negara Berantakan

Furqan Jurdi
Ketua Umum Pemuda Madani
Kekacauan besar bisa saja terjadi secara spontan dan dramatis untuk menginterupsi segala kepongahan dan Keculasan kekuasaan. Atau kalau tidak kekacauan besar akan menggulung bangsa ini dan mengakhiri sejarahnya diusia yang baru 75 tahun Merdeka.
Penyebabnya adalah merosotnya ketidakadilan memupuk kebencian, kemiskinan yang tak kunjung diatasi, pendidikan yang semakin amburadul dan social capital yang rendah. Diperparah lagi dengan integritas kekuasaan, melemahnya kepercayaan pada kepemimpinan yang terlalu lemah dan kemarahan pada kekuasaan yang ugal-ugalan. Ini semua dapat menjadi pemicu terjadinya kekacauan besar.
Retaknya Kohesi Sosial
Kita dapat menyaksikan kerusakan tatanan sosial yang terus terjadi belakangan ini. Sejak awal pemerintahan Joko Widodo ada pembelahan sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Tetapi ketika pembelahan itu semakin meruncing, tidak ada upaya untuk memperbaikinya. Tetapi kita bersyukur, jeblosnya solidaritas sosial itu secara alamiah dengan sendirinya untuk sekali lagi melakukan penataan kembali. Meski penataan kembali berjalan secara baik, tapi wilayah kerentanan tidak dapat ditutup dan itu akan berakhir kegagalan.
Polarisasi itu bertahan sedemikian kuat, karena ada kekuasaan yang merawat opini perpecahan. Buzzer dengan kebebasan penuh mendapatkan kompensasi bebas dari segala tuntutan hukum. Mereka hanya mencari celah dimana emosi dibuat untuk menciptakan kemarahan publik dan memecah belah masyarakat, sehingga dengan cara itu mereka berasumsi kekuasaan terjaga dari gangguan. Tetapi mereka lupa, bahwa perpecahan adalah sumber kehancuran. Sementara kekuasaan sekuat apapun yang diinginkan buzzer tidak dapat menyelamatkan kehancuran ini.
Kemiskinan dan Ketidakadilan
Terdapat korelasi kuat antara kemiskinan, tidak adanya trust ditengah masyarakat baik kepada sesama warga negara maupun kepada pemimpinnya, hingga pendidikan yang rendah dan pendapatan yang tidak merata. Semua hubungan itu memiliki sebab dan akibat.
Kemiskinan dapat disebabkan karena sistem ekonomi yang neolib. Dimana kekayaan menumpuk pada segelintir orang, pemerintahan dijalankan dengan cara kolusi, korupsi dan nepotisme, serta persekongkolan antara kaum aristokrat dan elit politik hingga melahirkan oligarki. Oligarki ini secara langsung melahirkan pemerintahan kleptokrasi.
Beberapa tahun terakhir ini, kita di suguhkan dengan berita kekayaan para menteri Kabinet Indonesia Maju jilid II meningkat terus menerus. Anak Presiden hanya dengan modal pisang goreng mampu memborong saham senilai 92 Milyar. Akumulasi kekayaan orang dalam Istana ditengah rakyat terhimpit akibat alasan covid 19 membuat rakyat semakin muak dengan perilaku kekuasaan.
Sepertinya ketimpangan sosial dan ekonomi yang sangat besar diciptakan secara sistematis. Sehingga ketika terjadi krisis maka jaringan pengamanan sosial tidak mampu memberikan daya tahan bagi rakyat kelas bawah untuk menghadapi ketimpangan ini. Muncullah gejolak ekonomi yang dahsyat.
Sekarang ini kita menghadapi tekanan inflasi. Inflasi tinggi ini diprediksi dapat dapat menjerumuskan warga negara Indonesia ke jurang kemisikinan. Warga miskin akan menghabiskan banyak uang untuk membeli kebutuhan pokok mereka, karena itu pemerintah berupaya menyalurkan bantuan sosial. Namun meskipun begitu, angka kemiskinan ini akan menjadi pemicu gejolak sosial.
Alasanya sederhana, bahwa kondisi ekonomi yang sudah mulai parah, dan ketidakadilan yang semakin melebar. Ada banyak potensi ketidakadilan yang akan menciptakan instabilitas dan keamanan dalam negara. Karena itu pemerintah perlu merumuskan garis kebijakam ekonomi yang benar-benar mampu mencerminkan ekonomi konstitusional. Seperti, fakir miskin, anak telantar dipelihara oleh negara. Pemeliharaan harus meningkatkan kesejahteraan bukan membiarkan kemiskinan terus terjadi.
Begitu juga dengan konstitusi tentang SUmber daya Alam. Bumi dan Air serta kekayaan didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Sekarang ini penggerusan sumber daya alam baik oleh perusahaan internasional maupun domestik terjadi secara brutal. Saat eksploitasi SDA terjadi, masyarakat sekitar tidak mendapatkan kesejahteraan. Kemiskinan tetap terus terjadi. Ironis, negara memiliki kekayaan, tapi rakyatnya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan hanya mendapatkan penyakit akibat adanya aktivitas pertambangan tersebut.
Pengangguran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 8,40 juta orang per Februari 2022. Angka pengangguran yang demikian besar itu sebagian adalah sarjana atau kelompok yang mendapatkan pendidikan tinggi. Tingginya angka pengangguran membuat banyak potensi terbuang. Sebab pendidikan kita masih jauh tertinggal dari perkembangan zaman. Data saing pemuda yang kurang, serta ketersediaan lapangan kerja yang minim. Dengan tingginya angka pengangguran seperti ini, bisa memicu frustasi sosial dan meningkatnya angka kejahatan. Bayangkan saja usia produktif yang masih muda tidak mendapatkan tempat kerja, ini bisa menghasilkan kejahatan dan kekacauan.
Kebijakan Pemerintah Yang Salah
Kalau kebijakan pemerintah itu buruk bagi rakyat maka akan terjadi kehancuran. Hal ini bisa kita urai secara pelan-pelan dan singkat.
Kebijakan hutang negara misalnya, kini telah membuat kita berada dalam jurang negara gagal. Dimana hutang negara setiap tahunnya meningkat hingga mencapai 7000 triliun rupiah. Kenaikan utang membuat beban bunga semakin membengkak. Pembengkakannya akan bertambah-tambah karena pengaruh kebijakan negara lain seperti AS. Bank sentral AS, The Federal Reserve, diperkirakan akan melakukan normalisasi kebijakan moneter (tapering off) pada tahun ini untuk mengatasi inflasi di negaranya yang terus membumbung. Kebijakan tersebut akan melemahkan nilai tukar rupiah serta memicu inflasi.
Ditengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik itu pemerintah terus mengusahakan pemindahan ibukota negara di Kalimantan Timur. Proses pemindahan Ibukota itu sejak awal banyak ditentang oleh Masyarakat, bahkan secara hukum dibawa ke hadapan sidang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, kelangkaan demi kelangkaan terus saja terjadi. Negara dengan penghasil minyak sawit terbesar di dunia justru mengalami kelangkaan di dalam negeri. Ibarat pepatah "rakyat mati di lumbung minyak goreng". Benar bahwa dua orang mati karena antrian minyak Goreng itu.
Lebih gila lagi, saat kelangkaan bahan pokok mencekik dan harga terus melambung justru menteri Jokowi mengusulkan masa jabatan presiden tiga periode. Sebuah inisiatif yang katanya digerakkan oleh Menteri Kordinator kemaritiman dan Ivestasi, Luhut Binsar Panjaitan itu memicu terjadinya gelombang demonstrasi mahasiswa mulai dari jakarta hingga berbagai daerah di Indonesia.
Kebijakan ekonomi, politik dan hukum memang semakin hari semakin kacau. Produk Undang-undang seperti Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dibatalkan besyarat oleh Mahkamah adalah produk hukum yang amburadul dan ugal-ugalan. Undang-undang tentang pertambangan energi dan mineral juga tidak menghargai tata kelola lingkungan dan merugikan masyarakat. Sebaliknya memberikan karpet merah bagi investor.
Belum lagi penyediaan lapangan kerja yang masih minim. Sebagian besar angkatan sarjana banyak yang menganggur, sementara tenaga kerja Asing diberikan keleluasaan untuk masuk ke Indonesia. Kebijakan pemerintah memberikan begitu banyak kesempatan tenaga kerja asing inilah yang membuat sebagian besar angkatan muda yang sarjana tidak mendapatkan lapangan pekerjaan yang memadai. Maka terjadilah pengangguran meluas. Karena itu dapat dikatakan, bahwa pendidikan kita hanya melahirkan pengangguran yang bergelar sarjana.
Nah, sampai pada titik dimana korupsi sudah terjadi secara terang benderang, tetapi KPK sebagai lembaga pemebrantas korupsi tidak memiliki taring lagi setelah perubahan UU KPK. Berbagai potensi korupsi diabaikan begitu saja. Seperti kasus permainan kartel minyak goreng, dimana salah satu pimpinan perusahaan Wilmar yang berhubungan dengan anak Jokowi menjadi tersangka di Kejaksaan Agung.
Mandulnya Lembaga Negara
Ditengah kondisi seperti itu, Lembaga Perwakilan yang diharapkan menjadi penyambung lidah rakyat pun tidak dapat diharapkan. Terbentuknya koalisi gemuk di DPR membuat kompromi politik Eksekutif tidak mendapatkan hambatan. DPR ibarat Lembaga stempel bagi produk eksekutif.
Produk Undang-undang tetap disahkan, meskipun masyarakat menolak. Kompromi politik antara pembuat UU memang mulus, tetapi kita masih memiliki Lembaga lain yang diharapkan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah sebagai The guardian of constitution menjadi benteng bagi tegakkan supremasi hukum.
Tetapi Mahkamah adalah produk politik dari kompromi DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. Semua melewati proses politik. Jadi Mahkamah juga di sebagian UU yang berkaitan dengan hal-hal strategis, ketiga diuji oleh Masyarkaat, berbagai dalil MK untuk menyatakan konstitusional atau itu open legal policy dan lain-lain.
Maka secara umum Lembaga negara tidak dapat lagi menjadi bagian penting untuk menopang perbaikan keadaan ini. Kalau kita melihat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), itu hanya semacam Lembaga berhala yang dibikin supaya Anggota DPR punya jabatan rangkap. Praktis Lembaga negara mandul dan tidak dapat diharapkan lagi.
Langkah Penyelamatan
Bagi saya hanya ada satu jalan, yaitu sirkulasi elit harus segera terjadi. Atau kalau tidak kita akan menjadi negara gagal. Bahkan bukan hanya gagal, menurut Prediksi Ghost Fleet, bahwa negara ini bakal bubar tahun 2030.
Karena kalau elit yang berkuasa terus dipertahankan maka bisa jadi kita gagal menjadi sebuah negara maju dan gagal menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang utuh. Sebab kekuasaan sekarang ini mempertahankan perpecahan, tidak mampu memberikan kesejahteraan, tidak mampu membuka lapangan pekerjaan, ditambah lagi ketidakadilan yang terus menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Maka dari itu, harus ada kesadaran bernegara khususnya dikalangan generasi muda, untuk mengakhiri semua ini. Perlu konsolidasi nasional semua elit bangsa yang memiliki kesadaran kebangsaan dan keindonesiaan yang otentik. Kalau keadaan ini terus terjadi, dan kita hanya berdiam diri maka kita hanya bisa berharap "mukjizat" Dari langit, untuk memperbaiki bangsa ini dan itu sama dengan menunggu kehancuran.
Mari bung rebut kembali.!!
Sumber






ular.berbisik dan 5 lainnya memberi reputasi
-6
1.4K
25


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan