Kasus Suap Pegawai BPK, Berapa Gaji Pokok dan Tukin Pegawai BPK?
TS
yellowmarker
Kasus Suap Pegawai BPK, Berapa Gaji Pokok dan Tukin Pegawai BPK?
Selasa, 3 Mei 2022 14:55 WIB
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Reporter: Tempo.co
Editor: S. Dian Andryanto
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, sorotan tersebut mencuat setelah Bupati Bogor, Ade Yasin, ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 26-27 April 2022. Ade diduga melakukan suap terhadap beberapa pegawai BPK untuk memutihkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pemerintah Kabupaten Bogor.
Tim KPK menangkap empat pegawai BPK perwakilan Jawa Barat di kediaman masing-masing di Bandung, 26 April 2022, malam. Mereka langsung dibawa ke Gedung KPK di Jakarta. Kemudian pada Rabu, 27 April 2022, KPK menangkap Bupati Bogor dan pejabat ASN Kabupaten Bogor di rumah masing-masing di Cibinong.
Dalam Operasi Tangkap Tangan ini, KPK menyita uang Rp 1,024 juta,yang terdiri dari Rp 570 juta tunai dan uang yang terdapat pada rekening bank sebesar Rp 454 juta.
Integritas BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan lembaga negara pun dipertanyakan. Tidak hanya itu, besaran gaji pegawai BPK juga dipertanyakan karena diduga menjadi alasan mereka menerima suap. Lantas, seberapa besar gaji pokok pegawai BPK?
Sebagaimana Pegawai Negeri Sipil (PNS) lain, gaji pegawai BPK diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019. Berdasarkan peraturan tersebut, gaji pegawai BPK yang berada pada posisi Pemeriksa Pertama dibedakan berdasarkan golongan III dan IV. Berikut adalah rinciannya:
Golongan III (lulusan S1 hingga S3)
Golongan IIIa: Rp 2.579.400 - Rp 4.236.400
Golongan IIIb: Rp 2.688.500 - Rp 4.415.600
Golongan IIIc: Rp 2.802.300 - Rp 4.602.400
Golongan IIId: Rp 2.920.800 - Rp 4.797.000
Golongan IV
Golongan IVa: Rp 3.044.300 - Rp 5.000.000
Golongan IVb: Rp 3.173.100 - Rp 5.211.500
Golongan IVc: Rp 3.307.300 - Rp 5.431.900
Golongan IVd: Rp 3.447.200 - Rp 5.661.700
Golongan IVe: Rp 3.593.100 - Rp 5.901.200
Selain gaji pokok, pegawai BPK juga menerima tunjangan kinerja (Tukin) yang disesuaikan dengan kelas jabatan pegawai BPK. Tukin ini diatur dalam Perpres Nomor 188 Tahun 2014 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam peraturan tersebut, pegawai BPK dengan jabatan tertinggi dapat memperoleh tukin hingga Rp 41,55 juta per bulan.Tukin ini biasanya diterima oleh pejabat Eselon I sekelas kepala direktorat atau Sekretaris Jenderal.
4 Kali Berturut-turut, Pemprov DKI Jakarta Kembali Raih WTP dari BPK
Kompas.com - 31/05/2021, 14:01 WIB Pembacaan Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) laporan keuangan daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Ruang Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, Senin (31/5/2021)(KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO)
Penulis Singgih Wiryono | Editor Sabrina Asril
JAKARTA, KOMPAS.com- Provinsi DKI Jakarta kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.
Opini WTP tersebut diserahkan langsung BPK kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam rapat paripurna penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) atas laporan keuangan pemerintah daerah DKI Jakarta tahun 2020.
"Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020, termasuk implementasi atas rencana aksi yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menindaklanjuti rekomendasi, maka BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian," ujar Anggota V BPK RI Barullah Akbar di Ruang Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, Senin (31/5/2021).
Opini WTP kali ini merupakan WTP keempat yang diraih Pemprov DKI Jakarta secara berturut-turut.
WTP diraih Pemprov DKI Jakarta sejak tahun 2017 dan terus meraih predikat tertinggi dalam pemeriksaan BPK itu di tahun 2018, 2019 dan tahun 2020.
Dikutip dari bpk.go.id, berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat 4 (empat) jenis Opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah:
1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion: Menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion: Menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.
3. Opini Tidak Wajar atau adversed opinion: Menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Opini WTP yang Tak Pernah Sekali Pun Diraih Jokowi-Ahok-Djarot...
Kompas.com - 13/10/2017, 08:49 WIB
Penulis Jessi Carina | EditorDian Maharani
JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta, laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta mendapatkan predikat wajar dengan pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. WDP pertama diterima untuk laporan keuangan tahun anggaran 2013.
Pemprov DKI Jakarta lagi-lagi mendapat predikat WDP pada laporan keuangan tahun anggaran 2014. Saat pemerintahan dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, laporan keuangan terus-menerus WDP.
Artinya, sudah empat tahun berturut-turut Pemprov DKI mendapat WDP dan tidak pernah meraih predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Pemerintahan Djarot sesaat lagi akan berakhir.
Laporan keuangan untuk tahun anggaran 2017 baru keluar pada tahun depan. Jika WDP lagi, maka pemerintahan Jokowi-Ahok-Djarot benar-benar tidak pernah menerima WTP sepanjang periode. Sebenarnya, apa masalah Pemprov DKI sehingga sulit mendapatkan WTP?
Inventarisasi aset
Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan saat ini Pemprov DKI memiliki masalah dalam inventarisasi aset.
"Inventarisasi aset itu kami masih proses dan nanti semua mau menggunakan e-aset ya," ujar Djarot saat wawancara khusus bersama Kompas.com, Senin (4/9/2017).
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah juga pernah berkomentar soal masalah aset yang menjadi penghalang Pemprov DKI dalam mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Pemprov DKI tidak memiliki pencatatan aset yang baik sehingga seringkali diklaim orang lain. Masalah aset ini terus menerus muncul dalam laporan keuangan BPK dan membuat Pemprov tidak pernah meraih WTP.
Menurut Saefullah, masalah aset sudah ada sejak tahun-tahun sebelumnya. Masalah aset yang masih tersisa saat ini merupakan akumulasi dari tahun sebelumnya.
"Sejak DKI ini ada, asetnya tidak dicatat dengan baik dan akan kami selesaikan sekarang. Orang berpikiran ada pekerjaan yang enggak beres di 2016, padahal bukan begitu, ini akumulasi," kata Saefullah.
Pemprov DKI Jakarta sudah mulai membenahi aset dengan membuat badan aset secara khusus. Nantinya, setiap aset milik DKI Jakarta memiliki kode dan tercatat secara digital.
"Tanpa digital, enggak mungkin lagi kita bisa simpan harta DKI yang begitu banyak," kata Saefullah.
Kepala Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta Achmad Firdaus membenarkan pihaknya saat ini sedang membangun sistim inventarisasi aset. Sebelumnya, pencatatan aset hanya dilakukan secara manual saja. Firdaus mengatakan butuh sebuah sistim teknologi untuk mendata aset-aset milik DKI Jakarta.
"Sistim informasi aset ini memang rekomendasi dari BPK. Jadi BPK meminta untuk menyempurnakan sistim informasi aset," ujar Firdaus.
Tidak mengejar WTP
Beberapa kali Djarot sendiri menyampaikan bahwa dia tidak pernah mengejar predikat WTP. Dia tidak kecewa Pemprov DKI belum mendapatkan WTP selama 4 tahun terakhir ini.
"Saya tidak apa-apa Jakarta belum sampai pada WTP karena itu bukan tujuan kami, tujuan kami adalah bagaimana pengelolaan keuangan di DKI itu efisien dan tidak dikorup," kata Djarot.
Dia juga pernah menyinggung instansi-instansi yang hanya mengejar WTP dari BPK RI. Instansi-instansi itu mengejar opini WTP tetapi tidak memikirkan substansi dari pekerjaan yang mereka lakukan.
"Pokoknya WTP, meskipun nanti amburadul di dalam enggak peduli, enggak tercapai tujuannya enggak peduli, tepat pada sasaran tidak enggak peduli, asalkan secara administrasi beres semua. Masa begitu," kata Djarot.