- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
UUD 1945: Presiden Diatur Tegas Tidak Ada Perpanjangan, Gubernur Tak Disebut


TS
dragonroar
UUD 1945: Presiden Diatur Tegas Tidak Ada Perpanjangan, Gubernur Tak Disebut
UUD 1945: Presiden Diatur Tegas Tidak Ada Perpanjangan, Gubernur Tak Disebut
Minggu, 10 Apr 2022 09:42 WIB

Ahli hukum tata negara Feri Amsari (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - Dua warga Jakarta, A Komarudin dan Eny Rochayati, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ikut pula menggugat 4 warga Papua agar masa jabatan kepala daerahnya juga diperpanjang. Harapannya, semua kepala daerah yang habis masa jabatannya di 2022 dan 2023 diperpanjang hingga 2024. Bagaimana secara konstitusi?
"Pasal-pasal di konstitusi/UUD 1945 memungkinkan karena kepala daerah dapat dipilih secara demokratis yang membuka ruang perpanjangan," kata ahli hukum tata negara Feri Amsari saat berbincang dengan detikcom, Jumat (8/4/2022).
Dalam UUD 1945, memang ada pembedaan masa jabatan untuk presiden dan kepala daerah. Untuk Presiden, diatur tegas hanya 2 periode. Hal itu ditulis tegas dalam Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Baca juga:
Jokowi Diserang dan Dibela Usai Pilih Luhut Lagi
Selain itu, Pemilu untuk memilih presiden di atas harus dilaksanakan tegas per periode 5 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 22E UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Lalu memilih siapa pemilu lima tahunan secara periodik di atas? Dalam pasal 22E ayat 2 disebutkan tegas, Pemilu periodik di atas untuk memilih:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Anggota Presiden dan Wakil Presiden dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.*** )
Di UUD 1945 di atas, tidak disebutkan pemilu periodik 5 tahunan untuk memilih kepala daerah. Jadi, apabila ingin memperpanjang masa jabatan Presiden, UUD 1945 harus diamendemen.
Baca juga:
Drone Emprit Duga Cuitan 'Turunkan Jokowi' Tunggangi Demo 11 April
Lalu bagaimana dengan kepala daerah? UUD 1945 menyebut kepala daerah adalah orang yang memimpin sebuah wilayah. Tapi di UUD 1945 tidak disebutkan berapa waktu masa jabatan kepala daerah. Pasal 18 ayat 4 menyebutkan:
Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Belakangan, UU Pilkada menyatakan posisi kepala daerah yang akan berakhir pada 2022 dan 2023 akan diisi penjabat kepala daerah hingga ada Pilkada serentak di penghujung 2024. Adapun kepala daerah yang jabatannya seharusnya habis pada 2025 (dengan asumsi 5 tahun memimpin), maka dipercepat dipilih ulang pada Pilkada 2024.
Oleh sebab itu, pemohon meminta agar UU Pilkada dimaknai:
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 201 ayat 9 dan Penjelasan Pasal 201 ayat 9, Pasal 201 ayat 10 dan ayat 11, UU Nomor 10/2016 konstitusional bersyarat. Pasal di atas oleh pemohon agar dimaknai:
1. Adanya ketentuan mengenai mekanisme pengisian penjabat kepala daerah yang demokratis
2. Calon penjabat kepala daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat
3. Merupakan orang asli Papua untuk penjabat kepala daerah di Pemprov Papua dan Papua Barat dan Pemkab/Pemkot di Papua dan Papua Barat
4. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua,Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Pemuka agama dan masyarakat.
5. Ada ketentuan yang jelas mengenai persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk
6. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023
7. Bukan berasal dari kalangan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan
8. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat
"Permohonan ini adalah merupakan dilandasi oleh concern atau perhatian yang besar terkait dengan kekhawatiran adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dalam hal ini dalam ketentuan penunjukan penjabat sementara yang besar menurut penilaian kami berpotensi untuk disalahgunakan atau untuk kepentingan dari kekuasaan, dan mengabaikan prinsip‐prinsip demokrasi dan negara hukum," ujar kuasa pemohon, Nurkholis Hidayat.
Meski demikian, MK menasihati pemohon untuk mempertegas permohonannya. Sebab, hakim konstitusi menilai alasan pemohon masih bias dan kabur.
"Jadi, pertama harus Saudara menegaskan bahwa hak konstitusional yang diberikan kepada Para Pemohon atau yang tercantum di dalam UUD 1945, yang merupakan hak Pemohon berkaitan dengan soal pengisian penjabat itu atau soal kepala daerah itu adalah bla-bla-bla.... Ternyata dengan norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), ayat (11), Para Pemohon atau hak konstitusional yang diperoleh oleh Pemohon atau yang sudah diberikan oleh Pemohon, itu ternyata dilanggar," ucap hakim konstitusi Aswanto.
"Sekali lagi, ini yang belum tampak di dalam permohonan Saudara," Aswanto menegaskan.
Adapun menurut hakim konstitusi Arief Hidayat, UU Pilkada a quo telah sesuai dengan UUD 1945.
"Undang‐undang yang diatur di era reformasi ini adalah undang‐undang dari produk demokratis. Karena apa? DPR-nya dipilih secara demokratis, presidennya dipilih secara langsung juga secara demokratis, sehingga lahir undang‐undang yang demokratis, undang‐undang yang demokratis ini secara legal policy-nya mengatakan diatur dalam Pasal 201 dan seterusnya yang diujikan ini, itu substansinya," beber Arief Hidayat.
Lalu bagaimana ending judicial review A Komarudin dkk? Semua kembali ke 9 hakim konstitusi dan kita tunggu bersama hasilnya.
https://news.detik.com/berita/d-6025...ur-tak-disebut
Minggu, 10 Apr 2022 09:42 WIB

Ahli hukum tata negara Feri Amsari (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - Dua warga Jakarta, A Komarudin dan Eny Rochayati, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ikut pula menggugat 4 warga Papua agar masa jabatan kepala daerahnya juga diperpanjang. Harapannya, semua kepala daerah yang habis masa jabatannya di 2022 dan 2023 diperpanjang hingga 2024. Bagaimana secara konstitusi?
"Pasal-pasal di konstitusi/UUD 1945 memungkinkan karena kepala daerah dapat dipilih secara demokratis yang membuka ruang perpanjangan," kata ahli hukum tata negara Feri Amsari saat berbincang dengan detikcom, Jumat (8/4/2022).
Dalam UUD 1945, memang ada pembedaan masa jabatan untuk presiden dan kepala daerah. Untuk Presiden, diatur tegas hanya 2 periode. Hal itu ditulis tegas dalam Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Baca juga:
Jokowi Diserang dan Dibela Usai Pilih Luhut Lagi
Selain itu, Pemilu untuk memilih presiden di atas harus dilaksanakan tegas per periode 5 tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 22E UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Lalu memilih siapa pemilu lima tahunan secara periodik di atas? Dalam pasal 22E ayat 2 disebutkan tegas, Pemilu periodik di atas untuk memilih:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Anggota Presiden dan Wakil Presiden dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.*** )
Di UUD 1945 di atas, tidak disebutkan pemilu periodik 5 tahunan untuk memilih kepala daerah. Jadi, apabila ingin memperpanjang masa jabatan Presiden, UUD 1945 harus diamendemen.
Baca juga:
Drone Emprit Duga Cuitan 'Turunkan Jokowi' Tunggangi Demo 11 April
Lalu bagaimana dengan kepala daerah? UUD 1945 menyebut kepala daerah adalah orang yang memimpin sebuah wilayah. Tapi di UUD 1945 tidak disebutkan berapa waktu masa jabatan kepala daerah. Pasal 18 ayat 4 menyebutkan:
Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Belakangan, UU Pilkada menyatakan posisi kepala daerah yang akan berakhir pada 2022 dan 2023 akan diisi penjabat kepala daerah hingga ada Pilkada serentak di penghujung 2024. Adapun kepala daerah yang jabatannya seharusnya habis pada 2025 (dengan asumsi 5 tahun memimpin), maka dipercepat dipilih ulang pada Pilkada 2024.
Oleh sebab itu, pemohon meminta agar UU Pilkada dimaknai:
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 201 ayat 9 dan Penjelasan Pasal 201 ayat 9, Pasal 201 ayat 10 dan ayat 11, UU Nomor 10/2016 konstitusional bersyarat. Pasal di atas oleh pemohon agar dimaknai:
1. Adanya ketentuan mengenai mekanisme pengisian penjabat kepala daerah yang demokratis
2. Calon penjabat kepala daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat
3. Merupakan orang asli Papua untuk penjabat kepala daerah di Pemprov Papua dan Papua Barat dan Pemkab/Pemkot di Papua dan Papua Barat
4. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua,Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Pemuka agama dan masyarakat.
5. Ada ketentuan yang jelas mengenai persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk
6. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023
7. Bukan berasal dari kalangan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan
8. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat
"Permohonan ini adalah merupakan dilandasi oleh concern atau perhatian yang besar terkait dengan kekhawatiran adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dalam hal ini dalam ketentuan penunjukan penjabat sementara yang besar menurut penilaian kami berpotensi untuk disalahgunakan atau untuk kepentingan dari kekuasaan, dan mengabaikan prinsip‐prinsip demokrasi dan negara hukum," ujar kuasa pemohon, Nurkholis Hidayat.
Meski demikian, MK menasihati pemohon untuk mempertegas permohonannya. Sebab, hakim konstitusi menilai alasan pemohon masih bias dan kabur.
"Jadi, pertama harus Saudara menegaskan bahwa hak konstitusional yang diberikan kepada Para Pemohon atau yang tercantum di dalam UUD 1945, yang merupakan hak Pemohon berkaitan dengan soal pengisian penjabat itu atau soal kepala daerah itu adalah bla-bla-bla.... Ternyata dengan norma Pasal 201 ayat (9), ayat (10), ayat (11), Para Pemohon atau hak konstitusional yang diperoleh oleh Pemohon atau yang sudah diberikan oleh Pemohon, itu ternyata dilanggar," ucap hakim konstitusi Aswanto.
"Sekali lagi, ini yang belum tampak di dalam permohonan Saudara," Aswanto menegaskan.
Adapun menurut hakim konstitusi Arief Hidayat, UU Pilkada a quo telah sesuai dengan UUD 1945.
"Undang‐undang yang diatur di era reformasi ini adalah undang‐undang dari produk demokratis. Karena apa? DPR-nya dipilih secara demokratis, presidennya dipilih secara langsung juga secara demokratis, sehingga lahir undang‐undang yang demokratis, undang‐undang yang demokratis ini secara legal policy-nya mengatakan diatur dalam Pasal 201 dan seterusnya yang diujikan ini, itu substansinya," beber Arief Hidayat.
Lalu bagaimana ending judicial review A Komarudin dkk? Semua kembali ke 9 hakim konstitusi dan kita tunggu bersama hasilnya.
https://news.detik.com/berita/d-6025...ur-tak-disebut






dexvils dan 2 lainnya memberi reputasi
-1
724
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan