- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
EFEK KALO RAJA MINYAK SAUDI NGAMBEK


TS
alqokingdome
EFEK KALO RAJA MINYAK SAUDI NGAMBEK
[BONUS VIDEO TERBARU]
[BONUS INFO TERBARU]
GenBisnis – Jika Anda memperhatikan, kejadian langka terkait turunnya harga minyak dunia hingga ke level terendah seperti susah dijelaskan arah tujuan akhirnya. Dan parahnya lagi hal ini terjadi dengan tiba-tiba.
Bayangkan saja harga minyak dunia yang sudah rendah sekitar USD 55 per barel menjadi tinggal USD 30 per barel Senin (9/3/2020) kemarin.
Yang tadinya semua media menyoroti banyak hal terkait virus corona, dibuat tercengang dengan berita minyak dunia ini.
Mari kita telusuri lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi.

Awalnya sidang OPEC para anggota nya gagal tercapai kesepakatan. Seperti yang telah diketahui, Indonesia sudah bukan lagi menjadi anggota OPEC lagi sejak angka impornya lebih tinggi daripada ekspor minyak.
Sejatinya sidang tersebut ingin mencapai satu tujuan, menaikkan harga minyak dunia. Harga USD 55 per barel dinilai terlalu rendah saat ini. Karena mereka pernah menikmati harga minyak diatas USD 90 per barel dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
Bahkan pernah tercatat menyentuh harga lebih dari USD 100 per barel. Negara – negara OPEC saat itu kebanjiran untung, bahkan sampai ada istilah petrodolar untuk para negara OPEC.
Masa emas panen dolar itu tidak pernah terjadi lagi selama kurun lima tahun terakhir ini. Tepatnya sejak Amerika menemukan sumber minyak atau gas baru.
Mereka menemukan cara untuk mengambil gas dari retakan bebatuan. Teknologi canggih ini mereka sebut dengan shale gas.
Sejak saat itu Amerika tidak lagi tergantung dengan negara OPEC. Bahkan Amerika bisa disebut swasembada migas. Justru akhir-akhir ini Amerika menekan Tiongkok untuk mau membeli gas dari mereka.
Untungnya bagi negara OPEC, masih ada negara lain yang masih haus akan energi atau minyak mereka. Sebut saja Tiongkok, India, Pakistan, dan (juga) Indonesia. Meski begitu tetap saja harga minyak tidak pernah kembali ke USD 90 per barel.
Akhirnya mereka sepakat menggunakan cara klise untuk bisa menaikkan harga minyak dunia. Yaitu dengan cara mengurangi produksi minyak. Efeknya minyak langka, lalu otomatis harga minyak akan naik dengan sendirinya.
Hal inilah yang menjadi topik utama pembahasan sidang OPEC terakhir, pada 5 Maret 2020 kemarin di Austria, kantor pusat OPEC.
Arab Saudi sebagai produsen terbesar, sudah bersedia menurunkan produksi minyak nya. Dari yang biasanya 11 juta barel ke 10 juta barel per hari. Namun nyatanya negara lain keberatan.
Karena, produksi negara selain Arab Saudi tergolong tidka banyak. Harapan mereka Arab Saudi berkenan menurunkan lebih banyak lagi.
Belum lagi agenda itu tuntas dibahas, muncul realitas ancaman lain dari Rusia yang juga tidak tercatat sebagai anggota OPEC.
Jika hanya anggota OPEC yang menurunkan produksi, itu hanya akan menguntungkan Rusia secara luar biasa. Maka OPEC mesti merayu Rusia untuk mau bekerja sama mengikuti keputusan yang dibuat OPEC, yaitu menurunkan jumlah produksi minyak nya. Namun Rusia dengan tegas menolak.
Akhirnya Arab Saudi dan Mohammed bin Salman marah besar. Arab Saudi mengambil tindakan sepihak, banting harga.
Arab Saudi menjual minyak dengan penurunan yang sangat signifikan. Harga minyak di lepas dengan harga USD 30 per barel.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga meningkatkan produksi minyak nya menjadi 12 juta barel per hari. Penurunan pendapatannya bisa ditutup dari kenaikan produksinya.
Dunia gempar dengan kebijakan sepihak Arab Saudi ini. Ancaman serius bagi negara-negara penghasil minyak dunia.
Kabar bagus mungkin bagi negara pengimpor minyak. Tiongkok yang baru saja terpukul karena virus corona tiba-tiba mendapati harga minyak yang sangat murah. Bahkan termurah sepanjang sejarah reformasi perekonomiannya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pastinya Indonesia akan ikut menikmati kenyataan ini. Subsidi BBM yang mencapai lebih dari Rp 100 triliun itu bisa akan langsung hilang.
Pertamina pun punya kesempatan untuk meraih laba yang sangat besar jika harga BBM terlambat diturunkan.
Namun, perlu disadari Indonesia juga akan kehilangan pendapatan dari bagi hasil migas. Termasuk dari pajak-pajak di sektor tersebut. Penurunan pendapatan pemerintah bisa sampai RP 100 triliun.
Perusahaan migas Amerika terutama perusahaan shale gas yang sedang bergairah bisa langsung pingsan. Harga saham perusahaan mereka bisa langsung terjun bebas.
Bayangkan saja, biaya memproduksi gas dari retakan batu itu setara 45 dolar per barel. Jika harga minyak USD 30 per barel, pasti gulung tikar.
Entahlah sebenarnya Arab Saudi sedang marah kepada Rusia atau Amerika.
Bagi Arab Saudi, kemarahan mereka sudah disertai dengan perhitungan yang matang. Biaya produksi minyak Arab Saudi hanya USD 20 per barel. Dengan menjual USD 30 per barel mereka masih meraup laba USD 10 per barel. Jika dihitung dalam setahun mereka masih untung USD 43 milyar lebih.
Di Indonesia, biaya produksi minyak mentah itu sekitar USD 40 per barel. Jika harga jual nya USD 30 per barel, Anda juga pasti tahu keputusan apa yang mesti diambil. Tutup saja.
Rusia pun sama, tidak bisa memproduksi minyak mentah bahkan dengan harga sama dengan harga jual. Ladang minyak mereka di lautan. Yang di darat pun pipanya harus terus dipanasi agar bisa mengalir, menilik suhu standar disana. Biaya untuk memanasi pipa tadi juga tidak murah.
Yang pasti efek yang ditimbulkan akan sangat luas dan sangat berkaitan satu sama lain. Menarik kita simak kemanakah drama ini akan berakhir.
(gen) Sumber.
[BONUS INFO TERBARU]
GenBisnis – Jika Anda memperhatikan, kejadian langka terkait turunnya harga minyak dunia hingga ke level terendah seperti susah dijelaskan arah tujuan akhirnya. Dan parahnya lagi hal ini terjadi dengan tiba-tiba.
Bayangkan saja harga minyak dunia yang sudah rendah sekitar USD 55 per barel menjadi tinggal USD 30 per barel Senin (9/3/2020) kemarin.
Yang tadinya semua media menyoroti banyak hal terkait virus corona, dibuat tercengang dengan berita minyak dunia ini.
Mari kita telusuri lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi.

Awalnya sidang OPEC para anggota nya gagal tercapai kesepakatan. Seperti yang telah diketahui, Indonesia sudah bukan lagi menjadi anggota OPEC lagi sejak angka impornya lebih tinggi daripada ekspor minyak.
Sejatinya sidang tersebut ingin mencapai satu tujuan, menaikkan harga minyak dunia. Harga USD 55 per barel dinilai terlalu rendah saat ini. Karena mereka pernah menikmati harga minyak diatas USD 90 per barel dalam kurun waktu yang tidak sebentar.
Bahkan pernah tercatat menyentuh harga lebih dari USD 100 per barel. Negara – negara OPEC saat itu kebanjiran untung, bahkan sampai ada istilah petrodolar untuk para negara OPEC.
Masa emas panen dolar itu tidak pernah terjadi lagi selama kurun lima tahun terakhir ini. Tepatnya sejak Amerika menemukan sumber minyak atau gas baru.
Mereka menemukan cara untuk mengambil gas dari retakan bebatuan. Teknologi canggih ini mereka sebut dengan shale gas.
Sejak saat itu Amerika tidak lagi tergantung dengan negara OPEC. Bahkan Amerika bisa disebut swasembada migas. Justru akhir-akhir ini Amerika menekan Tiongkok untuk mau membeli gas dari mereka.
Untungnya bagi negara OPEC, masih ada negara lain yang masih haus akan energi atau minyak mereka. Sebut saja Tiongkok, India, Pakistan, dan (juga) Indonesia. Meski begitu tetap saja harga minyak tidak pernah kembali ke USD 90 per barel.
Akhirnya mereka sepakat menggunakan cara klise untuk bisa menaikkan harga minyak dunia. Yaitu dengan cara mengurangi produksi minyak. Efeknya minyak langka, lalu otomatis harga minyak akan naik dengan sendirinya.
Hal inilah yang menjadi topik utama pembahasan sidang OPEC terakhir, pada 5 Maret 2020 kemarin di Austria, kantor pusat OPEC.
Arab Saudi sebagai produsen terbesar, sudah bersedia menurunkan produksi minyak nya. Dari yang biasanya 11 juta barel ke 10 juta barel per hari. Namun nyatanya negara lain keberatan.
Karena, produksi negara selain Arab Saudi tergolong tidka banyak. Harapan mereka Arab Saudi berkenan menurunkan lebih banyak lagi.
Belum lagi agenda itu tuntas dibahas, muncul realitas ancaman lain dari Rusia yang juga tidak tercatat sebagai anggota OPEC.
Jika hanya anggota OPEC yang menurunkan produksi, itu hanya akan menguntungkan Rusia secara luar biasa. Maka OPEC mesti merayu Rusia untuk mau bekerja sama mengikuti keputusan yang dibuat OPEC, yaitu menurunkan jumlah produksi minyak nya. Namun Rusia dengan tegas menolak.
Akhirnya Arab Saudi dan Mohammed bin Salman marah besar. Arab Saudi mengambil tindakan sepihak, banting harga.
Arab Saudi menjual minyak dengan penurunan yang sangat signifikan. Harga minyak di lepas dengan harga USD 30 per barel.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga meningkatkan produksi minyak nya menjadi 12 juta barel per hari. Penurunan pendapatannya bisa ditutup dari kenaikan produksinya.
Dunia gempar dengan kebijakan sepihak Arab Saudi ini. Ancaman serius bagi negara-negara penghasil minyak dunia.
Kabar bagus mungkin bagi negara pengimpor minyak. Tiongkok yang baru saja terpukul karena virus corona tiba-tiba mendapati harga minyak yang sangat murah. Bahkan termurah sepanjang sejarah reformasi perekonomiannya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pastinya Indonesia akan ikut menikmati kenyataan ini. Subsidi BBM yang mencapai lebih dari Rp 100 triliun itu bisa akan langsung hilang.
Pertamina pun punya kesempatan untuk meraih laba yang sangat besar jika harga BBM terlambat diturunkan.
Namun, perlu disadari Indonesia juga akan kehilangan pendapatan dari bagi hasil migas. Termasuk dari pajak-pajak di sektor tersebut. Penurunan pendapatan pemerintah bisa sampai RP 100 triliun.
Perusahaan migas Amerika terutama perusahaan shale gas yang sedang bergairah bisa langsung pingsan. Harga saham perusahaan mereka bisa langsung terjun bebas.
Bayangkan saja, biaya memproduksi gas dari retakan batu itu setara 45 dolar per barel. Jika harga minyak USD 30 per barel, pasti gulung tikar.
Entahlah sebenarnya Arab Saudi sedang marah kepada Rusia atau Amerika.
Bagi Arab Saudi, kemarahan mereka sudah disertai dengan perhitungan yang matang. Biaya produksi minyak Arab Saudi hanya USD 20 per barel. Dengan menjual USD 30 per barel mereka masih meraup laba USD 10 per barel. Jika dihitung dalam setahun mereka masih untung USD 43 milyar lebih.
Di Indonesia, biaya produksi minyak mentah itu sekitar USD 40 per barel. Jika harga jual nya USD 30 per barel, Anda juga pasti tahu keputusan apa yang mesti diambil. Tutup saja.
Rusia pun sama, tidak bisa memproduksi minyak mentah bahkan dengan harga sama dengan harga jual. Ladang minyak mereka di lautan. Yang di darat pun pipanya harus terus dipanasi agar bisa mengalir, menilik suhu standar disana. Biaya untuk memanasi pipa tadi juga tidak murah.
Yang pasti efek yang ditimbulkan akan sangat luas dan sangat berkaitan satu sama lain. Menarik kita simak kemanakah drama ini akan berakhir.
(gen) Sumber.






infinitesoul dan 3 lainnya memberi reputasi
4
879
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan