Kaskus

Entertainment

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Agama Mengawal Tatanan Nilai Baru Indonesia Pasca Pandemi
Agama Mengawal Tatanan Nilai Baru Indonesia Pasca Pandemi

Agama Mengawal Tatanan Nilai Baru Indonesia Pasca Pandemi

Agama memiliki peran di setiap fase, termasuk saat mengawal tatanan nilai Indonesia baru. Memang agama disiapkan menjadi pranata untuk mengatur apa yang ada di bumi. Sebagai penyambung lidah langit kepada bumi, agama mengatur relasi antar manusia dengan Tuhan, antar manusia, bahkan dengan alam.

Hilmy Muhammad sebagai Kyai dari Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, sekaligus DPD RI mengungkapkan bahwa kyai merupakan budayawan. Kyai harus mampu membahasakan bahasa wahyu kepada manusia agar sifat kebaikan tersebar.

Dalam Agama Islam diajarkan bahwa keselamatan adalah hal yang utama. Sesuatu yang bahaya ditinggalkan, yang baik dilanjutan.

“Kaitannya dengan pandemi, kyai harus bisa menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk menjaga kesehatan, tidak boleh salaman, pakai masker, namun berrelasi tetap harus ramah,” pesan Kyai Hilmy.

Pandemi dalam pandangan penghayat tidak bisa lepas dari perilaku manusia. Perilaku manusia terlihat arogan dan merasa paling berkuasa sehingga mengeksploitasi alam berlebihan.

“Menurut kami Covid-19 ini adalah upaya alam untuk mencari keseimbangan karena apa yang mereka dapatkan dari ulah manusia,” ungkap Engkus Ruswana selaku pendiri Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia.

Engkus menyampaikan jika sikap penghayat merespon Covid-19 ini dengan tepo selira dan mawas diri. Tepo selira timbul tergantung dari dalamnya pengetahuan terhadap kehidupan termasuk ke Tuhan, manusia, dan alam.

Sementara Sabrang Damar Mowo Panuluh, mengaitkannya dengan sains. Salah satu kunci dari ketahanan menurutnya adalah terjadi pembelajaran dari alam. Sabrang mengandaikannya dengan proses penyerbukan. Kalau di alam ada bunga yang dihinggapi oleh 10 jenis lebah untuk proses penyerbukan, maka akan terjadi replikasi 10 lebah melakukan hal yang sama. Kenapa harus 10? karena jika 1 lebah punah, maka masih ada 9 lainnya untuk penyerbukan. Begitu juga dengan desa.

“Kalau desa melakukan ketahanan, maka harus direplikasi dengan desa lain dengan cara uniknya masing-masing, agar kondisi yang ideal dari desa tidak punah,” ungkap Sabrang.

Bu Nyai Masriyah Amva dari Pondok Pesantren Kebon Jambu menceritakan pengalaman nyatanya selama Covid-19. Bu Nyai Masriyah membaca problematika sosial jika masyarakat terlihat kurang peduli dengan Covid karena tuntutan ekonomi. Jika mereka tidak bekerja maka tidak memiliki uang untuk kehidupan esoknya.

Bu Nyai Masriyah bercerita pendampingan yang dilakukan oleh sesama Bu Nyai yang memanfaatkan grup Whatsapp untuk membantu jual beli produk masyarakat tanpa meraih keuntungan. Saling gotong royong yang dilakukan Bu Nyai Masriyah dan Bu Nyai lainnya untuk mengawal perekonomian masyarakat merupakan upaya mereka agar masyarakat terbantu selama Covid, termasuk agar mereka lebih menjaga diri dengan tidak sering keluar rumah.

“Kegotongroyongan yang sebelumnya tidak terjadi menjadi kekuatan yang dapat menjadi solusi dari pandemi. Dari pandemi ini adanya bisnis baru, adanya pengalaman baru, adanya hal hal di luar akal manusia,” cerita Bu Nyai Masriyah Amva.

Hilman Latief selaku Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berfokus menceritakan kiprah Muhammadiyah dalam responnya menghadapi Covid-19. Muhammadiyah adalah sebuah gerakan,sama dengan Nahdlatul Ulama.

“Gerakan bertugas menjadi penghubung dan menyebarluaskan ajaran agamanya,” jelas Hilman.

Kedepannya, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam perlu menjawab persoalan dengan beberapa tahap: melakukan formulasi gagasan dan agenda besar, menyiapkan perangkat, menyusun strategi,hingga diakhir tahap melakukan monitoring.

Di sesi akhir, Kiai M. Mustafid dari Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara menyatakan bahwa dalam memahami pandemi dalam konteks agama kita perlu memahaminya secara hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam.

Kiai Tafid merekomendasikan bahwa kita semua perlu merekonstruksi metode berpikir dalam hal teologis agar bisa memposisikan diri untuk merespons pandemi. Metodologi berpikir yang perlu dibangun adalah tawasuth (berpikir di tengah tidak ekstrim kanan maupun kiri), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus).

https://kongreskebudayaandesa.id/aga...-pandemi/.html
0
584
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan