Kaskus

News

banteng.budugAvatar border
TS
banteng.budug
Ibu Antre Minyak Goreng, Bapak Antre Solar, Partai Antre Jabatan
Ibu Antre Minyak Goreng, Bapak Antre Solar, Partai Antre Jabatan


Ibu Antre Minyak Goreng, Bapak Antre Solar, Partai Antre Jabatan


Ribuan manusia berjajar berdesakan
menunggu giliran jatah kehidupan
Tak ada yang bisa mengalah
malah ada yang melangkahi sesama
Tiada hirau orang lain mengeluh
tiada hirau mata-mata melotot
Dalam antrean panjang
semua ingin meraih hak
Antrean panjang manusia-manusia lapar
tak jelas lagi siapa pria, siapa wanita
Berebut
Berjejalan
Berdesakan
Sibuk mengurus dirinya

Puisi yang ditulis Cahyamulia dengan judul “Antrean Panjang” ini begitu kontekstual dengan kondisi sekarang, walau ditulis pada Mei 1991.

Melihat fenomena kelangkaan minyak goreng di berbagai daerah di tanah air, bahkan hingga mengantre, demikian juga dengan antrean sopir-sopir kendaraan yang rela menunggu lama hanya untuk mendapatkan solar menjadi pemandangan yang jamak terjadi akhir-akhir ini.

Sudah mengantre lama, barangnya yang dicari terbatas pula jumlahnya. Kalau pun ada, harganya sudah berlipat dari harga normal.

Malah sering, stok minyak goreng kosong di sejumlah toko atau pasar.

Ironis memang, kita mengalami kelangkaan minyak goreng justru di negeri yang dikenal dengan hasil sawit berlimpah.

Setali tiga uang dengan minyak goreng, distribusi dan pasokan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar juga terganggu di sejumlah daerah.

Pengemudi kendaraan berbahan bakar solar kelabakan mengisi tangki kendaraannya. Yang miris tentu pengemudi angkutan umum dan barang yang mengandalkan solar. Waktu kerjanya terbuang percuma hanya untuk mendapatkan solar.

Ironis memang, walau kita bukan lagi negara pengekspor minyak mentah dan tergabung dengan OPEC, setidaknya kita tidak mampu lagi memasok kebutuhan solar untuk bangsanya sendiri.

Di negeri ini masih ada tambang minyak dan gas yang bisa menopang kebutuhan energi rakyatnya.

Jika minyak goreng dan solar saja kita harus antre, jabatan di kabinet rupanya harus diantre (pula) oleh partai-partai politik.

Partai demikian “lapar” dan kudu rela mengantre lama serta harus melancarkan sejumlah jurus agar “kursi” menteri di kabinet bisa diraihnya.

Persetan dan omong kosong dengan rakyat yang harus rela antre minyak goreng dan solar.

Saya jadi ingat dengan asumsi kekuasaan seperti dinyatakan Machiavelli bahwa untuk mengukuhkan kekuasaan, tidak perlu mementingkan nilai moral dan etika.

Partai politik tidak perlu menunaikan janji yang disampaikannya kepada konstituennya. Membela rakyat bisa dilakukan dengan cara apa saja, termasuk memastikan tiket kursi menteri diraihnya.

Menguasai kementerian adalah segalanya, persetan dengan durasi pemerintahan yang sebentar lagi akan berakhir.

Dengungan perlunya perombakan kabinet atau reshuffle selalu disuarakan oleh partai-partai yang belum mendapat “kursi” atau ingin mempertahankan “kursi” yang sudah diraihnya alias mengamankan posisi.

Bisa pula teriakan reshuffle disuarakan partai agar jatah “kursinya” di kabinet bertambah. Saling ancam, saling teriak, dan saling cakar-mencakar. Mirip kucing garong memperebutkan kucing wadon.
Antara minyak goreng, solar & kursi menteri

Antrean mendapatkan minyak goreng masih menjadi pemandangan yang lazim ditemui di berbagai daerah di tanah air.

Saat mengunjungi Soe, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, empat hari yang lalu, saya melakukan random check di beberapa toko.

Hasilnya, memang minyak goreng susah didapat. Kalaupun ada, harganya melambung tinggi. Jauh di atas harga eceran tertinggi.

Antrean ibu- ibu yang semula ingin mendapatkan minyak goreng kemasan kini beralih ke minyak goreng curah.

Daripada membeli dengan harga Rp 25.000 untuk kemasan minyak goreng isi 1 liter, para ibu rela mengantre minyak goreng curah demi mendapatkan harga Rp 14.000 per liter.


Warga Rembang, Jawa Tengah, misalnya, rela antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng curah. Setiap pembelian dibatasi maksimal 18 liter.

Sementara di Yogyakarta, aparat kepolisian dikerahkan untuk mengatur antrean warga yang hendak membeli minyah goreng curah. Setiap warga dibatasi maksimal pembelian hanya lima liter (Kompas.com, 27 Maret 2022).

Selama kurun waktu empat bulan belakangan ini, lonjakan harga minyak goreng di tanah air melesat tanpa kendali.

Bahkan dipastikan, sejak dua bulan terakhir kenaikan harga minyak goreng ikut memberi andil terhadap inflasi.

Melesatnya harga minyak goreng di negeri yang kaya sawit menjadi ironi mengingat pasokan minyak sawit di tanah air masih melimpah.

Masyarakat dipaksa membeli minyak goreng di harga impor. Ujung-ujungnya pemerintah menggelontarkan fulus subsidi Rp 3,6 triliun untuk penyediaan minyak goreng murah di harga Rp 14.000 per liter (Kompas.com, 19 Februari 2022).


Sudah mendapat injeksi subsidi tidak otomatis ketersedian minyak goreng di pasaran menjadi berlimpah.

Justru rak-rak penjualan minyak goreng di berbagai gerai di penjuru tanah air menjadi kosong melompong.

Sejak awal Februari 2022 hingga sekarang ini, saya berkeliling ke berbagai provinsi di tanah air. Mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi Tenggara dan Banda Aceh, kondisi ketersedian minyak goreng memang sami mawon.

Harga minyak goreng murah hanya ada di televisi dan media. Di lapangan memang minyak goreng langka dan jika pun ada, masyarakat harus rela antre.

Tidak hanya minyak goreng, di berbagai daerah solar kini susah didapat. Minyak goreng dan solar sudah seperti sahabat karib, dua-duanya ghosting bersama.

Menurut catatan Kompas, kelangkaan solar sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa pekan terakhir ini. Bahkan di sejumlah daerah kelangkaan solar sudah terjadi berbulan-bulan lamanya.

Untuk mendapatkan solar, para pengemudi kendaraan harus berkeliling kota mencari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang masih memiliki stok. Para sopir harus antre karena langkanya solar.

Di Kota Bogor, Jawa Barat, misalnya, solar sudah susah dicari beberapa hari belakangan ini. Tingginya permintaan dari pengendara membuat stok solar menjadi cepat habis (Kompas.com, 28 Maret 2022).

Tidak hanya di Bogor, di Palembang Sumatera Selatan pun sejumlah SPBU tampak antrean kendaraan mengular demi mendapatkan solar.

Padahal BPH Migas sejak 2022 telah menugaskan PT Pertamina Patra Niaga dan PT AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar.

Penetapan kuota ini tentunya telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.

Apabila terjadi peningkatan kebutuhan atau gangguan pasokan di suatu daerah, maka Pertamina Patra Niaga dan AKR Coporindo dapat melakukan penyesuaian kuota antarpenyalur di daerah yang sama sepanjang tidak memengaruhi jumlah total kuota daerah tersebut (Kompas.com, 28 Maret 2022).

Dan sepertinya, mekanisme tersebut yang tidak jalan di lapangan. Terasa simple di atas kertas, tetapi berantakan di lapangan. Dan ini kerap terjadi.

Jika minyak goreng dan solar begitu berpengaruh dengan hajat hidup orang banyak, tidak demikian halnya dengan “kelangkaan” kursi menteri di sejumlah partai politik.

Kelangkaan jatah kursi menteri hanya melanda di elite-elite partai saja. Para elite politik semakin menunjukkan tabiat asli dan syahwat politiknya jelang tahun panas 2024.

Masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam gerbong koalisi tentu membutuhkan akomodasi politik berupa posisi di kementerian dan aneka jabatan.

Kredo tidak ada makan siang yang “gretongan” apalagi untuk sarapan dan makan malam, jelas berlaku di elite partai politik.


Melihat kengototan para elite politik, antara yang ingin “kebelet” masuk kabinet dan yang “ogah” kehilangan “kursi” menteri di kabinet semakin menyiratkan aroma kontestasi pemilu 2024 sudah semakin dekat.

Saling sikut, saling beradu argumen dan saling mencari muka ke Presiden menjadi jamak terlihat.

Alih-alih memberi solusi terjadinya kelangkaan minyak goreng dan solar setelah sebelumnya harga kedelai menggila di pasaran, mereka justru ”menikmati” kondisi kelangkaan ini menjadi advantage politik.

Jika ada menteri dianggap tidak becus mengendalikan harga minyak goreng atau atau ada menteri yang kebingungan dengan ketersediaan solar, boleh jadi harapan mengisi pos menteri-menteri tersebut semakin membuncah.

Ee.. dayohe teko…ee gelarno kloso …
ee.. klasane bedah…ee tambalno jadah..
ee.. jadahe mambu .. ee pakakno asu…
ee..asune mati …ee guwakno kali..
ee.. kaline banjir.. ee guwak neng pinggir..

Tembang Jawa Dayohe Teko begitu kerap saya nyanyikan waktu bocah di Kota Malang, Jawa Timur di paruh 1970 – 1975.

Tembang tersebut jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya begini: ada tamu datang, jangan lupa hamparkan tikar.

Ketika tikarnya robek maka tambalah dengan ketan. Ketika ketannya bau, berikan saja ke anjing.

Dan ketika anjingnya mati, lemparkan saja ke sungai. Dan jika sungainya banjir, buang saja di pinggirnya.

Sejatinya, tembang tersebut sarat ajaran dan sindirin bahwa manusia yang serakah itu juga kerap tidak sadar dengan perbuatannya sendiri. Saling menyalahkan orang lain, dan tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu.

Kehadiran tamu yang seharusnya disambut dengan ramah malah sang tuan rumah menyepelekan tamu dengan berkutat pada kegiatan yang tidak terpuji, yaitu membuang “bangkai anjing”.

Ke sungai pula walau tengah dilanda banjir.

Salah kaprah kelangkaan minyak goreng dan solar serta saling berebut kursi menteri menjadi semakin jelas wajah-wajah penuh nafsu para politisi kita.

Fokus dan energi bangsa kita bukan dihabiskan untuk mengurangi beban kehidupan rakyat, tetapi lebih ditumpahkan untuk urusan bagi-bagi kekuasaan.

Sekali lagi, persetan dengan orang susah. Minyak goreng langka dan solar susah dicari, yang penting asyik....asyik dapat jabatan menteri.


kompas


Luar biasa prestasi pak Jokowi. layak 3 periode. kalo perlu seumur hidup emoticon-Recommended Seller
areszzjayAvatar border
nomoreliesAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan 3 lainnya memberi reputasi
2
1.2K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan