Hai, namaku Ai. Aku suka jus Alpukat, roti Pie, rintik hujan yang mematuk jendela, dan tentunya suka keheningan juga. Introvert banget, ya? Padahal gak begitu. Ada saat dimana aku memang suka sendiri, dan ada saat dimana aku butuh keramaian untuk menjalankan kegiatan sosialku karena aku pegiat literasi.

Aku adalah anak bungsu. Ya, anak yang katanya manja dan emosional, aku akui itu benar adanya.

Ini perjalananku dalam mencari si pelengkap hati.

Aku pernah mengenal seorang lelaki bernama Avin. Lelaki ideal dengan rambut hitam tebal dan wajah yang berbentuk voal. Tidak ada yang spesial bagiku selain ketika dia memainkan rambutnya sampai dibiarkan acak-acakan. Konyol banget ya? Hanya karena itu aku menyukainya.

Tapi tunggu, menyukai seseorang bukan berarti mencintainya, kan? Lagi pula kupikir dia sudah memiliki kekasih, masa iya lelaki seideal itu belum punya tambatan hati. Aneh sekali. Jadi aku tetap menyimpan rasa suka itu yang ternyata menjadi bom waktu yang meledakkan aku. Dia yang juga aktif di kegiatan literasi membuatku mulai mengenalnya lebih jauh.

"Nanti pulang bareng, ya?" tawarnya sambil tersenyum saat kami dengan yang lainnya sibuk membereskan buku-buku yang berserakan.

"Eum, anu ... aku jalan kaki aja," tolakku sembari cengengesan, "lagian deket kok," kataku lagi setelah berusaha meredakan jantung yang serasa akan meledak.

"Oh, iya deh. Mungkin lain kali aja." Ada getar kecewa dari suaranya, tapi dia mencoba tersenyum untuk tetap terlihat tenang.

Setelah percakapan singkat itu, kami belum pernah lagi bercakap-cakap. Sikapnya pun tidak seramah sebelumnya. Entahlah, aku merasa dia berubah sikap setelah hari dimana aku menolak ajakannya. Padahal alasanku menolak bukan karena tidak mau, tapi karena takut tidak bisa mengontrol perasaan.

Kupikir akan ada lanjutan dari kisahku bersamanya, tapi nyatanya tidak ada. Setelah percakapan singkat itu semuanya benar-benar berakhir. Termasuk akhir dari perasaanku untuknya.