- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Licik Politik Apartheid Islam Bersatu Demi 2024


TS
NegaraTerbaru
Licik Politik Apartheid Islam Bersatu Demi 2024
Spoiler for Ilustrasi Menag:
Spoiler for video:
Islamofobia merupakan sikap anti Islam yang meningkat drastis setelah peristiwa serangan 11 September 2001. Runnymede Trust, sebuah institusi peneliti kebijakan (think tank) dari UK mendefinisikan Islamofobia sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan penganutnya”. Hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan masyarakat serta kebangsaan.
Selain itu, Islamofobia juga memiliki persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma sosial yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya Barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis, daripada berupa suatu agama.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu tak luput dari isu Islamofobia. Hal ini diperparah dengan adanya berbagai peristiwa terorisme di negeri ini, yang menyebabkan umat Islam merasa ditakuti, dibenci, dan didiskriminasi, yang pada akhirnya memunculkan rasa tertekan dari umat Islam itu sendiri. Rasa tertekan yang pada akhirnya memunculkan sikap skeptis hingga kecurigaan terhadap pemerintah bila mengeluarkan kebijakan atau sikap yang dianggap memojokkan umat Islam.
Tengok saja contohnya ketika pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya. Aturan melonggarkan saf sholat di masjid hingga larangan mudik lebaran menyebabkan banyak muslim di Indonesia merasa bahwa pemerintah tidak adil terhadap umat muslim. Pemerintah sering kali di cap anti Islam atau Islamofobik.
Padahal bukan berarti yang dilakukan pemerintah seperti yang dibayangkan bukan?
Sayangnya, ada beberapa pihak yang terus berupaya untuk memunculkan kesan Islamofobia tersebut. Sayangnya, kesan pemerintah yang anti Islam justru didorong oleh pihak yang mengaku berada di posisi umat Islam dan membela kepentingan umat.
Padahal kenyataannya, tudingan untuk mengesankan sikap anti Islam pemerintah hanyalah demi suara pemilih di Pemilu 2024 nanti.
Tidak percaya? Tengok saja beberapa peristiwa yang berkaitan dengan agama baru-baru ini.
Pada hari Jumat, 18 Maret 2022, Staf khusus (Stafsus) Presiden Jokowi, Ayu Kartika Demi menikah dengan pria bernama Gerald Sebastian. Mereka berdua melaksanakan dua prosesi pernikahan yakni akad nikah secara Islam yang sesuai dengan keyakinan Ayu dan pernikahan di Katedral yang sesuai dengan keyakinan Gerald. Artinya pernikahan tersebut adalah pernikahan beda agama antara Islam dan Katolik.
Pernikahan ini pun mendapat berbagai tanggapan. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menegaskan bahwa pernikahan beda agama yang dilakukan Stafsus Presiden Jokowi itu tidak sah. Sebab, dalam Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian dijelaskan bahwa perkimpoian sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Amirsyah juga menjelaskan bahwa berdasarkan UUD 1945, tertulis jelas bahwa pada Pasal 29, Ayat 1 menyatakan bahwa ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’, sedangkan ayat 2 berbunyi ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu’.
Sumber : Sindonews[Sekjen MUI Tegaskan Pernikahan Beda Agama Stafsus Jokowi Tidak Sah]
Namun, dari kalangan umat Islam sendiri ada pula yang pro. Seperti Achmad Nurcholis yang juga menjadi salah satu fasilitator pernikahan beda agama yang sempat viral di salah satu gereja di Semarang, Jawa Tengah.
Lulusan S1 Fakultas Tarbiyyah STAI Nida el-Adabi Jakarta ini mengatakan, sebenarnya ada tiga pandangan Islam tentang pernikahan beda agama. Pandangan pertama dan kedua tidak memperbolehkan pernikahan beda agama, sedangkan pandangan ketiga yang menjadi pegangannya memperbolehkan Muslimah menikahi non muslim.
Pandangan ketiga ini acuannya adalah Al Maidah ayat 5, di mana lelaki muslim boleh menikah dengan ahlul kitab. Menurut Nurcholis, prinsip penerapan hukum dalam Islam tak berlaku diskriminatif. Kalau satu hukum membolehkan bagi laki-laki berarti boleh juga begi perempuan.
Dia memaknai QS Al Maidah ayat 5 itu bisa juga Muslimah menikah dengan lelaki beriman dari kalangan ahlul kitab. Lalu Nurcholis juga beragumen bahwa ada kaidah hukum di Islam bahwa segala sesuatu boleh sepanjang tidak ada nash (ketetapan hukum yang bersumber dari Al Quran dan Al Sunnah) yang melarang. Menurutnya, dari 6.666 ayat tidak ada satu pun nash yang melarang Muslimah menikah dengan lelaki non Muslim.
Sumber : Republika [Nikah Beda Agama, Begini Beda Dalil Ahmad Nurcholis, Gus Baha Hingga Quraish Shihab]
Seandainya kita melihat dari UUD 45, tentu stafsus Jokowi yang menikah beda agama itu tidak melanggar apapun. Sebab UUD 45 menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah pula menurut agama atau kepercayaannya itu.
Selain itu, jika merujuk Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian yang menjelaskan bahwa perkimpoian sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka pernikahan Stafsus Jokowi tentunya menganut paham dari pandangan ketiga dalam Islam seperti yang dipaparkan Nurcholis.
Hanya saja pandangan minoritas di dalam agama Islam ini ditentang pihak mayoritas yang merasa paling benar dalam ber-Islam. Kasus yang serupa dengan pandangan tidak bolehnya wayang oleh Khalid Basalamah yang dicecar banyak pihak khususnya NU pada beberapa waktu lalu.
Namun karena kasus ini melibatkan Stafsus Presiden Jokowi, tentunya akan menyudutkan posisi presiden, sembari menguntungkan posisi Wakil Presiden dan Blok Politiknya dalam tujuan menjerumuskan presiden sebagai anti Islam. Seolah-olah presiden tidak mau peduli dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh pandangan muslim mayoritas di Indonesia.
Peristiwa selanjutnya adalah polemik Pendeta Saifuddin yang meminta Menteri Agama menghapus 300 ayat Al-Quran. Blok Islam yang dimotori gerakan Blok NU menerjunkan segudang tokoh NU dan pemerintahan hingga organisasi seperti MUI, memicu partisipasi aktif Blok 212 untuk mendesak pemerintah menindaknya.
Lantas bagaimana respons dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terkait kasus ini?
Pada Kamis, 17 Maret 2022, pihak PGI menyatakan bahwa hal yang dilakukan Saifuddin merupakan sikap pribadi dan tidak terkait dengan organisasi maupun gereja manapun. “Itu pernyataan pribadi ya. Tak ada kaitannya dengan PGI dan gereja-gereja pada umumnya,” kata Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow.
Oleh karena itu, Jeirry meminta masyarakat untuk tidak menanggapi lebih jauh pernyataan Saifuddin tersebut. Menurutnya, Saifuddin hanya sedang mencari sensasi dengan membuat sesuatu yang kontroversial dan provokatif. Jika ditanggapi lebih lanjut justru Saifudin akan makin senang.
Selanjutnya Jeirry juga mengimbau masyarakat, khususnya umat Islam tidak terprovokasi dengan Saifudin. Ia pun berharap seluruh pihak berhenti membahas dan membicarakan masalah Saifudin.
Sumber: Makassar Terkirni [Sebut Saifuddin Cari Sensasi, Persekutuan Gereja Indonesia: Jangan Ditanggapi, Nanti Makin Senang!]
Menariknya, sehari sesudah pernyataan PGI, yakni pada Jumat 18 Maret 2022, anggota Komisi VIII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Bukhari Yusuf turut meminta masyarakat untuk tidak perlu merespons luas pernyataan kontroversial Saifudin.
"Itu orang cari duit, cukup MUI yang tanggapi," katanya
Dia mengatakan, justru dengan semakin luas respons publik terhadap pernyataan kontroversial Saifudin, maka pendeta tersebut akan semakin mendulang pundi-pundi keuntungan material. Dia akan terus merawat dan mengunggah pernyataan-pernyataan kontroversialnya yang mengaduk emosi masyarakat Indonesia.
Sumber : [url=https://akuraS E N S O Rsoal-pendeta-saifuddin-ibrahim-politisi-pks-itu-orang-cari-duit-makin-ditanggapi-makin-untungkan-dia]Akurat[/url] [Soal Pendeta Saifuddin Ibrahim, Politisi PKS: Itu Orang Cari Duit, Makin Ditanggapi Makin Untungkan Dia]
Perhatikanlah bahwa sikap dan posisi Blok Kristen dalam polemik Saifudin adalah mengajak semua khalayak tidak memberi panggung pendeta itu demi mencegah terjadinya konflik horizontal, sedangkan sikap dan posisi Blok Islam yang dibakar Blok NU adalah mengajak semua khalayak untuk mengkriminalisasai Pendeta Saifudin.
Lihatlah apa yang terjadi selanjutnya akibat dari sikap memanaskan umat yang dilakukan Blok NU. Pernyataan PGI yang berupaya meredakan tensi malah dihujat warganet. Seperti akun @MahaBhisma yang mempertanyakan sikap PGI yang tak ikut mengecam Pendeta Saifudin.
Sumber : Makassar Terkini [Heboh Kontroversi Saifuddin, Warganet: Janggal! Kenapa PGI Tidak Mengecam Sikapnya yang Intoleransi?]
Jika kita melihat kaitan dengan pernikahan beda agama yang dilakukan Stafsus Jokowi, maka terlihat ada upaya dari Blok Islam NU untuk mengukuhkan supremasi mayoritas Islam terhadap kritik suara minoritas, baik berupa pandangan Islam yang berbeda, maupun pandangan dari non muslim.
Konstelasi keduanya jelas memperlihatkan motif politik agama Blok NU dan MUI sebagai motor utama penggerak polemik Pendeta Saifudin maupun polemik pernikahan beda agama bukanlah untuk meredam potensi terjadinya konflik horizontal, melainkan terus memanaskan arena ini untuk kepentingan politik Blok Wakil Presiden menyudutkan Presiden dan Pemerintah dalam stigma anti Islam.
Stigma pemerintah anti Islam ini makin diperparah dengan pernyataan Menag Yaqut pada 18 Maret 2022 lalu dalam rangka merespon keputusan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadikan tanggal 15 Maret sebagai ‘Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia’.
Menurutnya segala bentuk tindakan Islamofobia di seluruh dunia harus diperangi.
Sumber : CNN Indonesia [Menag Yaqut Dukung Putusan PBB: Islamofobia Harus Diperangi]
Apakah yang aneh dari pernyataan Menag?
Maksud dari PBB soal Islamofobia harus diperangi adalah dalam konteks muslim menjadi minoritas di suatu negara, sehingga represi mayoritas non Islam kepada Islam di suatu negara itulah yang harus diperangi.
Justru Menag menggunakan pernyataan PBB memerangi Islamofobia akan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik Joseph Paul Zhang, Muhammad Kace, dan Saifudin Ibrahim terhadap mayoritas Islam di Indonesia.
Justru dalam konteks di Indonesia dimana mayoritasnya Islam, cara menafsirkan sikap PBB soal Islamofobia harus diperangi berarti yang harus diperangi adalah Kristenophobia.
Manuver Menag justru mengarah ke Apartheid, dalam hal ini berarti mayoritas Islam di Indonesia diajak menggunakan jargon Islamofobia harus diperangi untuk tujuan mengisolasi dan meyudutkan penganut agama minoritas di Indonesia.
Dari sini saja sudah terlihat jelas bahwa Menag tidak mampu membedakan definisi Islamofobia dengan apartheid, sehingga ia justru mendorong supremasi apartheid Islam di Indonesia berkedok keragaman melawan Islamofobia.
Ujung-ujungnya presiden yang akan ditekan soal anti Islam ini. Mulai dari soal pernikahan beda agama, polemik pendeta Saifudin, hingga gagal paham Menag soal Islamofobia yang hanya akan membakar emosi umat Islam terkait kesan anti Islam pemerintah.
Jika nikah beda agama dibiarkan, tentu publik akan melihat pemerintah tidak peduli dengan Islam. Jika Saifuddin Ibrahim tidak ditindak, makin gencar Blok NU memanaskan penangkapannya, memanfaatkan emosi umat Islam hingga semakin kuat anggapan bahwa pemerintah anti Islam karena dianggap tidak mau menindak pihak yang mengkritik Islam.
Terakhir, gagal paham Menag Yaqut soal Islamofobia yang justru akan mendorong supremasi apartheid Islam di Indonesia. Pada akhirnya, supremasi itu akan membuat umat Islam menjadi umat yang berpikiran sempit dan intoleran. Ketika supremasi itu dicegah pemerintah demi keragaman Indonesia, yang ada pemerintah akan lagi-lagi dianggap anti Islam.
Semuanya dorongan yang bertujuan mengesankan pemerintah anti Islam itu demi apa? Hanya demi kepentingan politik di Pemilu 2024. Demi merebut suara umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, maka dibutuhkan antitesis dari pemerintah saat ini. Blok politik presiden yang terkesan Anti Islam di pemerintahan saat ini tentu tidak akan dipilih rakyat di 2024 nanti.
Sungguh kejam, memanfaatkan emosi umat hanya demi kepentingan politik di Pemilu 2024. Mungkin benar adanya ucapan dari jurnaslis Inggris Nick Cohen, “No one is as murderously ‘Islamophobic’ as Islamists are.”
Diubah oleh NegaraTerbaru 24-03-2022 11:10






shellasoraya404 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
2.1K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan