- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Krisis Pangan Ramadhan Pemantik Kudeta Ulama Gullingkan Umara


TS
NegaraTerbaru
Krisis Pangan Ramadhan Pemantik Kudeta Ulama Gullingkan Umara
Spoiler for Ilustrasi Ulama Umara:
Spoiler for video:
Sembari menyeruput kopi di sebuah kafe di pinggiran kota, saya mendengar lagu Iwan Fals yang diputar oleh pemilik kafe. ‘Dunia politik punya hukum sendiri, colong sana colong sini atau colong-colongan, seperti orang nyolong mangga, kalau nggak nyolong nggak asik’. Begitulah sepenggal lirik “Asik Gak Asik” yang dilantunkan penyanyi yang bernama asli Virgiawan Listanto tersebut.
Lagu itu menceritakan bagaimana dunia politik berjalan. Dunia yang penuh intrik, saling senggol-senggolan untuk mencapai kepentingan tertentu atau golongan.
Apakah benar sekejam itu dunia politik? Apakah demi ambisi politik semua cara meskipun licik tetap dilakukan? Untuk menjawabnya mari kita simak paparan berikut.
Pada 23 Februari 2022, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyuarakan usulan penundaan Pemilu 2024. Ia mengaku mendengar masukan dari para pengusaha, pemilik UMKM, hingga analis ekonomi sebelum menyampaikan usulan itu.
Usulan itu lantas didukung oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Sebenarnya, wacana penundaan pemilu juga sempat digulirkan oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Bahlil mengklaim, usul tersebut datang dari para pengusaha yang bercerita kepadanya. Alasannya, demi memberi waktu untuk pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19, sehingga para pengusaha ingin penyelenggaraan pemilu ditunda.
Setelah lebih dari sepekan dunia perpolitikan Indonesia gaduh dengan agenda penundaan pemilu tersebut, presiden akhirnya angkat bicara.
Jokowi menyatakan bakal patuh pada konstitusi atau UUD 1945. "Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat, 4 Maret 2022.
Meski begitu, Presiden Jokowi menyatakan wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, Jokowi menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi.
Menariknya, sipak presiden kali ini tidak sekeras sebelumnya kala isu serupa mengemuka. Seperti tahun 2019, saat wacana untuk mengusung Jokowi menjadi presiden 3 periode dianggap Jokowi sebagai upaya untuk menampar mukanya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan.
Sumber : Kompas[Jokowi Dulu Bilang Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Tampar Mukanya, Kini Sebut Itu Bagian Demokrasi]
Standar ganda yang diterapkan presiden kali ini cukup menarik. Pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai lambat dan tidak tegasnya reaksi Jokowi terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden memunculkan kesan permisif terhadap pergerakan operasi politik ini.
Sebab masyarakat dibuat bertanya-tanya, apakah ketidaktegasan presiden mengindikasikan adanya restu politiknya terkait wacana tersebut? "Apakah presiden melakukan strategi testing the water? Di mana stop atau lanjut dari operasi ini dilihat dari reaksi publik dan konsolidasi dukungan politik," kata Khoirul pada 7 Maret 2022.
Pernyataan Jokowi bisa dimaknai sebagai keengganan presiden untuk bersikap tegas menindak pihak-pihak yang bermain api dalam wacana ini. Wacana penundaan pemilu mengindikasikan kuat bahwa semakin percaya dirinya kelompok kepentingan di lingkaran presiden yang mencoba memaksakan kondisi itu.
Sementara peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro berpandangan, ketidaktegasan Jokowi seolah menguatkan dugaan sejumlah pihak bahwa isu penundaan pemilu datang dari lingkar istana Presiden.
Sumber : Kompas [“Testing the Water” ala Jokowi soal Wacana Penundaan Pemilu...]
Ketidaktegasan sikap Presiden Jokowi tersebut tentu membuat publik bertanya-tanya, mengapa Jokowi tidak bisa tegas menyikapi wacana penundaan pemilu ini. Apakah sikap tunduk pada konstitusi oleh Jokowi ini berlaku pula jika pada akhirnya terjadi amandemen UUD 45 yang mengatur soal masa jabatan presiden? Apakah sebenarnya Jokowi benar-benar ingin masa jabatannya diperpanjang?
Ataukah standar ganda yang diterapkan presiden adalah caranya untuk mengetahui siapa musuh dalam selimut alias serigala berbulu domba di antara orang-orang dekatnya?
Saya pernah membaca suatu artikel tentang cara mendeteksi sosok serigala berbulu domba. Salah satu caranya adalah biarkan ia membicarakan lebih banyak hal tentang dirinya sendiri. Cara ini tentu bisa dibilang unik. Sebab serigala berbulu domba biasanya enggan membicarakan banyak hal tentang dirinya karena ia menyembunyikan banyak kebohongan dan kepalsuan sehingga sulit untuk bercerita dengan lancar.
Artinya, sikap melunak Jokowi adalah untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berupaya menampar dan menjerumuskannya sehingga bisa mencitrakan seorang Presiden Jokowi sebagai sosok yang anti demokrasi konstitusional.
Kebenaran pun akhirnya terkuak. Lunaknya presiden memunculkan beberapa nama yang menginginkan jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
Majalah Tempo Edisi 7-13 Maret 2022 memaparkan bahwa sebelum wacana perpanjangan masa jabatan Presiden bergulir, Cak Imin (Ketum PKB), Airlangga Hartarto (Ketum Golkar), dan Zulkifli Hasan (Ketum PAN) dipanggil secara terpisah oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut mereka, Luhut meminta ketua umum partai menyuarakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan penundaan Pemilu 2024.
Itulah mengapa, seusai pertemuan itu, Airlangga Hartarto dan orang-orang dekatnya merancang skenario untuk menggulirkan penambahan masa jabatan presiden secara tidak langsung. Caranya, mengatur pertemuan dengan para petani sawit yang akan mengusulkan perpanjangan perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Selain itu, dua narasumber Tempo yang mengetahui skenario perpanjangan masa jabatan presiden bercerita, orang dekat Jokowi, Andi Widjajanto, juga terlibat dalam pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden. Andi sendiri merupakan Sekretaris Kabinet pada periode pertama pemerintahan Jokowi yang kini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).
Narasumber yang sama bercerita, Andi melalui lembaga yang dibentuknya, Laboratorium 45 atau Lab45, membuat kajian soal amandemen konstitusi dan masa jabatan kepala pemerintahan. Juga analisis perbincangan di media sosial yang mendukung atau menolak wacana masa jabatan presiden maksimal tiga periode.
Menurut keduanya, Andi juga menyusun tida skenario untuk menambah masa jabatan presiden. Skenario terbaik adalah mengamandemen konstitusi untuk mengubah pasal masa jabatan presiden.
Sumber : Tempo [Tiga Skenario Untuk Lurah]
Namun skenario untuk perpanjangan masa jabatan presiden baik lewat wacana 3 periode Jokowi maupun wacana penundaan pemilu dikandaskan oleh demokrasi. Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan mayoritas masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Survei yang dilaksanakan pada 25 Februari 2022 hingga 1 Mret 2022 tersebut menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menolak usulan ini, baik karena alasan ekonomi, pandemi, atau pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Sebanyak 70,7 persen responden tidak setuju memperpanjang masa jabatan presiden karena pandemi. Mayoritas responden lebih setuju Jokowi mengakhiri masa jabatannya pada 2024, meski pandemi belum berakhir. Kemudian, sebanyak 74,3 persen responden menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda Pemilu 2024 dengan alasan memulihkan ekonomi yang terpuruk. Terkahir, 75,5 persen responden menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu 2024 karena alasan harus memastikan pembangunan IKN Nusantara.
Terpisah, Lembaga Survei Nasional (LSN) mengungkapkan sebanyak 68,1 persen tidak setuju terhadap usulan penundaan Pemilu 2024 sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden. Direktur Eksekutif LSN, Gema Nusantara Bakry mengatakan temuan ini menarik. Sebab, 70,4 persen dari responden mengaku puas dengan kinerja Presiden Jokowi.
Artinya, meskipun rakyat puas dengan kinerja Presiden Jokowi, namun bukan berarti mereka mendukung perpanjangan masa jabatannya.
Sumber : CNN Indonesia [2 Survei Ungkap Mayoritas Publik Tolak Penundaan Pemilu 2024]
Atas dasar itu pula mungkin saja Golkar yang awalnya mendukung rencana perpanjangan masa jabatan presiden akhirnya menolak wacana tersebut. Berdasarkan informasi yang beredar, Golkar telah menggelar rapat terbatas pada 2 Maret 2022 lalu. Hasilnya, Golkar menolak penundaan Pemilu 2024 dan dikabarkan akan memperkuat koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS.
Sumber : Warta Ekonomi [Sempat Dukung Perpanjangan Jabatan Presiden, Golkar Diam-Diam “Membelot”]
Meskipun begitu, sikap yang sama tidak tercermin pada partai Islam NU (PKB dan PPP).
Anggota Komisi I DPR dari fraksi PPP Syaifullah Tamliha mengklaim partainya yang juga sebagai anggota koalisi belum pernah diajak duskusi Presiden Jokowi terkait penundaan pemilu. Namun Syaifullah mengklaim partainya tidak alergi terkait usulan pimpinan partai koalisi sebelumnya yang menyuarakan penundaan pemilu.
Bukankah ini menunjukkan bahwa PPP merasa seolah-olah Presiden Jokowi menyetujui wacana penundaan pemilu tersebut?
Sumber : Merdeka [PPP Klaim Belum Pernah Diajak Jokowi Diskusi Soal Penundaan Pemilu 2024]
Pernyataan yang lebih frontal datang dari kubu PKB. Wasekjen DPP PKB, Luqman Hakim, berharap para tokoh hingga elit partai segera menggelar forum satu meja untuk mengumumkan bahwa Pemilu 2024 tetap diselenggarakan pada 14 Februari 2024.
Luqman bilang, presiden merupakan kekuatan paling dominan dalam sistem pemerintahan presidensial yang sifatnya presidensialisme multipartai karena memiliki kekuatan yang dapat menundukkan parpol pendukungnya.
Menurutnya, tidak ada satu parpol di koalisi pendukung Jokowi-Maruf yang bisa menolak jika Jokowi telah mengambil keputusan terkait wacana penundaan Pemilu 2024.
Sumber : CNN Indonesia [PKB Dorong Jokowi Umumkan ke Publik Pemilu Tetap 14 Februari 2024]
Bukankah ini menandakan bahwa PKB menantang Presiden Jokowi untuk memutuskan jadi tidaknya penundaan pemilu? Bukankah mayoritas publik sudah menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden? Bukankah mayoritas publik tak inginkan Pemilu 2024 ditunda? Mengapa harus dilakukan pertemuan lagi? Apakah PKB memiliki kunci yang dapat membuat presiden memutuskan untuk menunda pemilu 2024?
Masih kurang bukti bahwa PKB lah yang tetap menginginkan Pemilu 2024 ditunda meski mayoritas masyarakat dan parpol menentangnya?
Pada 7 Maret 2022, Cak Imin menyatakan bahwa ia meyakini Presiden Jokowi bakal menyetujui usulan penundaan Pemilu 2024, apabila semua partai politik kompak menyuarakan hal yang sama.
Di sini kita bisa lihat bahwa Cak Imin tengah menggalang soliditas parpol di senayan dalam mendorong perubahan konstitusi Pemilu, untuk nantinya presiden terpaksa menyetujuinya bukan?
Sumber : Tribunnews [Usul Pemilu 2024 Ditunda, Muhaimin Iskandar: Kalau Partai Kompak, Jokowi Pasti Setuju]
Tapi pertanyaannya, apa yang membuat Blok Wakil Presiden (NU Tradisional – PKB – PPP – MUI) tersebut sangat yakin bahwa pada akhirnya presiden akan menunda pemilu? Padahal hasil-hasil survei papan atas telah menyimpulkan bahwa responden survei hari ini menolak penundaan Pemilu 2024. Padahal penundaan pemilu belum memiliki faktor ekonomi yang menjadi pondasi politik untuk mendorong penundaan Pemilu 2024. Apalagi pondasi wacana yang dibangun Cak Imin dalam mendorong penundaan pemilu sebelumnya adalah keterbatasan ekonomi imbas 2 tahun pandemi.
Dengan demikian, cipta kondisi turbulensi keonomi dibutuhkan untuk menjadi alasan politis bagi upaya Cak Imin menggalang soliditas parpol di senayan dalam rangka mendorong perubahan konstitusi Pemilu 2024.
Pucuk dicita ulam tiba, kunci dari turbulansi ekonomi terletak pada Perang Rusia-Ukraina. Konflik tersebut menyebabkan AS dan negara-negara barat lain menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi tersebut menghambat ekspor minyak dan gas dari Rusia. Padahal, Rusia merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di dunia.
Analis Minyak Utama di Kpler Matt Smith mengatakan AS memang tidak banyak mengimpor minyak dari Rusia. Namun, larangan ekspor jelas akan mengurangi pasokan. Senada, Analis di Konsultan Rystad Energy menyebut larangan impor dari Rusia dapat membuat harga minyak global naik hingga US$200 per barel.
Akibatnya sudah terlihat pada 9 Maret 2022, di mana minyak mentah berjangka Brent naik sebesar 3,9 persen. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik sebesar 3,6 persen. Harga minyak sendiri telah melonjak lebih dari 30 persen sejak Rusia menginvasi Ukraina.
Sumber : CNN Indonesia [Harga Minyak Dunia Tembus US$133 usai AS Larang Impor dari Rusia]
Kelangkaan minyak bumi tentu akan menyebabkan permintaan akan sumber energi alternatif lainnya meningkat, bukan? Maka meningkatlah industri Bio Diesel / CPO Dunia untuk mengisi kekosongan dari hilangnya pasokan minyak Rusia.
Hal ini menyebabkan, posisi tawar Produsen CPO dalam negeri menguat untuk memacu kekosongan suplai Bio Diesel global. Sementara CPO juga digunakan untuk menyuplai minyak goreng. Hasilnya akan terjadi kelangkaan minyak goreng yang lebih dalam padahal saat ini pun minyak goreng tengah langka di pasaran.
Meski saat ini Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai kelangkaan minyak goreng di pasaran bukan akibat program biodiesel (B30) yang dicanangkan pemerintah, tapi bukankah kenaikan minyak dunia cepat atau lambat akan menyebabkan pebisnis CPO memilih memproduksi bio diesel ketimbang migor karena keuntungan yang lebih besar? Logika bisnis.
Sumber : Liputan 6 [Minyak Goreng Langka, Dampak Program B30?]
Kelangkaan minyak goreng pada akhirnya akan berujung juga pada kenaikan harga sembako. Tengok saja di pasaran. Akibat kelangkaan migor akhir-akhir ini, terjadi pula kenaikan harga kedelai hingga daging sapi. Sekarang saja sudah naik harganya, bagaimana ketika Bulan Ramadhan nanti di mana permintaan akan bahan pokok selalu meningkat?
Sumber : SindoNews [Mentan Pastikan Stok Bahan Pokok Cukup hingga Ramadhan dan Idul Fitri, Harganya?]
Inilah yang menjadi kunci bagi blok Wakil Presiden untuk memaksa presiden menunda pemilu. Faktor ekonomi yang dibutuhkan untuk menjadi dorongan politis bagi upaya Cak Imin menggalang soliditas parpol di Senayan.
Belum lagi ada kritik dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis kepada presiden soal stigma radikal pada penceramah yang mengkritik pemerintah pada 8 Maret 2022 lalu.
Bukankah pernyataan presiden soal penceramah radikal ini bisa dikembangkan pihak NU tradisional untuk menciptakan resistensi penceramah Islam tradisional di berbagai daerah, khususnya pada daerah yang terdampak kelangkaan sembako dan kenaikan harga sembako di tengah Ramadhan?
Sumber : SindoNews [MUI Ingatkan Pemerintah Tidak Cap Penceramah Radikal karena Kritik Pemerintah]
Kedua situasi tersebut, kelangkaan sembako dan stigma radikal penceramah dapat dijadikan bahan bakar untuk menciptakan kondisi ceramah ekonomi politik di bulan Ramadhan yang akan mengkritik pemerintah dan presiden dari segala aspek secara multidimensi.
Seandainya situasi ini terjadi, maka posisi Blok Politik Wakil Presiden yang kali ini kalah angin karena tidak mendapatkan dukungan rakyat maupun parpol koalisi untuk melakukan penundaan pemilu akan berubah 180 derajat karena ada faktor ekonomi yang menjadi dasar politik untuk penundaannya.
Apakah skenario politik memanfaatkan rakyat ini kejam? Benar, tapi sepertinya itulah cara politik pragmatis yang dipilih NU Tradisional – PKB – PPP – MUI demi mencapai puncak nafsu politiknya. Asik buat mereka gak asik buat yang lain.
Diubah oleh NegaraTerbaru 10-03-2022 18:14






alanreihan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.6K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan