Pembahasan kali ini harus dengan pemikiran terbuka jangan sempit, nanti apa yang ingin disampaikan malah tidak dapat nilainya. Apalagi sampai mengkaitkan TS dengan kelompok-kelompok tertentu, terlalu dangkal bila seperti itu karena kelompok-kelompok ekslusif seperti itu juga ada sejarahnya sendiri, kenapa mereka bisa terbentuk!

Hal itu banyak disebabkan oleh pemikiran manusia, yang senang saling bertolak belakang dengan pemikiran manusia yang lain. Tapi kita tak akan membicarakan kelompok-kelompok tersebut, tapi membahas tentang sejarah bid'ah.

Bid'ah itu seringkali menjadi perdebatan kaum muslimin, banyak orang ribut dan saling bertengkar karena bid'ah ini. Bid'ah sendiri bisa dibilang inovasi dalam ibadah, inovasi dalam beragama.



Berdasarkan teks yang valid memang Nabi Muhammad melarang inovasi dalam ibadah,



Namun ada yang mengatakan tidak sepenuhnya bid'ah itu haram dan jelek, ada juga bid'ah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Yang disebut bid'ah hasanah, lalu siapa orang pertama yang memunculkan istilah ini? Yaitu, Umar bin Khattab.

Kalau kita membaca sejarah Umar, pemikirannya memang out of the box pada zaman itu. Salah satu ide recommendednya adalah tentang ayat hijab, maqam Ibrahim, ayat miras. Dan yang tak kalah nyentriknya adalah modifikasi shalat tarawih. Hingga ia dianggap pionir bid’ah hasanah di eranya.



Memang banyak bid'ah yang dilakukan oleh Umar, seperti penambahan lafal azan pada shalat subuh. Mengharamkan lelaki muslim menikahi non muslim dan lain sebagainya.

Umar bin Khattab, nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab Ibn Nufail Ibn Abd al-'Uzza Ibn Riyah Ibn Qurth Ibn Razah Ibn 'Adiy Ibn Lu'aiy al-Qurasyiy al-'adawiy. Yang lahir dari keluarga cukup terpandang, sekitar 594 masehi.

Umar sendiri adalah sosok yang idealis dan keras, termasuk penentang agama Islam yang paling luar biasa. Namun ada sebuah kejadian yang supranatural, maka Umar kemudian masuk Islam.

Di saat itu maka dakwah Islam menghadapi babak yang baru, dimana dengan adanya Umar, maka penyiksaan dan penganiayaan kepada pengikut Nabi Muhammad menurun drastis.



Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah dari tahun 634 sampai 644 Masehi, disini peradaban Islam menjadi lebih maju dari sebelumnya. Bisa dikatakan Umar salah satu orang yang berpengaruh dan berjasa dalam sejarah penyebaran agama Islam setelah Nabi Muhammad.

Namun Umar juga sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariah, seperti membatalkan, menangguhkan atau mengubah, dan menciptakan syariah baru. Itjihad memang lekat pada diri Umar.

Sebenarnya Umar tidak merubah dan merusak syariah, namun zaman yang berubah membuat syariah yang lama tidak bisa dipakai di era masa Umar memerintah. Dalam bahasa fiqih belakangan kita mengenal metodologi itjihad ini dikenal dengan konsep yang disebut sebagai Maqashid Syariah, yang dikemukakan oleh seorang ulama bernama Asy-Syatibi. 



Jadi kita mengetahui maksud dari tujuan syariah itu apa, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat”. Nah ketika maksud dari syariah itu hilang, maka syariah yang dimaksud itu harus diperbincangkan.

Contoh, Nabi menganjurkan banyak anak,



Tapi, kondisi sekarang MUI sekalipun mendukung program Keluarga Berencana, apakah MUI melanggar syariah? Tentu tidak ini yang dinamakan Maqashid Syariah.



Hal ini dikarenakan pada waktu era dahulu, jumlah penduduk yang banyak sangat dibutuhkan karena berbagai hal. Namun sekarang, syariat itu tidak lagi berlaku, karena maksud dan tujuannya tidak ada lagi di zaman sekarang. Maka syariat itu pun diperbincangkan dan dimunculkan itjihad yang baru.

Contoh yang lain dalam hukum Islam pencuri itu dihukum potong tangan, namun dalam prakteknya pencuri yang melakukan hal itu karena terpaksa, maka hukuman itu dapat di tolerir.

Jadi ketika mengambil hukum, para ulama, khalifah dan pembesar Islam tidak mengambil pada satu dalil saja. Bagi yang mengikuti jejak umar metodenya semuanya diambil, kemudian diputuskan menjadi hukum Islam yang holistik.



Maka Umar disaat itu lebih fokus untuk mensejahterakan rakyat, maka sejak saat itu dibuatlah baitul mal untuk kas negara. Karena syariat Islam itu kalau ingin tegak, harus sejahtera rakyatnya dahulu. Karena kalau rakyat tidak sejahtera maka hukum-hukum itu akan dibatasi atau bisa saja dibatalkan karena hal yang darurat.

Metode ini memang cukup berbeda ketika era zaman Nabi Muhammad, dimana beliau fokus kepada pendidikan. Lembaga pendidikan pada masa Nabi SAW itu, pertama, Dar al-Arqam. Rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam al-Makhzumi, yang awalnya pendidikan lebih difokuskan pada materi baca-tulis sastra, syair arab, dan pembelajaran berhitung, kemudian ditambah dengan materi baca-tulis Alquran dan memahami hukum-hukum Islam.

Kemudian setelah Islam berkembang, sistem pendidikan dilaksanakan di dalam masjid disebut dengan halaqah, di mana para sahabat Nabi SAW duduk mengelilinginya untuk mendengar dan melakukan tanya jawab seputar urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Barulah dibuat Suffah yang merupakan ruang atau bangunan yang bersambung dengan masjid. Suffah dapat dilihat sebagai sebuah sekolah karena kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan secara teratur dan sistematik.



Sedangkan dimasa Umar ketika pendidikan umat sudah stabil, langkah selanjutnya adalah kesejahteraan rakyat.

Sedangkan zaman sekarang fokusnya lebih ke hal-hal yang dasar, kesejahteraan umat Islam nomor sekian yang difokuskan lebih banyak ke masalah seperti Jilbab, Isbal dan lainnya hasilnya terlihat banyak umat Islam miskin dimana-mana. Karena korupsi, kesejahteraan rakyat, kesenjangan sosial banyak diabaikan, yang penting hijab, isbal, jenggot panjang nomor wahid yang harus didahulukan.

Dari sini Umar bisa dibilang sebagai pendiri ilmu fiqih,



Di Abu Hanifah muncul rumusan pertama ilmu Fiqih, dimana jalur ilmu itu berawal dari Umar bin Khattab. Abu Hanifah adalah ulama pertama yang mengkodifikasikan ilmu Syariah dan disusun sistematis berdasarkan bab-bab. Kemudian diikuti Malik bin Anas dengan menyusun Al Muwattha’. Belum ada ulama yang mendahului Abu Hanifah dalam hal ini. Sebab sahabat dan tabiin belum pernah menyusun ilmu Syariah berdasarkan bab-bab atau dalam buku yang sistematis. Mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan.

Di Abu Hanifah, dalil itu harus dipahami latar belakang munculnya, bagaimana penempatannya, hubungannya dengan dalil yang lain dan sebagainya jadi rumit sekali. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Syafi’i dengan ilmu Ushul Fiqih.

Jadi yang memunculkan perdebatan dimasa sekarang, ketika kita mengambil satu dalil, lalu orang lain mengambil dalil yang lain lalu dibenturkan antara dalil, karena tidak mengamalkan ilmu fiqih. Kalau saja melihat dalil secara holistik tentu perdebatan itu tidak terjadi.

Jadi kalau berfikir Maqashid Syariah, berfikir sebab akibat dari syariah, maka tidak ada lagi saling tunjuk itu bid'ah ini bid'ah.



Lalu bagaimana dengan tahlilan? Apa itu bid'ah hasanah? Kalau di zaman walisongo ya sangat relevan karena tradisi upacara yang kurang manusiawi, yang dirubah oleh walisongo sedikit demi sedikit dimana mantra-mantranya diganti dengan bacaan Qur'an, yang dinamakan tradisi tahlilan.

Kalau zaman sekarang, tentu sudah tidak relevan. Karena tidak manusiawi, bayangkan orang meninggal terkena musibah, malah disuruh traktir tetangganya selama sehari, seminggu, dan bilangan lainnya. Jadi bisa dibilang itu tidak manusiawi, jadi pendekatannya bukan syariah lagi tapi lebih luas dari itu. Dimana kita itu tidak boleh menyakiti sesama mahluk hidup.

Terima kasih yang sudah membaca thread ini sampai akhir, bila ada kritik silahkan disampaikan dan semoga thread ini bermanfaat, tetap sehat dan merdeka. See u next thread.





"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2022
referensi : klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik
Pic : google