Menag Yaqut terkait Toa Masjid, 40 Tahun Lalu Gus Dur Menyebutnya Begini, Temukan Rahasianya
BERITA BANTUL - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Surat tersebut ditandatangani Menag Yaqut pada Jumat, 18 Februari 2022.
Surat Edaran itu menjadi perbincangan ramai waganet, bahkan menempati posisi trending, karena terkait pernyataan adzan dan suara anjing.
Sebagaimana dikutip BeritaBantul.com dari laman NU Online, dijelaskan bahwa KH Abdurrahman Wahid,atau akrab disapa Gus Dur, pernah menuliskan tentang pengeras suara masjid pada 20 Februari 1982.
Tahun 2022 ini, tulisan Gus Dur sudah 40 tahun.
Gus Dur memberikan refleksi dan uraian kritis terkait pengeras suara masjid yang diberi tajuk 'Islam Kaset dan Kebisingannya'.
Bagaimana uraian Gus Dur terkait Islam Kaset tersebut? Simak berikut ini secara tuntas.
Quote:
Islam Kaset dan Kebisingannya
Suara bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.
Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja.
Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.
Tetapi ternyata ada “persembahan” berirama, yang menampilkan suara lantang.
Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.
Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin.
Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga?
Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan(nahi munkar)?
Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu.
Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan.
Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang.
Perintah agama justru menjadi motifnya. Apa lagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi bagaimanapun harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal, mempersoalkan hal itu se benarnya juga menyangkut masalah agama sendiri.
Mengapa diganggu?
Ada kiai yang menotok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya.
Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?
Tetapi ‘illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak.
Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil baligh (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i).
Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali “kebijaksanaan” suara lantang di tengah malam — apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Al Quran yang berkepanjangan.
Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.
20 Februari 1982.
Demikian yang ditulis Gus Dur pada tahun 1982 dan bisa jadi refleksi buat kapan saja.***
Gus dur emang keren
Gitu aja kok repot
Komeng agan
Quote:
Original Posted By vaantw88►
dari video itu kesimpulannya posisi toa harus tinggi biar ga bising. efek orang kena suara 100dB dalam 15 menit bakal budek instan. kalau orang kena suara 100dB selama bertahun2, akan menurunkan kemampuan indra pendengarannya. lebih bagus kalau menag ga hanya buat aturan, tapi kasih solusinya seperti di video tersebut.
ane non muslim, dekat rumah ane ada masjid cukup besar. toanya keras banget, bahkan bisa sampe berjam2. beberapa tahun lalu malah lebih parah, pas bulan puasa toa keras banget dari jam 10 malam sampe jam 3 subuh baru berhenti & lanjut lagi jam 4 subuh. ane tanya teman kantor yg muslim, semua jawabnya sama itu ngawur banget & ga boleh toa disetel terus2an.
Quote:
Original Posted By L0ST►mw itu toa masjid, lagu gereja, tetangga dangdutan, suara ueue tetangga kosan,dll kalau terlalu keras yah emang bikin polusi suara