- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sepotong Kebahagiaan Terakhir


TS
albyabby91
Sepotong Kebahagiaan Terakhir
Sepotong Kebahagiaan Terakhir

Aku memegang bungkus racun tikus dengan tangan gemetar. Empat gelas berisi teh tanpa gula itu masih teronggok di atas meja. Ragu, bila salah satu diantara kami akan ada yang selamat nanti.
Aku tak bisa terus ragu. Aku tak boleh terus mencari alasan. Hari ini, siap tidak siap, kami berempat harus minum semua. Tak bisa lagi ditunda, atau kedua anakku akan menjadi pekerja angkat sawit selama tiga puluh tahun tanpa di gaji, dan anak gadisku yang baru beranjak enam belas tahun ini, akan bekerja di warung remang-remang milik pak Andi, pemilik sepuluh hektar sawit dengan tiga istri itu. Warung remang-remang yang di ciptakan untuk menghibur para pekerja sawitnya. Sudah menjadi rahasia umum, akan menjadi seperti apa masa depan Lela anak gadisku.
Aku menangis saat menatap air berwarna cokelat itu. Tak pernah terbayangkan, aku sendiri yang akan menghentikan perjalanan panjang yang menanti anak-anakku. Perjalanan yang selalu ku hayalkan indah.
Semua karena si Agus, pria pengangguran yang hobi berjudi, doyan selingkuh, dan sialnya dia adalah suamiku. Kupikir, meninggalnya pria itu bisa mengangkat bebanku. Tak kusangka, dia menitipkan beban dan masalah ke pundakku. Untuk apa dia pinjam uang sampai tiga ratus juta ? Anehnya lagi, pak Andi tetap berani memberikan uang itu meski tahu Agus tak akan mungkin mampu membayarnya. Apa mungkin perjanjian awalnya dia akan menggadaikan anaknya?. Luar biasa pria titisan iblis itu. Kematiannya membuatku tak punya pilihan selain menyusulnya ke alam baka.
"Ibu, ayo makan. Kami semua nungguin Bu, aku mau makan ayamnya" Anak laki-laki ku yang baru berusia tujuh tahun itu menatapku dari balik bilik kayu yang mulai bolong karena termakan rayap. Aku terus menatapnya lama. Aku tak bisa menjawab apalagi melangkah, mendekat. Akhirnya Didi pun kembali ke ruang depan sambil bernyanyi sesuatu yang tak bisa lagi terdengar.
"Ibu ayo, Laras bantuin bawa teh nya Bu!" Aku menahan tangannya yang sudah menyentuh gelas yang sudah tercemar itu. Dekatnya jarak di antara kami, membuat air yang tersembunyi akhirnya berhasil melarikan diri. Aku mulai menangis dan dadaku terasa sesak. Beban berat yang kutahan satu minggu tak lagi bisa ku pikul sendiri. Akupun tak lagi bisa melarikan diri. Pak Andi menyuruh orang untuk menjaga rumahku, mengikuti setiap langkah kakiku dan semua anak-anakku. Aku terjebak, hari ini kulakukan atau besok, mereka akan di seret paksa, masuk ke hutan sawit lalu tak akan kembali lagi.
"Ibu, Ibu kenapa, ingat Bapak kah, Bu?" ucap anakku Bayu. Meski baru berumur dua belas tahun, Bayu cukup perhatian padaku. Kuhabiskan air mataku hingga tetes terakhir. Kubukatkan tekadku lagi. Aku berdiri dengan di bantu ketiga anakku. Menatap sorot mata mereka satu per satu, membuatku di dekap rasa bersalah. Aku tahu caraku salah tapi aku tak punya pilihan lagi. Ini jalan terbaik pikirku, dan harus segera ku lakukan.
Aku segera berjalan dengan nampan berisi empat gelas teh. Minuman terakhir yang bisa kusuguhkan kepada mereka. Minuman 'terbaik' yang bisa kuberikan untuk masa depannya.
"Ibu, aku mau minum. Kenapa air putih dan tehnya di taruh di belakang ibu?" ujar Yogi anak terakhirku.
"Nanti kita minum sama-sama yaa".
Aku memperhatikan mereka makan dengan cepat dan lahap meski hanya berlaukkan daun singkong yang kupetik dari tanah belakang dan ayam goreng. Ayam piaraan terakhir sebagai hadiah mewah perpisahan pada dunia yang tak adil ini.
"Ibu, seret, mau minum" ucap Laras sambil memegang satu gelas teh itu.
"Habiskan dulu semua, nanti kita minum sama-sama".
Aku menekan betisku dengan kuku yang menusuk ke kulit, membuat perih yang kuharap bisa menjadi pengalihan tangis yang tak bisa lagi kutahan. Ku tancapkan kuku lebih dalam lagi agar semua pikiranku teralihkan. Aku tak mau menangis. Aku ingin menikmati wajah bahagia mereka saat menikmati gigitan demi gigitan ayam terakhir.
"Minumnya, sayang Ibu semua" Aku memberi mereka satu persatu, menatap mereka dengan tangisan pilu, memastikan mereka pergi dengan senyum. Tak berapa lama, dunia kulihat mulai menghitam. Tatapku buram, semakin buram, dan kami semua ambruk.
"Terima kasih dunia, untuk warna hitam yang kau penuhi dalam hidupku" ucapku lirih sebelum nafas terakhir akhirnya kuhembus.
-====-

Aku memegang bungkus racun tikus dengan tangan gemetar. Empat gelas berisi teh tanpa gula itu masih teronggok di atas meja. Ragu, bila salah satu diantara kami akan ada yang selamat nanti.
Aku tak bisa terus ragu. Aku tak boleh terus mencari alasan. Hari ini, siap tidak siap, kami berempat harus minum semua. Tak bisa lagi ditunda, atau kedua anakku akan menjadi pekerja angkat sawit selama tiga puluh tahun tanpa di gaji, dan anak gadisku yang baru beranjak enam belas tahun ini, akan bekerja di warung remang-remang milik pak Andi, pemilik sepuluh hektar sawit dengan tiga istri itu. Warung remang-remang yang di ciptakan untuk menghibur para pekerja sawitnya. Sudah menjadi rahasia umum, akan menjadi seperti apa masa depan Lela anak gadisku.
Aku menangis saat menatap air berwarna cokelat itu. Tak pernah terbayangkan, aku sendiri yang akan menghentikan perjalanan panjang yang menanti anak-anakku. Perjalanan yang selalu ku hayalkan indah.
Semua karena si Agus, pria pengangguran yang hobi berjudi, doyan selingkuh, dan sialnya dia adalah suamiku. Kupikir, meninggalnya pria itu bisa mengangkat bebanku. Tak kusangka, dia menitipkan beban dan masalah ke pundakku. Untuk apa dia pinjam uang sampai tiga ratus juta ? Anehnya lagi, pak Andi tetap berani memberikan uang itu meski tahu Agus tak akan mungkin mampu membayarnya. Apa mungkin perjanjian awalnya dia akan menggadaikan anaknya?. Luar biasa pria titisan iblis itu. Kematiannya membuatku tak punya pilihan selain menyusulnya ke alam baka.
"Ibu, ayo makan. Kami semua nungguin Bu, aku mau makan ayamnya" Anak laki-laki ku yang baru berusia tujuh tahun itu menatapku dari balik bilik kayu yang mulai bolong karena termakan rayap. Aku terus menatapnya lama. Aku tak bisa menjawab apalagi melangkah, mendekat. Akhirnya Didi pun kembali ke ruang depan sambil bernyanyi sesuatu yang tak bisa lagi terdengar.
"Ibu ayo, Laras bantuin bawa teh nya Bu!" Aku menahan tangannya yang sudah menyentuh gelas yang sudah tercemar itu. Dekatnya jarak di antara kami, membuat air yang tersembunyi akhirnya berhasil melarikan diri. Aku mulai menangis dan dadaku terasa sesak. Beban berat yang kutahan satu minggu tak lagi bisa ku pikul sendiri. Akupun tak lagi bisa melarikan diri. Pak Andi menyuruh orang untuk menjaga rumahku, mengikuti setiap langkah kakiku dan semua anak-anakku. Aku terjebak, hari ini kulakukan atau besok, mereka akan di seret paksa, masuk ke hutan sawit lalu tak akan kembali lagi.
"Ibu, Ibu kenapa, ingat Bapak kah, Bu?" ucap anakku Bayu. Meski baru berumur dua belas tahun, Bayu cukup perhatian padaku. Kuhabiskan air mataku hingga tetes terakhir. Kubukatkan tekadku lagi. Aku berdiri dengan di bantu ketiga anakku. Menatap sorot mata mereka satu per satu, membuatku di dekap rasa bersalah. Aku tahu caraku salah tapi aku tak punya pilihan lagi. Ini jalan terbaik pikirku, dan harus segera ku lakukan.
Aku segera berjalan dengan nampan berisi empat gelas teh. Minuman terakhir yang bisa kusuguhkan kepada mereka. Minuman 'terbaik' yang bisa kuberikan untuk masa depannya.
"Ibu, aku mau minum. Kenapa air putih dan tehnya di taruh di belakang ibu?" ujar Yogi anak terakhirku.
"Nanti kita minum sama-sama yaa".
Aku memperhatikan mereka makan dengan cepat dan lahap meski hanya berlaukkan daun singkong yang kupetik dari tanah belakang dan ayam goreng. Ayam piaraan terakhir sebagai hadiah mewah perpisahan pada dunia yang tak adil ini.
"Ibu, seret, mau minum" ucap Laras sambil memegang satu gelas teh itu.
"Habiskan dulu semua, nanti kita minum sama-sama".
Aku menekan betisku dengan kuku yang menusuk ke kulit, membuat perih yang kuharap bisa menjadi pengalihan tangis yang tak bisa lagi kutahan. Ku tancapkan kuku lebih dalam lagi agar semua pikiranku teralihkan. Aku tak mau menangis. Aku ingin menikmati wajah bahagia mereka saat menikmati gigitan demi gigitan ayam terakhir.
"Minumnya, sayang Ibu semua" Aku memberi mereka satu persatu, menatap mereka dengan tangisan pilu, memastikan mereka pergi dengan senyum. Tak berapa lama, dunia kulihat mulai menghitam. Tatapku buram, semakin buram, dan kami semua ambruk.
"Terima kasih dunia, untuk warna hitam yang kau penuhi dalam hidupku" ucapku lirih sebelum nafas terakhir akhirnya kuhembus.
-====-






bian.hazzi588 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.1K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan