bajer.dinar212Avatar border
TS
bajer.dinar212
Nasib Miris Gelandangan di Jakarta Selama Pandemi Disorot Media Singapura

Konten Sensitif


Media berbahasa Inggris yang berbasis di Singapura, Channel NewsAsia (CNA) baru-baru ini membuat berita yang menyoroti nasib sejumlah gelandangan atau tunawisma di Jakarta saat hidup di tengah pandemi Covid-19.

Pada Minggu (20/2/2022), CNA menerbitkan artikel berjudul “For the homeless in Jakarta, Covid-19 means more economic desperation and health risks” di situs web mereka.

Dalam artikel tersebut, mulanya diceritakan bahwa sudah berhari-hari seorang gelandangan bernama Dede tidak enak badan. Tenggorokanya terasa kering dan sakit, batuknya tak kunjung berhenti, dan otot-ototnya nyeri.



Dede juga mengalami demam pada malam sebelumnya.

Disebutkan bahwa, ini adalah kali kedua Dede, seorang lansia yang rutin tidur di jalanan Jakarta selama tiga dekade terakhir, menunjukkan tanda-tanda infeksi Covid-19.

Meski tinggal hanya beberapa ratus meter dari fasilitas drive thru tes Covid-19, Dede enggan untuk dites.

Pasalnya, biaya rapid test atigen besarnya tiga kali lipat dari penghasilannya setiap hari dari mengumpulkan botol plastik kosong yang mengotori trotoar atau terdampar di tepi sungai terdekat yang dia jual ke pendaur ulang.

“Jika saya menghabiskan uang saya untuk tes, apa yang akan saya makan?” kata Dede, yang hanya bersedia menyebutkan nama depannya, kepada CNA.

“Bahkan jika saya dites positif, ke mana saya akan pergi? Jika saya dalam isolasi, bagaimana saya bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan?” tambah Dede saat diwawancara di depan sebuah gedung kosong berlantai tiga tempat dia suka tidur di malam hari.

CNA menulis pandemi Covid-19 telah memukul ribuan orang yang tinggal di jalanan Jakarta dengan keras.

Banyak dari para gelandangan telah melihat penghasilan kecil mereka menyusut karena pandemi. Mereka yang mengamen dan mengemis telah melihat jumlah orang yang bersedia menyelamatkan mereka menurun drastis, karena warga Jakarta didorong untuk tinggal di rumah untuk mengekang penyebaran virus.

Pada saat yang sama, lebih banyak yang kehilangan tempat tinggal karena kehilangan mata pencaharian.

Diungkap CNA, Pakar kesehatan masyarakat telah mengatakan bahwa para tunawisma lebih rentan terinfeksi Covid-19 karena mereka tinggal di daerah padat dengan kebersihan dan sanitasi yang buruk.

Mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka terkena unsur-unsur yang bisa menularkan Covid-19 dan kadang-kadang kekurangan gizi yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh mereka. Akses ke vaksin juga menjadi masalah.

Badan-badan sosial sendiri telah meningkatkan upaya mereka untuk membantu kelompok orang ini tetapi mereka menghadapi berbagai tantangan termasuk ketidakpercayaan dan kurangnya kesadaran publik.

Menurut angka-angka yang dikumpulkan oleh Dinas Sosial Jakarta, jumlah orang dengan masalah kesejahteraan sosial ini terus meningkat.

Di Jakarta Pusat, misalnya, Dinas Sosial di wilayah tersebut melaporkan bahwa ada 256 orang yang hidup di jalanan pada 2020. Pada September 2021, jumlahnya naik menjadi 1.377.

Namun, para aktivis mengatakan bahwa angka tersebut hanyalah puncak gunung es karena Dinas Sosial tersebut hanya mencatat mereka yang ditemukan berkeliaran dan dibawa ke tempat penampungan yang dikelola pemerintah.

Para aktivis mengatakan bahwa mayoritas dari mereka yang kehilangan tempat tinggal di ibu kota tetap tidak terdeteksi.

Dengan pandemi Covid-19, uang lebih sulit diperoleh dari sebelumnya untuk kelompok pendapatan rendah.

Pada September 2019, sebelum pandemi dimulai, Indonesia memiliki 24,7 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, menurut data Badan Pusat Statistik.

Dua tahun kemudian, angka itu tumbuh menjadi 26,5 juta.

Indonesia mendefinisikan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai rumah tangga yang berpenghasilan kurang dari Rp486.000 (34 dollar AS) per bulan.

Pemulung Dede mengatakan, setiap kali pemerintah memberlakukan lockdown, uang akan semakin sulit didapat.

“Orang-orang takut memberi uang kepada kami selama pandemi. Sebelumnya, akan ada pekerja kantoran yang memberi saya makanan. Tapi sekarang, tidak ada yang datang untuk bekerja lagi. Kalau kantor kosong, kita mau makan apa?” ujarnya.

Meskipun pemerintah belum memberlakukan lockdown di tengah gelombang Omicron, banyak kantor mulai memberi tahu karyawan mereka untuk bekerja dari jarak jauh karena beban kasus meningkat secara signifikan bulan ini.

Sepanjang minggu ini, Indonesia telah mencatat sekitar 60.000 kasus baru setiap hari, sehingga total beban kasus menjadi lebih dari lima juta.

“Situasinya telah tenang baru-baru ini. Kantor-kantor kebanyakan kosong. Ini adalah perjuangan bagi saya beberapa minggu terakhir ini,” kata Dede.


Kisah Aisyah dan keluarganya yang menjadi gelandangan akibat pandemi



CNA juga menyertakan hasil wawancara dengan Walter Simbolon, seorang manajer advokasi di kelompok amal Sahabat Anak dalam artikelnya.

Di mana, Walter Simbolon, mengaku bahwa dirinya telah memperhatikan lebih banyak orang yang hidup di jalanan sejak pandemi dimulai.

“Banyak pekerja informal melihat pendapatan mereka berkurang hingga hampir nol,” katanya kepada CNA.

Sementara itu, lanjutnya, banyak pekerja formal yang di-PHK dan kini harus bekerja di sektor informal dengan berjualan tisu atau minuman di jalanan Jakarta.

“Mereka semua berjuang karena kawasan wisata ditutup dan kerumunan dihalangi dan dibubarkan oleh pihak berwenang. Sementara masyarakat tidak mau membeli karena takut (terinfeksi),” ujarnya.

Di antara mereka yang menjadi tunawisma setelah pandemi melanda negara itu adalah Aisyah dan keluarganya.

Aisyah, yang hanya bersedia mengungkapkan nama depannya, mengatakan bahwa mereka hidup tanpa atap sejak suaminya kehilangan pekerjaannya sebagai pekerja pabrik pada Juni 2020 karena perlambatan ekonomi akibat pandemi.

“Suami saya telah mencoba mencari pekerjaan lain, melakukan pekerjaan sambilan seperti menjadi pekerja konstruksi, menjadi sopir truk tetapi pekerjaan sedikit dan jarang,” kata wanita berusia 29 tahun itu kepada CNA ketika dua putranya yang masih balita bermain di tikar plastik di trotoar tertutup tanah di sebelah jalan yang sibuk.

Saat suaminya mencari pekerjaan, Aisyah menghabiskan hari-harinya mengumpulkan botol plastik bekas untuk dijual ke pendaur ulang. Aisyah tidak berani pergi jauh, memilih untuk mengambil barang-barang daur ulang dari restoran terdekat sehingga dia bisa mengawasi kedua anaknya dan barang-barang mereka.

“Saya berharap suami saya dapat segera menemukan pekerjaan yang layak sehingga kami tidak harus terus hidup seperti ini,” kata Aisyah.

Pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, menyebut bisa jadi sulit untuk bisa menghitung jumlah pasti orang yang hidup di jalanan selama pandemi.

“Dokumentasi untuk orang-orang ini sangat minim. Bahkan sebelum pandemi, kaum marginal seringkali dilupakan dan diabaikan. Pada saat yang sama, mereka juga tidak ingin mengekspos diri mereka sendiri dan tetap tidak terlihat. Makanya data mereka hampir tidak pernah valid dan reliabel,” kata dosen Universitas Trisakti Jakarta itu kepada CNA.

Namun, dia yakin, berapa pun angka sebenarnya, bisa dipastikan jumlah gelandangan atau tunawisma bertambah karena pandemi.





Konten Sensitif







Sumber :

- https://www.kompas.com/global/read/2...page=all#page2

- https://www.channelnewsasia.com/asia...access-2506681
p.a.c.o.l
Aramina
garpupatah
garpupatah dan 25 lainnya memberi reputasi
26
5.5K
132
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan