Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Anut Sunda Wiwitan, Suami Dewi Kanti Berstatus Bujang di Kantornya
Anut Sunda Wiwitan, Suami Dewi Kanti Berstatus Bujang di Kantornya

Jumat, 14 November 2014 10:36 WIB

Editor: Gusti Sawabi

Anut Sunda Wiwitan, Suami Dewi Kanti Berstatus Bujang di Kantornya

Warta Kota/Henry Lopulalan

A-A+

Komunitas Sunda Wiwitan beserta sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama yang tergabung dalam Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) menyampaikan pernyataan sikap di Tugu Proklamasi Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2014). Para tokoh masyarakat dan agama ini menyerukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi terkait perkembangan pemilihan presiden serta menjaga kerukunan dan perdamaian diantara masyarakat. (wartakota/Henry Lopulalan) 

Tribunnews.com, Kuningan — Sudah sejak lama, diskriminasi menjadi "makanan sehari-hari" penghayat Sunda Wiwitan. Berbagai urusan administrasi kerap dipersulit karena satu alasan, berbeda keyakinan.

Seorang penghayat keyakinan tersebut, Dewi Kanti Setianingsih (39), mengaku, sejak menikah 2002 silam hingga sekarang, ia dan suaminya tak memiliki akta nikah. Alasannya klasik, yaitu karena Dewi Kanti penghayat Sunda Wiwitan.

Dampak tak memiliki akta nikah ini sangat luas. Dewi Kanti tak berhak atas berbagai tunjangan, seperti tunjangan kesehatan dari kantor suaminya. Sebab, meski faktanya sudah menikah, karena tak memiliki akta nikah, sang suami tetap dianggap sebagai bujang. Perusahaan pun tak berkewajiban memberikan tunjangan istri.

Begitu pun saat nanti Dewi hamil dan melahirkan, anak yang dikandungnya tak akan mendapatkan akta kelahiran. Imbasnya ialah merembet pada kehidupan si anak pada masa depan. "Pintu masuk diskriminasi kerap datang dari administrasi sipil, seperti KTP, akta kelahiran, akta perkimpoian," ucap Dewi, belum lama ini.

Kondisi itu seperti rantai kehidupan yang akhirnya tersistematis. Ketika agama tidak dicantumkan dalam KTP, penghayat akan dipersulit dalam urusan administrasi, baik di sekolah, perbankan, maupun dalam pernikahan.

Bagi penghayat yang tidak siap dengan tekanan, mereka digiring masuk ke agama resmi. Misalnya, saat akan menikah, sebagian penghayat berbohong dengan mendaftar sebagai penganut agama yang diakui agar mendapat akta perkimpoian.

Namun, bagi mereka yang bertahan dengan keyakinan semula seperti Dewi, akta perkimpoian hanya angan-angan. Dewi mengatakan, selama ini, dalam aturan berupa SKB Menteri, UU PNPS 1965 tentang Penodaan Agama, dan lainnya, tidak secara jelas menyatakan agama yang diakui negara.

Semua peraturan itu menyebutkan beberapa agama yang dipeluk orang Indonesia. "Tapi, oleh aparatur diterjemahkan, itulah agama yang diakui negara. Di luar itu tak bisa dilayani," tutur dia.

Hingga kini, tak semua penghayat Sunda Wiwitan mengantongi e-KTP. Bahkan, ada penghayat yang "di-Khonghucu-kan" dalam e-KTP. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Cigugur, Kuningan, tetapi juga di daerah lain.

https://m.tribunnews.com/regional/20...g-di-kantornya

0
747
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan