Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

albetbengalAvatar border
TS
albetbengal
Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China

Jakarta - Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi disahkan sekaligus menjadi kelanjutan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Agustus 2019. Dalam Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, RI-1 meminta izin dan dukungan untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Seketika beragam pendapat pro dan kontra menyeruak. Sebenarnya polemik sudah berlangsung lama dan tak pernah benar-benar mereda, namun diskursus semakin meruncing semenjak RUU IKN disahkan. Dalam berbagai diskursus yang saya amati, terdapat dua kritik keras terhadap proyek IKN. Pertama, banyak pihak yang menaruh dugaan bahwa IKN akan menjadi New Beijing atau Beijing kedua. Kesimpulan ini ditarik dari asumsi bahwa sponsor utama proyek pemindahan ibu kota adalah Tiongkok.

Kemudian yang kedua adalah keamanan ibu kota. Saya memperhatikan, sejak pernyataan Presiden Jokowi pada Agustus 2019, beredar berbagai analisis, baik berbentuk tulisan maupun video yang menunjukkan bagaimana rentannya letak IKN yang baru. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dinilai sebagai lokasi rentan karena posisinya yang dekat dengan negara tetangga.

Yang lebih menarik adalah, tidak sedikit pihak yang menempatkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai sasaran kritik. Sebagai jenderal bintang tiga, dengan pengetahuan dan pengalamannya, Prabowo diharapkan memberi masukan dan menghalau agar IKN tidak menjadi New Beijing. Begitu pula pada isu kerentanan lokasi IKN, mantan Danjen Kopassus itu dinilai seharusnya memberi penjelasan atas risiko geografis ibu kota baru.

Pertanyaan yang Keliru

Dari dua kritik utama, saya teringat sebuah adagium yang berbunyi, "pertanyaan yang keliru akan melahirkan jawaban yang keliru." Ada beberapa catatan mengapa saya mengangkat adagium tersebut, khususnya terhadap mereka yang justru menjadikan Menteri Pertahanan sebagai sasaran kritik. Terkait kritik pertama, yakni IKN akan menjadi New Beijing. Jika kita berbicara tupoksi, persoalan itu bukan merupakan kewenangan Menteri Pertahanan. IKN merupakan proyek pembangunan yang tentunya menempatkan kementerian bidang pembangunan seperti Bappenas sebagai pengurus kontrak-kontraknya. Ini misalnya bisa dilihat dari Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang kerap memberikan keterangan terkait perkembangan IKN.

Kemudian, ini perlu diperhatikan serius. Sepertinya ada asumsi yang perlu diluruskan dari mereka yang mengkritik Menhan. Dorongan agar Menhan memberi masukan dan menghalau IKN tidak menjadi New Beijing menyimpan asumsi bahwa Menteri Pertahanan memiliki kewenangan besar untuk mengintervensi proyek tersebut. Dengan posisi Prabowo sebagai menteri dan bawahan Presiden, bagaimana mungkin kewenangan besar itu dimiliki.

Sekalipun memberi masukan, yang memutuskan adalah RI-1. Seperti pernyataan Presiden Jokowi, tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi Presiden. Nah sekarang yang kedua, terkait rentannya posisi IKN terhadap ancaman serangan. Sekali lagi, ini juga menyimpan asumsi yang keliru dan perlu diluruskan. Kritik-kritik itu masih berkutat pada persepsi perang konvensional. Mereka masih membayangkan perang adalah head-to-head,
menurunkan bom dan pasukan infanteri seperti di Perang Dunia II.

Mengutip Norman Angell dalam bukunya The Great Illusion, dengan besarnya biaya perang, dan saling terikatnya satu negara dengan yang lainnya, sulit membayangkan ada negara yang begitu tidak rasional menjatuhkan bom ke negara lainnya. Saat ini, persepsi perang tidak lagi berkutat pada perang berdarah, melainkan perang siber, perang hibrida, atau setidaknya perang psikologis (psywar). Ini yang disebut sebagai perang generasi keempat, perang yang bersifat asimetris.

Pihak yang terlibat tidak lagi harus berhadapan langsung, melainkan bergerak dinamis, menyebar, dan tidak terpusat. Seperti kata George Dimitriu, perang tidak lagi antar negara dengan negara, melainkan negara dengan non-negara, seperti perusahaan multinasional. Dalam hal ini, perusahaan multinasional tidak serta merta menjadi aktor utama, melainkan dapat juga bertindak sebagai proxy negara yang ingin mengganggu Indonesia. Sekalipun menggunakan persepsi perang konvensional, menurut riset Global Peace Index tahun 2020, hanya Jepang negara di Asia yang dapat dikatakan aman dari potensi invasi bersenjata.

Jika berbicara potensi ancaman, pada dasarnya tidak ada lokasi yang benar-benar aman, bahkan lubang semut sekalipun. Jika suatu negara ingin menginvasi, mereka akan menemukan cara untuk menurunkan prajurit dan serangan-serangan mematikannya. Contoh kurang relevannya persepsi perang konvensional bisa kita lihat di Singapura. Jika berbicara lokasi, kurang rentan apa Singapura? Pulaunya sangat kecil dan dikelilingi oleh berbagai negara.

Faktanya, Singapura masih dalam keadaan utuh, bahkan menjadi negara maju pengguna teknologi mutakhir. Saya melihat, Singapura menggunakan nasihat-nasihat dari ahli strategi dan perang Tiongkok kuno yang bernama Sun Tzu. Singapura memainkan berbagai strategi spionase dan taktik pengikat agar negara lain berpikir dua kali untuk melakukan serangan. Singapura menempatkan dirinya sebagai variabel penting dalam hubungan negara-negara dunia yang sudah mengglobal.

Seperti kata Carl von Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Dia adalah politik yang berdarah-darah dan paling sulit diprediksi. Ia merupakan manifestasi dari buntunya diplomasi politik. Militer modern banyak terinspirasi oleh pemikiran Clausewitz. Maka kemudian perang, sistem pertahanan, dan perlindungan keamanan, bergerak dari yang awalnya bersifat alamiah/naluriah menjadi sistemik, terkelola, serta memiliki beragam infrastruktur, instrumen, dan teknologi artifisial.

Sedikit kembali pada kritik pertama, dugaan IKN akan menjadi New Beijing sepertinya menggunakan pemikiran Dimitriu. Ditakutkan, perusahaan-perusahaan multinasional yang terlibat dalam proyek IKN akan menyelipkan kepentingan, hingga yang paling ditakutkan adalah penguasaan. Namun sekali lagi, perang adalah kebuntuan diplomasi. Kita hanya perlu menjaga agar perusahaan-perusahaan multinasional itu tidak menabrak garis batasan.

Bagaimana pun, kepentingan kita dan mereka saling berikatan dalam proyek IKN. Sederhananya, bagaimana mungkin mereka mengancam investasi mereka sendiri. Kita hanya perlu memastikan, sudahkah kita menyiapkan batasan-batasan itu dengan baik? Melihat adanya berbagai asumsi dan kritik yang keliru, saya teringat dengan ahli logika bernama Irving Copi. Dalam bukunya yang saya baca dua tahun lalu, Copi menyebut, sering kali kritik menyasar objek yang salah. Yang fatalnya, sang pengkritik merasa objek itu adalah sasaran kritik yang sebenarnya.

Copi menyebut kekeliruan itu sebagai straw man fallacy atau kritik orangorangan sawah. Para pengkritik merasa sedang menghajar orang betulan, padahal mereka hanya memukul orang-orangan sawah. Mengganti Perdebatan Dari kekeliruan ini, kita perlu move on dengan mengganti diskursus ke arah yang lebih tepat. Daripada membahas serentan apa lokasi IKN, kita seharusnya membahas apakah pengamanan
IKN sudah dipersiapkan dengan sematang mungkin.


Tidak bisa dinafikan juga, seperti kata Hans J. Morgenthau, negara-negara di dunia pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin mereka aktualisasi. Dengan adanya kontrak-kontrak dengan pihak luar, tidak menutup kemungkinan terdapat kepentingan-kepentingan yang diselipkan. Ini yang perlu diantisipasi dengan serius.

Undang-Undang IKN memerlukan berbagai regulasi pendukung dan turunan untuk menyiapkan sistem pertahanan yang ideal. Apalagi, dalam tahap pemindahan pertama sepanjang 2022-2024, infrastruktur yang dibangun adalah infrastruktur utama, seperti gedung kepresidenan dan gedung MPR/DPR. Maka konsekuensi dari pemindahan ibu kota di sektor pertahanan dan keamanan (hankam) adalah menyiapkan sebaik-baiknya sistem pertahanan keamanan yang pada saatnya nanti mampu melindungi ibu kota baru. Perumusan rencana strategi dan pembangunan sistem pertahanan ibu kota baru mestinya juga merupakan diskusi yang melibatkan para analis dan peramal yang detail, cermat, serta visioner dari berbagai sektor.

Mulai dari analis militer hingga ahli anggaran. Ini bukan soal ancaman saja, tapi juga soal kemampuan pembiayaan. Perlu ada perhatian soal kemampuan menghadirkan sistem pertahanan yang memadai karena kemampuan anggaran kita tak cukup meyakinkan untuk menyiapkan yang ideal. Pertanyaannya perlu digeser dari "seberapa aman" menjadi "bagaimana mengamankan". Kita tidak bisa menghindari kerentanan, kita hanya perlu menyiapkan berbagai langkah preventif untuk menghadapi kerentanan tersebut.

"Qui desiderat pacem, bellum praeparat (siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang)," kata Flavius Vegetius Renatus, seorang ahli strategi militer Romawi.

Khairul Fahmi Pemerhati masalah pertahanan, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5910601/membedah-salah-kaprah-ikn-diduduki-china.

Klu konflik timteng kadrun pake jurus anti syiah laknat😁
Klu di indo kadrun pake jurus anti china,anti komunisemoticon-Ngakak

Liatlah dedengkotnya

Alhamdulillah ya akhi halalan toyiban 😁

emoticon-Toastemoticon-Toast
serapionIeo
37sanchi
nomorelies
nomorelies dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.2K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan