Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
ISTRI KEDUA - Selamat tinggal, rumah.
Quote:



Selamat tinggal, rumah.


The journey of thousand miles, begins with one step.


-Lao Tzu


Aku menatap lekat perbukitan indah di bawah gunung yang menjadi latar pemandangan dari balkon rumah. Aku akan sangat merindukan pemandangan itu. Semilir angin membuat daun pohon salam di belakang rumah bergemerisik dan sejuknya menerpa wajahku. Aku menarik napas dalam, sejuta kenangan bermunculan menggoyahkan keputusanku untuk meninggalkan rumah.


Tiba-tiba aku dengar suara gelak tawa yang berhasil mendistraksi nuansa sunyi yang sedang aku nikmati. Dari atas balkon, aku lihat Dewa histeris menunjukan hasil pancingannya kepada ayah. Sementara Daffa terlihat masih merengut kesal, menunggu kail nya yang belum juga disantap ikan. Pemandangan itu kembali membakar semangatku dan kembali menguatkan niatku untuk meninggalkan rumah. Sebelum semangat itu kembali padam, aku harus bergegas turun untuk mengemasi baju dan perlengkapan sekolah yang akan aku bawa pindah.


Sebelum turun, sekali lagi aku melihat kebawah balkon. Sebuah kolam yang sempat aku jadikan tempat berenang kini telah penuh dengan ikan-ikan mujair muda dan menjadi tempat favorit ayah dan anak-anaknya kecuali aku, menghabiskan waktu dengan mancing.


Di sudut kolam aku lihat Buddy, anjing pintar yang selalu jadi teman di saat aku kesepian. Sudah tak terhitung berapa kali Buddy melihatku menangis. Seperti yang banyak orang bilang ‘anjing adalah teman setia’ Buddy selalu duduk setia di sampingku, menemaniku menangis. Wajahnya akan miring ke kiri dan ke kanan dengan mata yang selalu berkedip perlahan seperti berusaha menenangkanku.


Aku pasti kangen banget sama kamu Buddy. Batinku. Seolah bisa mendengarku, Buddy tiba-tiba menggonggong ke arahku. Matanya berkedip seolah bertanya apa aku baik-baik saja?


“Cha! Sinih mancing.” Tariak Daffa, membuat Buddy berlari mendekatinya dan kembali menggongong ke arahku. Tanpa berkata apapun dan tanpa bereaksi apapun, aku putuskan untuk segera turun.

 

*** 


Sebuah rumah besar dengan halaman luas dan memiliki pagar yang lumayan tinggi terlihat sangat asri dan sejuk. Aneka tanaman hias tertata rapih memperindah tampilan depan rumah itu. Aku, Ibu dan Layla-istri pamanku yang menjadi penyelamatku, penuntun langkah pertamaku keluar dari rumah. Kami bertiga berdiri di depan pagar menunggu pemilik rumah keluar setelah beberapa kali dia menekan bell.


Seorang wanita yang aku taksir usianya sudah se-nenek aku, keluar dengan senyum yang bersahaja. membuka sedikit pintu gerbang dan mempersilahkan kami masuk. Tante Ila langsung menyalaminya di susul oleh Ibu yang juga menyalaminya dengan takdzim.


“Ini yang mau ikut tinggal di rumah Ibu?” Tanya wanita itu pada Tante Ila, tapi matanya tidak lepas dari memperhatikanku.


“Iya betul Bu. Namanya Cahaya. Alhamdulillah lolos masuk SMAN 4, makanya mau di titip disini,” kata tante Ila sambil menepuk pundakku. “Cahaya, ini Ibu Nani.” Lanjut Tante Ila, aku bergegas menyalami Ibu Nani.


“Yaudah, ayok semua masuk dulu.” Ibu Nani berjalan masuk. Berbeda dari arah kedatangannya tadi, Ibu Nani membawa kami melewati garasi. Sebuah mobil Blazer warna silver terparkir disana. Di sisi kiri garasi ada sebuah meja lengkap dengan mesin setrikaan dan setumpuk baju yang sepertinya mau di setrika. Meja itu membelakangi sebuah kolam ikan koi dengan kandang burung yang menyerupai miniatur rumah panggung berdiri tegak di tengah-tengah kolam. “Assalamualaikum… assalamualaikum…” suara unik, cempreng terdengar nyaring sekaligus menampakkan sosok burung beo yang lompat-lompat ceria dalam kandang. “Waalaikumsalam,” jawab Ibu Nani pada burung itu. Burung itu terlihat girang mendapat respon dari pemiliknya dan terus mengucapkan salam sampai kami berlalu masuk ke sebuah ruangan kecil.


Sepasang kaligrafi lafadz ‘Allah’ dan ‘Muhammad’ terpasang rapih di dinding menandakan bahwa ruangan itu adalah sebuah Mushola. “Nah, Cahaya, nanti kamu tidur disini.” Ibu Nani membuka sebuah pintu yang menghubungkan Mushola dengan sebuah ruangan kecil berbentuk persegi panjang. Dari bau nya, aku yakin ruangan itu baru banget di rapihkan dan di cat. Ibu Nani menyuruhku membereskan barangku disana, sementara dia mengajak Tante Ila dan ibuku ke depan, untuk ngobrol-ngobrol katanya.


Hanya ada sebuah bantal dan kasur lipat yang sudah tipis di dalam kamar sempit itu. Aku meletakan satu-satunya tas dan sebuah kresek yang berisi sepatu sekolahku. Ruangan tempat aku tidur ini sangat-sangat sempit, mungkin hanya berukuran 2x1 meter. Udah kaya kuburan. Pikirku.


Bersukur ada sebuah jendela yang membuat kamar ini tidak benar-benar mirip kuburan. Jendela itu memberi pemandangan tepat ke rumah burung Beo. “Hallo teman baru…” kataku pada burung beo, burung itu langsung berbalik ke arahku matanya berkedip-kedip cepat, “Assalamualaikum… Assalamualaikum…” katanya. Sepertinya dia emang cuma bisa mengatakan satu kata itu.


“Cha…!” aku dengar suara ibu memanggilku. Bergegas aku menutup jendela dan keluar kamar. Ibu berdiri di pintu Mushola, dari tatapannya aku tau dia akan segera pamit dan melepas aku di sini. “Ibu mau pulang?” tanyaku, bagaimanapun aku gak suka nuansa sentimental.


“Iya, kamu baik-baik disini ya… pintar-pintar menitipkan diri. Inget pesan tante Ila, jangan bikin malu. Kamu numpang di sini.”


“Iya Bu…” jawabku pendek. Dalam hati aku bertekad untuk bisa betah dan bertahan disini. Aku yakin disini akan jauh lebih baik dari pada di rumah ibu yang lebih mirip dengan arena penyiksaan bathin. Setidaknya disini aku hanya perlu tersiksa fisik dengan membantu pekerjaan rumah Ibu Nani.


 


***


Dari balik pagar besi, aku menyaksikan Ibu dan Tante Ila pergi sampai mereka menghilang di belokan. “Kamu sudah makan?” Tanya Ibu Nani sambil berjalan masuk lewat pintu utama rumah. “Sinih ikut Ibu!”


Aku mengikuti Ibu Nani memasuki sebuah ruang tamu yang bernuansa tradisional jawa, membuat suasana ruang tamu terasa hangat. Unsur warna cokelat yang mendominasi furnitur dengan tambahan beberapa tanaman membuat ruangan itu terasa asri. Sebuah Aquarium besar membatasi ruang tamu dengan ruang tengah yang sepertinya di jadikan ruang keluarga.


Ibu Nani berjalan terus masuk ke dalam, melewati ruang keluarga, ruang nonton dan sampai di sebuah ruangan dengan meja besar yang tebuat dari kayu berbentuk lonjong lengkap dengan 6 kursi yang mengelilingi meja itu. Dari furnitur dan lemari es yang ada disana, aku yakin itu adalah ruang makan. Berbelok ke kiri dari ruang makan, ada sebuah gang sempit. “Ini kamar mandi nya.” Kata Ibu Nani sambil sedikit membuka pintu plastik yang berwarna biru dan memberi kesempatan kepadaku untuk mengintip sebentar kedalam kamar mandi itu.


Tidak jauh dari pintu kamar mandi, ada sebuah pintu yang mengubungkan kami ke dapur. “Nah ini dapurnya, kebetulan Ibu tadi baru bikin sayur lodeh. Ayo kamu makan dulu. Itu rak piring, itu nasi, itu sayurnya, dan itu lauknya.” Kata Bu Nani, menjelaskan sambil menunjuk yang di sebutkannya tadi dengan cepat.


“Owh iya, kamu boleh makan di kamar kamu, di Mushola atau di halaman belakang sambil liat ikan koi.” Ibu Nani tersenyum sebentar sebelum akhirnya menepuk bahuku pelan kemudian pergi meninggalkanku di dapur.


Sebetulnya aku sudah tau dari Tante Ila, aku tinggal disini tentu gak geratis, aku harus bayar dengan tenaga. Tak apalah. Anggap aja sekarang aku menjadi pembantu. Setidaknya dengan begini aku bisa tetap lanjut bersekolah dan yang paling penting adalah aku bisa keluar dari rumah. Keluar dari kehidupan orang-orang yang memang jelas menunjukan tidak menginginkan keberadaanku disana. Selamat tinggal Ayah. Selamat tinggal, rumah.


 


***


rinandya
MFriza85
phyu.03
phyu.03 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.9K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan