Kaskus

Story

drhansAvatar border
TS
drhans
2 WORLD
2 WORLD

Hai. Namaku Jane Chen, seorang Chinese - American. Aku lahir dan besar di Amerika. Kedua orang tuaku berasal dari Indonesia dan telah lama migrasi ke negara ini dan ini kisahku.

Saat ini usiaku sudah menjelang 35 tahun, telah menikah dan memiliki dua orang anak balita, Shannon, putri mungilku berusia 4 tahun dan Michael, bayi kecilku berusia 1 tahun.

Suamiku, Greg, asli orang bule Amerika. Ia seorang guru seni di junior high school dan menyukai serta mendalami kesenian dari kawasan Asia. Sekarang dia sedang mempelajari gamelan dan adat-istiadat Jawa.

Aku merasa Greg lebih Asia dibandingkan denganku. Walau Mama-Papaku berasal dari Indonesia , kalau tidak salah dari kota Surabaya, aku sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia, Tionghoa apalagi bahasa Jawa.

Aku ini benar-benar American-guy dengan perawakan Asia. Berkebalikan dengan Greg yang berperawakan bule, tetapi hati dan pikirannya lebih mirip orang Asia. Lebih banyak sopan-santun, tata-krama dan 'njlimet'. I am not. I am straight.

****

Perkenalanku dengan Greg berawal di tempatku bekerja. Aku bekerja di sebuah bank dan suatu kali Greg memerlukan bantuanku.

Greg yang ramah, tampan dan menarik hati justeru yang pertama kali tertarik kepadaku. Aku yang rada cuek dan ketus.

Ketika suatu kali kutanya apa yang menarik dariku, Greg sambil tersenyum berkata bahwa aku sungguh seorang Asian (penampilanku) dan ia memang tertarik segala hal yang berbau dan berhubungan dengan Asia. Suatu perkataan yang aneh, menurutku.

Greg yang rajin mengapeliku akhirnya membuatku luluh juga. Setelah setengah tahun, kami resmi mulai berpacaran dan menikah setahun kemudian.

Greg yang agak memaksa untuk menikah resmi. Bagiku, apa artinya sepotong kertas. Pernikahan kami diberkati di sebuah gereja mungil yang cantik di perbatasan kota.

***

Aku tinggal di daerah Pomona, Los Angeles. Kedua orang tuaku tak terlalu jauh rumahnya, hanya sekitar 10 menit berkendara mobil sudah sampai.

Mereka cukup sering juga berkunjung ke rumahku dengan alasan menengok cucu.

Greg selalu menyambut baik kedatangan kedua mertuanya. Mereka cukup akrab dan berbicara dalam bahasa Indonesia bercampur Jawa, yang tak kumengerti.

Aku sendiri, sebenarnya kurang suka kedua orang tuaku berkunjung terlalu sering. Aku lebih respek dengan ibu mertuaku yang hanya sesekali berkunjung. Tentu dengan appointment sebelumnya.

***

Aku dan Greg sama-sama bekerja. Jadi kami memperkerjakan seorang tenaga paruh waktu untuk menjaga kedua balita kami.

Kebetulan, ada seorang tante kenalan Mama, berasal dari Indonesia juga, yang bersedia menjaga anak-anakku. Namanya tante Mey. Rumahnya tak jauh dari rumahku.

Tante Mey usianya sepantaran Mamaku. Ia baru berimigrasi sekitar sebelasan tahun. Berbeda dengan kedua orang tuaku yang sudah menetap ketika aku belum lahir.

Tante Mey berimigrasi sekeluarga. Suami-isteri dan kelima anaknya. Mereka mendapat asylum visa karena kekacauan di negeri asal.

Karena tidak direncanakan secara matang, suami tante Mey yang mengandalkan relasi keluarganya yang berada di Amerika, setelah sampai, menjadi kecele.

Ia yang dijanjikan akan dibantu dan diberikan pekerjaan hanya mendapat janji kosong. Tak ada bantuan atau akomodasi yang diberikan.

Terpaksa demi menghidupi keluarganya, suami-isteri harus bekerja kasar. Sang suami bekerja sebagai tenaga paruh waktu di konstruksi bangunan, restoran cepat saji, pengantar barang, apa saja yang dapat dipekerjakan. Sebagai pekerja gelap, tentu upah yang diberikan di bawah standar penggajian.

Sang isteri mau tak mau harus ikut membantu bekerja. Tanpa pengalaman dan ketrampilan bekerja, yang dapat dilakukan hanya melamar sebagai petugas dapur atau petugas kebersihan resto-resto yang mau memperkerjakannya (tentu dengan upah di bawah minimum).

Pekerjaan yang berat dan melelahkan, terutama untuk wanita setengah baya yang belum pernah bekerja.

Mencoba bertahan sebisa mungkin, akhirnya mundur satu demi satu dari pekerjaan yang dilakukan. Tubuh yang sakit-sakitan dan ngilu, sukar digerakkan menjadi penyebab.

Biaya berobat terasa sangat mahal (karena tak memiliki asuransi kesehatan) dibandingkan penghasilannya yang tak seberapa, memaksanya untuk berhenti total.

Akhirnya, dengan koneksi perkenalan teman-teman se-gereja, tante Mey sesekali mendapat job nyambi sebagai pengasuh anak atau membantu hajatan.

Terakhir, tante Mey bekerja untuk keluargaku.

****

Shannon sebentar saja akrab dengan tante Mey. Pembawaannya yang sabar dan telaten membuat putriku betah.

Walau bahasa Inggris tante Mey kurang baik dan kurang lancar, Shannon dapat berkomunikasi cukup baik dengan dia.

Bahkan, setelah beberapa waktu, sesekali aku mendengar Shannon berbicara bahasa Indonesia dengan Papanya. Aku sendiri saja tak bisa.

***

Tante Mey tak keberatan mengasuh kedua anakku sejak Michael lahiran. Awalnya, aku berencana mencari seorang lagi pengasuh untuk anak keduaku ini, tetapi tante Mey menyatakan sanggup mengurusi keduanya.

Jadi selama beberapa bulan pertama (selama masa cutiku) aku memantau kesanggupannya dan setelah yakin, aku baru berani menitipkan kedua buah hatiku kepadanya.

Ternyata, ia memang sanggup. Aku senang, dia-pun senang, terutama ketika aku menaikkan upah kerjanya.

***

Karena kecintaan suami akan kebudayaan, kultur dan segala macam yang berbau Asia, terutama (sekarang) Indonesia maka ia mengajakku untuk liburan ke negeri leluhurku di waktu cuti liburan kami.

Aku agak keberatan sebenarnya karena berpikir anak-anak masih kecil. (Kami hanya berlibur berdua tanpa mengajak anak-anak).

Namun, kedua orang tuaku menyanggupi mengurus cucu-cucunya dan setengah mendesakku untuk pergi serta ibu mertuaku pun berkomitmen membantu, akhirnya aku mau juga.

Aku memang belum pernah mengunjungi Indonesia. Aku dengar Pulau Bali sangat indah. Jadi kami berencana mampir ke beberapa kota seperti Jakarta, Jogya, Surabaya dan tentunya, Pulau Bali.

***

Keberangkatan dari Lax (Los Angeles airport) sampai ke bandara Soekarno-Hatta, Jakarta transit semalam di Taipei kunikmati dan tak kurasakan lamanya waktu tempuh. Tahu-tahu, pilot pesawat mengumumkan bahwa kami tak lama lagi akan mendarat di Jakarta.

Jelas aku gembira bercampur sedikit nervous karena pertama kali menginjakkan kaki di tanah leluhur yang menurut orang, ramah tamah dan bersahabat.

Eh, tunggu punya tunggu, sejam, dua jam pesawat tak kunjung mendarat. Pilot hanya mengumumkan terjadinya keterlambatan mendarat akibat busy trafficking. Kami diminta bersabar.

Aku mulai bertanya-tanya dan panik. Ada apa sebenarnya? Untungnya, Greg menenangkanku.

Katanya dengan setengah bercanda bahwa sudah biasa di sini memakai jam karet, tidak tepat waktu. Jadi tenang saja, pesawat pasti mendarat walau mulur terlambat.

Benar saja, kami akhirnya mendarat sejam kemudian. Aku lega. Kupikir masalah sudah selesai. Ternyata, ini baru permulaan dari deretan masalah berikutnya.

***

Sebagai permintaan maaf atas keterlambatan mendarat, pihak imigrasi airport setempat memberikan kompensasi makanan kotak kepada penumpang yang baru mendarat.

Aku iseng melihat ke dalam makanan kotak itu dan belum pernah melihat isi makanan seperti itu. Ketika kutanyakan kepada Greg apa itu. Ia menjawab nasi rendang. Penampilannya menggiurkan. Aku akan mencicipinya nanti.

***

Rupanya kebiasaan berlama-lama terjadi lagi saat mengantri pemeriksaan imigrasi. Entah mengapa terasa barisan antrian tak maju-maju. Petugas-petugas di bandara, termasuk petugas imigrasi terlihat sibuk, tegang dan tak fokus dalam bekerja.

Greg yang bisa berbicara bahasa lokal mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Setelah beberapa waktu mencari informasi, akhirnya Greg berbisik kepadaku.

Katanya, menurut info yang didapat, bersamaan dengan kedatangan kami, baru tiba pula 'orang penting vvip' dan penyambut orang ini sedemikian banyak sehingga memenuhi area bandara.

Aku bertanya kepada Greg, siapakah 'orang penting' ini? Apakah ia seorang Presiden atau pejabat pemerintahan penting?

Greg tersenyum aneh. Dia bilang dia juga tidak tahu dan tidak mengerti. Ketika ia bertanya pada beberapa orang, menurut orang-orang yang ditanya, 'orang penting' itu seorang pemain watak kontroversial yang dideportasi dari negara lain.

Akibat penyambutan 'orang penting' itu, suasana bandara menjadi kacau. Massa penyambut yang berjumlah puluhan ribu orang berbuat seenaknya di area bandara.

Lalu - lintas arus kendaraan dan orang menjadi macet total. Orang-orang yang hendak menuju bandara menjadi tertunda total. Sekitar radius beberapa kilometer area bandara terblokir dan tertutup akibat massa memenuhi jalan.

Calon penumpang yang menguber deadline jam penerbangan terpaksa turun dari kendaraan dan membawa bagasi bawaannya berjalan kaki sepanjang kiloan meter.

Bila berhasil sampai di terminal bandara, calon penumpang itu harus berjuang lagi melewati massa yang berkumpul berdesakan sampai ke ruang tunggu.

Begitu juga penumpang yang baru tiba, sukar untuk keluar dan meninggalkan area bandara. Itu sebabnya semua orang stuck di bandara. Kami, termasuk diantaranya.

Berjam-jam menunggu tanpa kejelasan benar-benar membuatku frustasi. Menunggu dalam posisi berdiri (karena tak kebagian kursi) sungguh melelahkan.

Makanan kotakan yang tadi diberikan sudah habis sejak lama. Aku mencicipi sedikit, sisanya dilahap habis oleh Greg. Menurutku terlalu spicy, tetapi menurut Greg sungguh nikmat.

Tak lama setelah makan makanan itu, perutku mulai mules dan berlanjut menjadi buang-buang air. Sampai sekarang, entah sudah berapa puluh kali, aku bolak-balik ke toilet. Untungnya toiletnya cukup bersih hanya terkadang sukar menemukan kertas tissue.

Aku lemas bercampur marah. Aku menyesal datang ke tempat ini. Liburan yang kuimpikan bakal menyenangkan berubah menjadi mimpi buruk.

Puncak kesabaranku habis ketika terjadi peristiwa keributan massal yang ditimbulkan oleh massa penjemput 'orang penting'.

Kerusakan fasilitas umum dan ancaman keselamatan bagi orang awam, termasuk kami turis asing, membuat aku mengambil keputusan untuk segera pulang ke negara asal. Aku harus pulang secepatnya.

Setelah bersusah payah mengubah tiket return, kami harus menunggu lagi beberapa waktu dalam kecemasan.

Untungnya, si 'orang penting' akhirnya berlalu dari bandara disertai massa penjemputnya. Bandara berangsur-angsur pulih fungsinya.

Greg mencoba membujukku agar membatalkan rencana kepulangan dan melanjutkan liburan. Aku tak mau. Aku takut dan sudah patah arang.

Aku membayangkan satu 'orang penting' saja sudah menyebabkan banyak kesusahan apalagi nanti di dalam kota. Kudengar di sana, sangat banyak 'orang penting'. Aku ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi. Greg mengalah.

Akhirnya setelah menunggu setengah harian dengan gelisah bercampur mules melilit, kami jadi juga berangkat pulang. Di dalam pesawat aku nyengir kecut membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Aku bertekad takkan pernah balik lagi ke negeri leluhur selama masih banyak 'orang penting yang tak penting' menancapkan kukunya di sana. Peduli amat. I am American, right!

Greg seakan tak terpengaruh. Ia duduk tenang menikmati bakpia Semarang dan dodol Garut yang dibelinya tadi.

Sudah ya kisahnya.

Salam semua. Be happy. Gbu.

(Cerita ini adalah fiksi. Nama, tempat dan peristiwa kejadian adalah hasil rekaan. Bila ada kemiripan, memang disengaja. Harap maklum 😀).
bukhoriganAvatar border
delia.adelAvatar border
phyu.03Avatar border
phyu.03 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
649
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan