- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Untuk, Laela


TS
ynurnun
Untuk, Laela
Sebuah suara terdengar mengalun dengan getaran yang begitu jelas melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Suara itu berasal dari sebuah gubuk kecil di tengah perkampungan tua yang padat penduduk. Bersamaan dengan lantunan ayat-ayat dari jantung Al-Qur’an yang ia baca itu terdengar juga suara isakan yang memilukan. Perlahan derai yang sudah ia coba tahan mati-matian akhirnya runtuh menembus tembok pertahanan. Air dari matanya tanpa ampun menghujam pipinya yang tirus.
Perempuan berusia dua puluh satu tahun yang biasa dipanggil Murni itu menggerakkan tangannya yang masih menyisakan memar kebiruan untuk menyeka air mata yang meluncur bebas tanpa dikomandoi. Ia meringis saat tanpa sengaja punggung tangan mengenai sudut bibir ranum sebelah kirinya yang juga ikut menjadi sasaran keganasan dan kebrutalan seorang lelaki yang ia sebut suami. Jemarinya yang lentik bergerak menyentuh luka tersebut. Ia tersenyum miring. Ia teringat bagaimana tangan besar suaminya—Herman—tanpa beban terangkat dan mendarat di pipinya, di tubuhnya menciptakan jejak-jejak berwarna biru kehitaman yang menyakitkan. Herman tidak hanya berbakat mengukir kesakitan fisik. Namun, juga mahir menjejakkan kesakitan hati dan mental Murni.
Kenapa Murni tidak menyerah saja?
Kata siapa Murni tidak ingin menyerah? Sejak lama juga ia sudah berpikir untuk menyerah melakoni perannya sebagai istri Herman. Namun, sebodoh-bodohnya perempuan yang hanya menempuh pendidikan sampai kelas sebelas itu. Ia masih bisa memikirkan dampak pada anak semata wayangnya bersama Herman—Laela. Bagaimana kelangsungan hidup Laela jika ia memilih berpisah dengan lelaki itu? Apa yang akan terjadi dengan mental Laela? Ia tak ingin Laela merasakan pedih seperti apa yang ia rasakan. Hidup di sebuah keluarga yang tak utuh. Tak mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya akibat perceraian yang melahirkan pertikaian. Dijadikan buah bibir oleh penduduk yang bahkan tak pernah tahu bagaimana jalan cerita hidup yang sesungguhnya.
Perceraian adalah aib. Begitu juga menjadi seseorang yang hidup dari orang tua yang bercerai adalah seperti hal nista bagi penduduk kampungnya. Namun, anak mana di dunia ini yang menginginkan hidup tanpa keluarga yang utuh? Tidak ada! Siapa juga yang ingin menjadi bahan gunjingan tetangga bahkan atas kesalahan yang bahkan tak pernah ia perbuat? Atas dasar itulah, sesakit apapun ia melakoni perannya sebagai istri Herman, Murni selalu berusaha kuat dan bertahan untuk Laela. Ya, hanya untuk anaknya.
°°°°°
Embusan napas lega terdengar. Murni menggerakkan sepasang tungkainya menuju tempat yang ia gunakan untuk mencuci piring di samping gubuk. Dengan air yang mengalir dari kran di sana ia mulai membersihkan sisa-sisa adonan kue yang ia buat untuk dijajakan keesokan harinya. Sebuah rutinitas tambahan yang harus ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan hariannya bersama Laela. Juga … ya siapa lagi kalau bukan Herman.
Apakah Herman tidak bekerja dan tidak memberinya nafkah?
Lelaki dua puluh delapan tahun itu memang bekerja. Namun, Herman bekerja entah untuk siapa. Murni bahkan tak pernah tahu ke mana uang hasil kerja suaminya. Ia hanya diberikan jatah belanja oleh lelaki itu hanya sekali dalam sepekan. Itupun dalam jumlah yang jauh dari kata cukup. Akan tetapi, Murni tak pernah punya nyali untuk menuntut atau hanya sekedar mempertanyakan hal itu. Sebab, ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika ia nekat bertanya.
Di sebuah kain bermotif kotak-kotak yang tergantung di rak bambu tempat ia menjejerkan alat-alat dapur, Murni mulai mengeringkan tangannya. Lantas, berpindah arah menuju panci di atas tungku yang masih menyala. Penutup panci itu dibuka hanya untuk memastikan kue-kue buatannya matang dengan sempurna.
Asap mengepul dari dalam panci, mengeluarkan aroma cokelat bercampur dengan vanili yang kuat menusuk indera penciuman. Murni memejam, membiarkan asap dari panci menyentuh bebas wajahnya. Tak lupa juga ia menikmati aroma yang lezat itu.
Sialnya hanya karena sekedar aroma kue saja ia harus kembali mengenang masa-masa indah awal pernikahannya dengan Herman. Di mana ia berperan sebagai seorang istri yang sesungguhnya. Menyajikan makan, menyiapkan kebutuhan dan melayani Herman sebagaimana mestinya. Yang perlakuannya itu tentu saja mendapatkan pamrih dengan kecupan singkat yang manis dan penuh kasih sayang. Atau dengan sebuah dekapan erat yang bisa menghangatkan tubuhnya dalam sekejap.
Kenangan indah pun akhirnya tak selamanya membuat bahagia. Buktinya, Murni justru merasakan sebaliknya. Kenangan indah yang dulu pernah ia ciptakan dengan Herman bahkan seperti belati yang mengkoyak batin tatkala ia teringat. Bagaimana tidak? Menginginkan itu kembali adalah sebuah kemustahilan dalam hidupnya. Herman-nya sekarang bukan lagi Herman yang dulu. Herman-nya kini adalah monster paling mengerikan yang Tuhan ciptakan, yang terlampau banyak mengukir duka dan luka.
“Harusnya kau menyerah saja, Murni!”
Seketika kedua kelopak mata perempuan berkulit sawo matang itu terbuka lebar. Bisikan itu kembali terngiang. Ia tidak tahu dari mana bisikan itu datang. Kepalanya meliuk ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari siapa pemilik suara yang begitu jelas terngiang di gendang telinga. Namun, tak ia temukan siapapun di sana. Lantas, siapa pemilik suara itu?
Murni menggelengkan kepala berulang kali. Menampik kalimat yang baru saja ia dengar. Kalimat yang bukan hanya sekali ini menyusup ke indera pendengarannya. Namun, sudah acap kali saat ia mengingat kebejatan suaminya. Ia mulai berpikir kini suara itu hanyalah sebuah teriakan dari sisi lain dirinya yang tak terima akan perlakuan Herman.
Tak ingin terganggu lebih lama lagi. Ia melanjutkan pekerjaannya. Memindahkan kue-kue yang ia kukus dari panci ke tampah—benda bundar terbuat dari anyaman bambu yang biasa digunakan untuk membersihkan atau memisahkan beras dengan gabah—untuk dijajakan esok hari. Terlampau biasa dengan pekerjaan itu membuat Murni tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan.
Langkah Murni membawa tubuhnya menuju ruang depan yang hanya terdapat kursi kayu panjang dan meja kecil. Di sana masih tampak sepi seperti tak ada kehidupan. Kepalanya terangkat dan menatap jam dinding yang warnanya mulai memudar termakan usia sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia bergerak pasti menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Seketika angin malam yang dingin menerpa wajah tanpa ampun. Ia memejam. Menikmati embusan lembut itu.
Perlahan kelopak mata bulat milik perempuan dua puluh satu tahun itu terbuka. Ia menyaksikan kembali bumi yang sudah sepenuhnya menggelap. Ditambah lagi dengan keadaan listrik yang padam, menambah gelap malam tampak semakin pekat. Tak ada seorang pun yang tampak di luar. Pintu-pintu rumah warga tertutup rapat. Penduduk-penduduk di sana hanya berjibaku di dalam rumah yang dihiasi dengan lentera-lentera kecil mereka. Lagipula, apa yang bisa mereka nikmati di luar rumah? Sedangkan, bulan saja sudah kalah telak oleh gumpalan awan hitam. Hanya ia yang berani membuka pintu rumahnya, karena menanti kedatangan seseorang.
“Sudah malam seperti ini Herman belum juga pulang.” Murni bermonolog. Harusnya ia tak perlu heran jika Herman belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah sejak kepergiannya pagi-pagi buta. Karena, ini bukan kali pertama lelaki itu seperti ini. Namun, terhitung sejak usia pernikahan mereka menginjak angka kedua. Tepatnya saat sang buah hati menapak usia satu setengah tahun. Saat itu juga Herman benar-benar berubah. Kelembutannya menghilang. Kasih sayangnya seakan sirna.
Tubuhnya yang hanya terbungkus kaos berlengan pendek rupanya tak tahan menerima terpaan angin basah bulan Desember. Lagipula, tidak ada gunanya juga berlama-lama berdiri di ambang pintu seorang diri. Manusia yang ia tunggu itu belum tentu juga akan menunjukkan batang hidungnya malam ini. Dengan terpaksa ia menutup pintu kembali rapat-rapat.
Perempuan berusia dua puluh satu tahun yang biasa dipanggil Murni itu menggerakkan tangannya yang masih menyisakan memar kebiruan untuk menyeka air mata yang meluncur bebas tanpa dikomandoi. Ia meringis saat tanpa sengaja punggung tangan mengenai sudut bibir ranum sebelah kirinya yang juga ikut menjadi sasaran keganasan dan kebrutalan seorang lelaki yang ia sebut suami. Jemarinya yang lentik bergerak menyentuh luka tersebut. Ia tersenyum miring. Ia teringat bagaimana tangan besar suaminya—Herman—tanpa beban terangkat dan mendarat di pipinya, di tubuhnya menciptakan jejak-jejak berwarna biru kehitaman yang menyakitkan. Herman tidak hanya berbakat mengukir kesakitan fisik. Namun, juga mahir menjejakkan kesakitan hati dan mental Murni.
Kenapa Murni tidak menyerah saja?
Kata siapa Murni tidak ingin menyerah? Sejak lama juga ia sudah berpikir untuk menyerah melakoni perannya sebagai istri Herman. Namun, sebodoh-bodohnya perempuan yang hanya menempuh pendidikan sampai kelas sebelas itu. Ia masih bisa memikirkan dampak pada anak semata wayangnya bersama Herman—Laela. Bagaimana kelangsungan hidup Laela jika ia memilih berpisah dengan lelaki itu? Apa yang akan terjadi dengan mental Laela? Ia tak ingin Laela merasakan pedih seperti apa yang ia rasakan. Hidup di sebuah keluarga yang tak utuh. Tak mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya akibat perceraian yang melahirkan pertikaian. Dijadikan buah bibir oleh penduduk yang bahkan tak pernah tahu bagaimana jalan cerita hidup yang sesungguhnya.
Perceraian adalah aib. Begitu juga menjadi seseorang yang hidup dari orang tua yang bercerai adalah seperti hal nista bagi penduduk kampungnya. Namun, anak mana di dunia ini yang menginginkan hidup tanpa keluarga yang utuh? Tidak ada! Siapa juga yang ingin menjadi bahan gunjingan tetangga bahkan atas kesalahan yang bahkan tak pernah ia perbuat? Atas dasar itulah, sesakit apapun ia melakoni perannya sebagai istri Herman, Murni selalu berusaha kuat dan bertahan untuk Laela. Ya, hanya untuk anaknya.
°°°°°
Embusan napas lega terdengar. Murni menggerakkan sepasang tungkainya menuju tempat yang ia gunakan untuk mencuci piring di samping gubuk. Dengan air yang mengalir dari kran di sana ia mulai membersihkan sisa-sisa adonan kue yang ia buat untuk dijajakan keesokan harinya. Sebuah rutinitas tambahan yang harus ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan hariannya bersama Laela. Juga … ya siapa lagi kalau bukan Herman.
Apakah Herman tidak bekerja dan tidak memberinya nafkah?
Lelaki dua puluh delapan tahun itu memang bekerja. Namun, Herman bekerja entah untuk siapa. Murni bahkan tak pernah tahu ke mana uang hasil kerja suaminya. Ia hanya diberikan jatah belanja oleh lelaki itu hanya sekali dalam sepekan. Itupun dalam jumlah yang jauh dari kata cukup. Akan tetapi, Murni tak pernah punya nyali untuk menuntut atau hanya sekedar mempertanyakan hal itu. Sebab, ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika ia nekat bertanya.
Di sebuah kain bermotif kotak-kotak yang tergantung di rak bambu tempat ia menjejerkan alat-alat dapur, Murni mulai mengeringkan tangannya. Lantas, berpindah arah menuju panci di atas tungku yang masih menyala. Penutup panci itu dibuka hanya untuk memastikan kue-kue buatannya matang dengan sempurna.
Asap mengepul dari dalam panci, mengeluarkan aroma cokelat bercampur dengan vanili yang kuat menusuk indera penciuman. Murni memejam, membiarkan asap dari panci menyentuh bebas wajahnya. Tak lupa juga ia menikmati aroma yang lezat itu.
Sialnya hanya karena sekedar aroma kue saja ia harus kembali mengenang masa-masa indah awal pernikahannya dengan Herman. Di mana ia berperan sebagai seorang istri yang sesungguhnya. Menyajikan makan, menyiapkan kebutuhan dan melayani Herman sebagaimana mestinya. Yang perlakuannya itu tentu saja mendapatkan pamrih dengan kecupan singkat yang manis dan penuh kasih sayang. Atau dengan sebuah dekapan erat yang bisa menghangatkan tubuhnya dalam sekejap.
Kenangan indah pun akhirnya tak selamanya membuat bahagia. Buktinya, Murni justru merasakan sebaliknya. Kenangan indah yang dulu pernah ia ciptakan dengan Herman bahkan seperti belati yang mengkoyak batin tatkala ia teringat. Bagaimana tidak? Menginginkan itu kembali adalah sebuah kemustahilan dalam hidupnya. Herman-nya sekarang bukan lagi Herman yang dulu. Herman-nya kini adalah monster paling mengerikan yang Tuhan ciptakan, yang terlampau banyak mengukir duka dan luka.
“Harusnya kau menyerah saja, Murni!”
Seketika kedua kelopak mata perempuan berkulit sawo matang itu terbuka lebar. Bisikan itu kembali terngiang. Ia tidak tahu dari mana bisikan itu datang. Kepalanya meliuk ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari siapa pemilik suara yang begitu jelas terngiang di gendang telinga. Namun, tak ia temukan siapapun di sana. Lantas, siapa pemilik suara itu?
Murni menggelengkan kepala berulang kali. Menampik kalimat yang baru saja ia dengar. Kalimat yang bukan hanya sekali ini menyusup ke indera pendengarannya. Namun, sudah acap kali saat ia mengingat kebejatan suaminya. Ia mulai berpikir kini suara itu hanyalah sebuah teriakan dari sisi lain dirinya yang tak terima akan perlakuan Herman.
Tak ingin terganggu lebih lama lagi. Ia melanjutkan pekerjaannya. Memindahkan kue-kue yang ia kukus dari panci ke tampah—benda bundar terbuat dari anyaman bambu yang biasa digunakan untuk membersihkan atau memisahkan beras dengan gabah—untuk dijajakan esok hari. Terlampau biasa dengan pekerjaan itu membuat Murni tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan.
Langkah Murni membawa tubuhnya menuju ruang depan yang hanya terdapat kursi kayu panjang dan meja kecil. Di sana masih tampak sepi seperti tak ada kehidupan. Kepalanya terangkat dan menatap jam dinding yang warnanya mulai memudar termakan usia sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia bergerak pasti menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Seketika angin malam yang dingin menerpa wajah tanpa ampun. Ia memejam. Menikmati embusan lembut itu.
Perlahan kelopak mata bulat milik perempuan dua puluh satu tahun itu terbuka. Ia menyaksikan kembali bumi yang sudah sepenuhnya menggelap. Ditambah lagi dengan keadaan listrik yang padam, menambah gelap malam tampak semakin pekat. Tak ada seorang pun yang tampak di luar. Pintu-pintu rumah warga tertutup rapat. Penduduk-penduduk di sana hanya berjibaku di dalam rumah yang dihiasi dengan lentera-lentera kecil mereka. Lagipula, apa yang bisa mereka nikmati di luar rumah? Sedangkan, bulan saja sudah kalah telak oleh gumpalan awan hitam. Hanya ia yang berani membuka pintu rumahnya, karena menanti kedatangan seseorang.
“Sudah malam seperti ini Herman belum juga pulang.” Murni bermonolog. Harusnya ia tak perlu heran jika Herman belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah sejak kepergiannya pagi-pagi buta. Karena, ini bukan kali pertama lelaki itu seperti ini. Namun, terhitung sejak usia pernikahan mereka menginjak angka kedua. Tepatnya saat sang buah hati menapak usia satu setengah tahun. Saat itu juga Herman benar-benar berubah. Kelembutannya menghilang. Kasih sayangnya seakan sirna.
Tubuhnya yang hanya terbungkus kaos berlengan pendek rupanya tak tahan menerima terpaan angin basah bulan Desember. Lagipula, tidak ada gunanya juga berlama-lama berdiri di ambang pintu seorang diri. Manusia yang ia tunggu itu belum tentu juga akan menunjukkan batang hidungnya malam ini. Dengan terpaksa ia menutup pintu kembali rapat-rapat.
Diubah oleh ynurnun 30-12-2021 21:06




phyu.03 dan piendutt memberi reputasi
2
636
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan