Kaskus

Story

uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Azab Istri yang Tidak Bersyukur
Azab Istri yang Tidak Bersyukur


"Cuma segini?" tanyaku sembari mengacungkan sejumlah lembaran lecek di tangan.


"Iya, Dek. Tau sendiri, cuaca kayak gini. Hujan terus. Orang lebih milih naik angkutan umum ketimbang ojek. Itu pun kebanyakan dari orderan makanan." Lelaki bertubuh tegap itu mengempaskan tubuh ke sofa lusuh di sudut kontrakan sempit yang kami tempati.


"Emang Abang aja yang males. Gak niat bahagiain adek. Coba cari kerjanya lebih giat. Jauh-jauh merantau ke Jakarta buat hidup susah kayak gini. Adek cape, Bang! Bosan!" Cairan hangat mulai menggenangi kedua sudut netra.


Bang Yusrizal beranjak menghampiriku yang mematung di ambang pintu kamar. "Sabar, Dek. Abang udah berusaha ngelamar kerja sana-sini. Mungkin belum rezeki. Lagi pun meski sepi, hasil ngojek lebih dari cukup untuk keperluan sehari-hari dan bayar sewa kontrakan," tuturnya lembut sembari mencoba meraihku.


Kutepis tangannya kasar. "Ah, udahlah! Hidup itu gak cuma makan sama tidur doang, Bang! Adek pengen kayak temen-temen adek. Punya wajah glowing hasil perawatan skin care mahal, tiap bulan belanja baju dan pakaian bermerk. Gak kaya adek, dekil, kusam, bajunya juga itu-itu aja. Jangankan baju mahal, ganti daster aja jarang. Lagian adek malu punya suami tukang ojek!" ujarku sepahit empedu. Kemudian berlalu meninggalkannya ke kamar. Tak lupa sebelumnya membanting pintu keras-keras.


"Dek, cobalah sisa keperluan sehari-hari ditabung sedikit-sedikit. Biar cuma 10 ribu sehari kalau sebulan 'kan lumayan. Bisa dibelikan apa yang Adek mau. Jangan melulu melihat ke atas. Banyak yang jauh lebih tidak beruntung daripada kita. Do'akan abang segera dapat kerja yang layak, supaya bisa membahagiakan Adek," ujar Bang Yusrizal lesu di luar kamar.


Aku muak. Muak sekali dengan Bang Yusrizal. Seharusnya dulu aku tidak bersikeras menikah dengan lelaki miskin itu. Padahal, orang tuaku sudah menjodohkan dengan pria berpendidikan dari keluarga yang kaya raya. Bang Rifa'i namanya. Akan tetapi, bodohnya aku, malah memilih Bang Yus yang hanya tamatan SMA dengan pekerjaan serabutan karena tergoda ketampanannya. 


Sekarang, tanpa kehidupan yang layak, wajah tampan itu rasanya tidak ada gunanya. Meski tak dapat dipungkiri, ia pria yang lemah lembut dan selalu mengalah akan sikap aroganku. Tapi yaitu, tanpa uang semuanya memuakkan. Terlebih setelah satu tahun dia memboyongku merantau ke Jakarta, penyesalanku menikah dengannya semakin meluap-luap. Melamar kerja sana-sini tak dapat-dapat sehingga ia anteng jadi tukang ojek. Mengeluh pada orang tua pun aku malu. Lhah, orang Bang Yus ini pilihanku.


Hingga sore, aku masih anteng dengan ngambekku. Bukan kali pertama aku seperti ini. Tapi Bang Yus dengan sabar terus membujukku keluar dan makan makanan yang dimasaknya. 


Hampir setiap hari aku uring-uringan seperti ini. Jangankan membuatkan minum atau memasak air untuk dia mandi sepulang mencari nafkah, tersenyum pun aku enggan. Bahkan seperti sekarang, Bang Yus memasak sendiri makan malam kami. Terkadang aku iba, tapi rasa kecewa dan egoku lebih mendominasi.


Tanpa mengacuhkan bujukan Bang Yus, kuraih gawai, kemudian membuka aplikasi berlogo huruf F berwarna biru. Kuembuskan napas berat saat postingan sahabat-sahabatku berseliweran di beranda. Mereka sungguh beruntung. Punya suami berpenghasilan lebih dari cukup untuk merawat tubuh dan membeli pakaian-pakaian penunjang kemodisan tampilan mereka. Kucekal daster kumal yang kupakai. Sesak rasanya. Iri.


Gawai di genggaman bergetar. Satu permintaan pertemanan baru masuk. Mataku membulat melihat poto profilnya. 


Rifa'i Androsuseno


Ah, dia pangling sekali. Dulu aku menolaknya karena kurus kering dan rambut belah tengahnya. Norak sekali. Gak macho. Tapi sekarang, ia tampak gagah dengan tubuh kekar berisi dan penampilan khas konglomerat masa kini. Jiwa matrerialistisku meronta-ronta. Dan lagi, belum kudengar ia sudah berumah tangga. Kukonfirmasi pertemanannya.


Tak berapa lama, satu pesan masuk. Dadaku berdetak gak karuan. Dari Bang Rifa'i.


[Apa kabar, Ning?]


[Baik, Bang,] balasku dengan tangan bergetar gugup. 


Obrolan pun mengalir.


====


Huahh ... akhirnya aku bisa lepas dari Bang Yus. Meski awalnya bersikeras menolak perpisahan ini, akhirnya dia pasrah dengan berlinang air mata. Semua ini kulakukan karena ternyata Bang Rifa'i masih mencintaiku meskipun aku bukan gadis lagi. Kesempatan emas. Bodoh kalau disia-siakan.


Tak berapa lama, pernikahan kami pun dilangsungkan dengan meriah. Aku bak permaisuri dan Bang Rifa'i rajanya. Aku bahagia. Sangat bahagia. Bodohnya aku dulu lebih memilih Bang Yus ketimbang Bang Rifa'i.


"Ning, bangun! Sudah siang ini. Cepat buka toko dan siapkan keperluan kerjaku!" hardik Bang Rifa'i kasar. Selain bekerja di perusahaan perbankan, ia juga memiliki toko kelontongan pemberian orang tuanya. Lengkap dengan rumah yang kami tempati.


Baru pukul 03.30. Aku beranjak malas. Bang Rifa'i berubah setelah menikah. Padahal, selama berumah tangga dengan Bang Yus, aku terbiasa bangun saat waktu salat subuh, kemudian tidur lagi. Bahkan Bang Yus tidak pernah menuntutku menyiapkan sarapan untuknya. Segala pekerjaan rumah kuselesaikan siang setelah puas tidur.


Tak hanya itu, Bang Rifa'i juga melarangku memakai daster meskipun di dalam rumah. Penampilanku harus selalu modis dan menor. Padahal udara sangat panas. Tentu daster merupakan kostum ternyaman di cuaca terik. Tak disangka, daster lusuh yang selalu dirutuki bisa sangat kurindukan seperti ini.


Perkara makan juga menjadi persoalan. Bang Rifa'i melarangku makan terlalu banyak. Terlebih nasi dan makanan berlemak. Semua serba dibatasi. 


"Nanti badanmu gemuk gak karuan," ujarnya saat aku mengeluh belum kenyang. Tega sekali, dia hanya mengijinkanku makan sejumput salad sayur dan air putih. Rasanya juga tak cocok di lidah. Tiba-tiba aku rindu ketoprak yang sering Bang Yus belikan untuk sarapan. Seringkali kutolak mentah-mentah dengan alasan bosan.


Sungguh percuma. Banyak harta, tapi tak dapat menikmati hidup sama sekali. Istirahat kurang, tidak bisa makan makanan lezat sepuasku, bahkan memakai pakaian yang nyaman pun tidak boleh. Apa bedanya dengan hidup tanpa harta? Bahkan ini lebih menyiksa.


Bang Yus ... bahkan dia tak pernah melarangku jajan bakso, cilok dan seblak setiap hari. Padahal, kalau ditabung uangnya cukup untuk beli skin care dan daster baru setiap bulan. Ah, betapa tidak bersyukurnya aku.


Tak cukup sampai di situ, Bang Rifa'i juga mulai sering pulang larut malam dan bersikap berbeda padaku. Aku tidak diperbolehkan membuka gawainya sama sekali. Hingga akhirnya aku tau ia main gila dengan rekan kerjanya. Sialan!


Aku marah, tapi dia malah lebih ganas dan mengusirku. Serta katanya ia akan menceraikanku. 


Dengan berlinang air mata, aku pergi dari rumah Bang Rifa'i. Ah, aku harus menemui Bang Yus dan minta maaf. Dia sangat mencintaiku, pasti Bang Yus akan memaafkan dan menerimaku kembali.


Namun, betapa terkejutnya aku. Saat sampai di kediaman mertuaku--orang tua Bang Yus--tengah diadakan pesta pernikahan di mana pengantinnya ialah Bang Yus dan Siti yang dulu memperebutkan Bang Yus denganku. Hati ini hancur berkeping-keping.


Tepat saat Bang Yus hendak memasangkan cincin ke jemari Siti, aku tersentak bangun dengan peluh membanjiri sekujur tubuh. Jantung terasa melompat-lompat.


Ya Rabb ... ternyata aku mimpi. Kulirik jam, pukul 04.00. Aku tertidur dari pukul 17.00 kemarin. Selama itu aku tidur dan bermain sinetron azab di mimpiku.


Perlahan, aku bangkit. Pelan membuka pintu. Seketika hatiku terenyuh. Tampak Bang Yus tidur meringkuk beralaskan tikar koyak tanpa bantal dan selimut. Tak terbayang berapa nyamuk yang menikmati darah segar di tubuhnya. Ditambah baju bekas ngojek belum ia salin karena pintu kamar dikunci.


Gontai. Kuhampiri dan duduk di sebelahnya. Wajah tampan itu kini kusam, kulitnya yang dulu bersih kini hitam legam terpapar matahari. Air mataku luruh seketika. Menyesal karena selama ini tak pernah menghargai jerih payah dan pengorbanannya. Bahkan, ia berhenti merokok supaya pendapatannya utuh diberikan padaku.


Kupeluk tubuhnya erat dari belakang sembari tersedu. Ia terbangun dan berbalik. tampak kaget.


"Dik, kenapa nangis?" Gelagapan ia mengelap pipi yang basah, kemudian dibalasnya pelukanku sembari mengusap-ngusap rambutku. Berusaha menenangkan.


"Maafin adek, ya, Bang. Adek istri durhaka," lirihku di sela tangis.


"Lhoh, adek kenapa? Mimpi buruk, ya? Adek tidur lama sekali dari kemarin sore."


"Adek banyak salah sama Abang," ucapku lagi.


"Abang yang harus minta maaf, Dek. Abang gak bisa penuhin keinginan Adek," lirihnya penuh nada bersalah.


Setelah itu aku sadar, kehidupan orang lain yang seringkali membuat kita iri kadangkala tak lebih baik dari kehidupan yang kita miliki.


Baru aku ingat, Reni harus rela menjadi istri ketiga om-om kaya agar bisa hidup mewah. Dan beberapa bulan lalu, Rini terjerat banyak utang yang tidak sedikit karena gaya hidupnya yang berlebihan. Mereka adalah sahabat-sahabatku yang seringkali membuatku iri dan tak pernah mensyukuri hidup.


Kunci kebahagiaan itu adalah, mensyukuri apa yang kita miliki tanpa membanding-bandingkan dengan apa yang dimiliki orang lain. Tidak ada hidup yang sempurna. Semua, tergantung cara kita menjalaninya.


Jan tanya kenapa nikahannya di rumah orang tua Yusrizal, bukan di rumah Orang tua Siti. Namanya juga mimpi!


Bukan kisah ane sendiri ✌



Mau baca cerita-cerita lain karya ane? Mampir ke akun KBM app dengan username UnieVejvongsa24. Jangan lupa follow dan subscribe!
Diubah oleh uniekirdpan 22-12-2021 18:03
Rainbow555Avatar border
tiatiatiaAvatar border
redricesAvatar border
redrices dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.4K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan