Mengenal Baharuddin Lopa, Jaksa Agung Tanpa Rasa Takut
TS
LordFaries4.0
Mengenal Baharuddin Lopa, Jaksa Agung Tanpa Rasa Takut
Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H. (27 Agustus 1935 – 3 Juli 2001) adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001. Baharuddin Lopa juga adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas HAM.
Baharuddin Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani. Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.
Lopa, mantan Dubes RI untuk Saudi, dirawat di ruang khusus rumah sakit swasta di Riyadh itu sejak tanggal 30 Juni. Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat. Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.
Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam. Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat. Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00 waktu setempat) dilarikan ke RS Al-Hamadi.
Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.
Ia meninggal dunia di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB di Arab Saudi akibat gangguan pada jantungnya. Pada tanggal 5 Juli 2001 pukul 14.25 Pesawat Garuda Indonesia dari Riyadh membawa jenazah Lopa pulang ke tanah air. Kesokaan harinya Jenazah Baharuddin Lopa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Upacara Militer yang dipimpin oleh Menkopolhukam Agum Gumelar.
Menjadi Bupati, Menteri, Hingga Jaksa Agung
Spoiler for Isi:
Pada 1958, Lopa memulai karier sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Ujungpandang, yang sekarang menjadi Kejaksaan Negeri Makassar. Kemudian, pada usianya menginjak 25 tahun, dia diangkat menjadi Bupati Majene. Usia bupati yang tergolong muda.
Lopa kembali berkarier di ranah hukum, sebagai seorang jaksa. Pada 1964, dia menjabat sebagai kepala Kejaksaan Ternate hingga 1966. Selanjutnya, dia menjabat sebagai kepala Kejaksaan Sulawesi Tenggara hingga 1970.
Di berbagai daerah lainnya, Lopa juga menjabat sebagai kepala Kejaksaan, seperti di Aceh pada 1970 hingga 1974 dan Kalimantan Barat pada 1974 hingga 1976. Setelah itu, Lopa dimutasi ke Jakarta untuk mengemban jabatan sebagai Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung hingga 1982.
Pada 1982 hingga 1986, Lopa kembali ditugaskan sebagai kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel di Makassar. Pada 1988, Lopa diberi jabatan sebagai Direktur Jenderal Lembaga Permasyarakatan hingga 1995.
Ketika KH Aburrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden RI, Lopa ditunjuk menjadi Menteri Kehakiman dan HAM pada 9 Februari 2001. Sekitar empat bulan menjabat sebagai menteri, Lopa dialih tugaskan menjadi Jaksa Agung.
Lopa Tak Menerima Hadiah Dalam Bentuk Apapun
Spoiler for Isi:
Kepatuhan Lopa pada hukum, tampak pada sikapnya yang tak ingin menerima barang dalam bentuk apapun sebagai hadiah. Haram bagi Lopa menerima sogokan dalam bentuk apapun.
Pada 1982, Lopa ditugaskan sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan di Makassar. Ketika itu, dia wanti-wanti kepada anak buahnya agar tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun.
Menjelang hari raya Lebaran, Lopa mengumpulkan anak buahnya untuk mengingatkan agar tak menerima parsel. Menjelang Lebaran, dia melihat ada dua parsel di rumahnya. Dengan raut wajah masam, Lopa bertanya kepada seisi rumahnya.
“Siapa yang kirim parsel ke sini!?” tanya Lopa.
Seisi rumah pun tak ada yang menjawab. Kemudian, Lopa melihat salah satu parsel yang sedikit terkelupas. Lopa pun bertanya kembali.
“Siapa yang membuka parsel ini!?” tanya Lopa, lagi.
Tak lama kemudian, seorang putrinya menghampiri Lopa untuk meminta maaf, karena telah membuka parsel dan mengambil sepotong cokelat dalam parsel tersebut. Lopa kemudian meminta anaknya yang lain membeli cokelat dengan ukuran dan jenis yang sama, untuk mengganti cokelat di parsel tersebut.
Kasus Besar Yang Ditangani Lopa
Spoiler for Isi:
Ketika menjabat sebagai Bupati Majene, Lopa dengan berani menentang Andi Selle. Tak ada yang berani melawan Andi, karena seorang Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya dengan melakukan penyelundupan.
Ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Lopa menyeret seorang pengusaha besar yang dikenal kebal hukum. Dengan keberaniannya, Lopa berhasil menyeret Tony Gosal ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi senilai Rp2 miliar. Namun di persidangan, Tony dibebaskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dari segala tuntutan.
Lopa pernah mengutus Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Chalid Karim Leo, untuk melacak keberadaan tersangka mark-up Hutan Tanaman Industri, Prajogo Pangestu. Prajogo, yang sudah beberapa kali diperiksa dalam kasus mark-up hutan tanaman industri melalui PT. Musi Hutan Persada di Sumatra Selatan yang merugikan negara sekitar Rp 331 miliar dan penyalahgunaan dana reboisasi senilai Rp 1 triliun lebih, ketika itu mengaku tengah berobat di Singapura. Ragu akan klaim Prajogo, Lopa tancap gas mengaktifkan kembali status tersangka Prajogo yang sudah lama dipetieskan karena jejaknya yang misterius.
Sambil menelusuri jejak Prajogo, Lopa juga menguber bos Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, tersangka kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menilap uang negara hingga Rp 7,28 triliun. Sjamsul yang ketika itu mengaku tengah berobat ke Jepang, membuat Lopa penasaran. “Mengapa harus di Jepang kalau di Indonesia bisa diobati," cecar Lopa penasaran. Karenanya, Lopa mewanti-wanti anak buahnya agar tersangka kasus kakap jangan sampai lolos.
Kasus besar lain yang juga dibuka Lopa adalah penggelapan dana non-neraca Badan Urusan Logistik (Bulog) yang melibatkan nama politikus Golongan Karya, Akbar Tandjung. Dana senilai hampir Rp 90 miliar itu diduga bocor dan masuk ke kas partai berlambang beringin ketika Bulog dikepalai Rahardi Ramelan. Rinciannya, Rp 71 miliar keluar selama Rahardi menjabat dan disusul pengeluaran lain senilai Rp 19 miliar. Perintah penarikan dana turun pada 27 Agustus 1998, hanya sehari sesudah Rahardi dilantik sebagai Kepala Bulog.
Ketika membedah kasus yang melibatkan bekas partai penguasa ini, Lopa mendapati penarikan lebih intensif pada bulan-bulan kampanye jelang pemilihan umum yaitu antara Maret-Juni 1999. Lopa sampai berkirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa Arifin Panigoro, Nurdin Halid, dan Akbar Tanjung. Esoknya, Gus Dur langsung menurunkan lampu hijau bagi Lopa.
Tak selamanya mulus, Lopa dihadapkan pada pertentangan sengit dalam lingkungan kejaksaan ketika hendak mencabut Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) kasus utang macet Rp 9,8 triliun Marimutu Sinivasan kepada BRI dan BNI 46 yang semua utangnya diserahkan ke BPPN. Sebagian anak buahnya menilai kasus yang melibatkan dua engineering milik Sinivasan, Polysindo Eka Perkasa dan Texmaco Perkasa itu tak cukup bukti.
Pandangan ini serta-merta diserang jaksa lain yang telah mengumpulkan bukti sangat kuat untuk menjerat Sinivasan. Panas dingin Sinivasan ini dikabarkan sampai menyebabkan bos Texmaco itu mengajak Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Rachman, S.H. menghadap Gus Dur di Istana Merdeka dan meyakinan Presiden bahwa kasus Texmaco lemah bukti.
Mengejar Soeharto
Spoiler for Isi:
Dari sekian kasus besar yang lekas dibedah Lopa sesudah menjabat Jaksa Agung, ada satu kasus paling ambisius yang membuatnya gemas sejak semula, yakni kekayaan Soeharto. Sesuai hasil penelusuran Transparency International pada 1998, keluarga Soeharto ditaksir telah membegal uang negara hingga US$ 30 miliar selama memerintah. Maka itu, alih-alih hendak memidanakan, Lopa memilih mengejar Soeharto untuk diganjar sanksi perdata.
Kegemasan Lopa terlihat dari tulisan-tulisannya di media massa yang kemudian diterbitkan Penerbit Buku Kompas dengan judul Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001). Salah satunya, ketika Lopa mencecar kejaksaan yang mengulur-ulur pengusutan korupsi keluarga Cendana. “Saya ingin bertanya kepada Jaksa Agung, sudahkah diteliti betul-betul pemberkasan kasus Soeharto itu? Apakah saksi-saksinya sudah cukup dan memberi keterangan yang berarti? Sudah adakah barang bukti yang akan diajukan? Sudahkah dilakukan penyitaan sementara terhadapnya?" (2001, hlm.119).
Lebih lanjut, Lopa memaparkan, “Yang kita inginkan ialah berjalannya proses pidana yang fair, terbuka, dan tidak menyimpang dari asas peradilan yang adil. Sebab, yang dicita-citakan dari proses penyidangan perkara itu, ialah suatu putusan yang adil, bukan menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi bukan juga membebaskan orang yang bersalah," (2001, hlm. 121).
Dalam tulisan lain, Lopa menyayangkan mereka yang masih berkutat dan menyoal berapa uang negara yang dikorupsi Soeharto dan anak-anaknya. Bagi Lopa, perdebatan tentang nominal yang dicoleng keluarga Soeharto bukan soal yang terlalu mendesak, sebab menurutnya, “Yang penting bagi rakyat, adalah agar kekayaan yang seluruhnya atau sebagiannya diperoleh secara tidak wajar, segera disita/dirampas dan digunakan untuk menolong kehidupan rakyat dalam memenuhi kebutuhan bahan pokok. Aset itu berasal dari rakyat. Karena itu, harus pula kembali kepada rakyat" (2001, hlm. 112).
Yang menarik dari sosok Lopa, ketika mengusut kasus Soeharto, dia ikut menjemput Soeharto dan Lee Kuan Yew di Bandara Hasanuddin. Demi menjaga integritasnya, dia menolak mengantarkan sampai ke hotel dan tak mau hadir ke jamuan makan malam. Ketika itu, semua pejabat Sulsel menghadiri jamuan makan malam tersebut.
"Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik," kata Lopa, menolak jamuan makan malam tersebut.
Tak sampai di situ, ketika menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, Lopa juga berhasil menjebloskan pengusaha Bob Hasan ke Nusa Kambangan. Pada saat itu, Bob adalah seorang pengusaha kelas kakap keluarga Soeharto. Keberanian dan ketegasannya dalam bertindak, menjadi momok bagi kalangan koruptor.
Lopa Menambah Penghasilan Melalui Tulisan
Spoiler for Isi:
Bagi Lopa, menjalani kehidupan sederhana adalah bagian memegang prinsip kejujuran dan integritas. Karena itu, untuk menambah penghasilannya, dia rajin menulis kolom di berbagai majalah dan surat kabar.
Pada Juni 2001 atau sebulan sebelum wafat, Lopa menelepon redaksi majalah Tempo untuk menanyakan kolom yang telah dikirimnya yang belum dimuat. Redaksi majalah Tempo sebenarnya nyaris menolak kolom tersebut, karena isinya dianggap biasa tentang masalah narkoba.
Pada akhirnya, redaksi memutuskan memuat tulisan hasil karya Lopa. Ketika itu, redaktur kolom Tempo ditugaskan mewawancarai dia untuk menambah kedalaman isi kolom tersebut. Tapi kolom tersebut menjadi catatan terakhir yang dibuat Lopa, karena dia meninggal dunia.
Lopa Wafat Setelah Ibadah Umrah Di Tanah Suci
Spoiler for Isi:
Lopa tiba di Riyadh pada 26 Juni 2001, untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin yang diselenggarakan pada 27 Juni 2001. Pada 28 Juni 2001, Lopa dan istri serta rombongannya menyempatkan ibadah umrah di Makkah.
Pada 29 Juni 2001, Lopa melaksanakan salat subuh di Masjidil Haram. Pada malamnya, dia bersama rombongan kembali ke Riyadh. Pada saat itu, daya tahan tubuh dia mengalami gangguan, akibat melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti.
Tepat pada 30 Juni, Lopa dilarikan ke Rumah Sakit Al-Hamaidi karena mual-mual. Setelah dirawat beberapa hari, dia dinyatakan meninggal dunia. Lopa dinyatakan wafat di RS Al-Hamaidi, Riyadh, pada 3 Juli 2001, akibat gangguan pada jantung. Jenazahnya
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 6 Juli 2001.
Ketika itu, Presiden Gus Dur tiba-tiba terhenyak. Dia masuk ke kamar mengurung diri dan saat keluar dari kamar, dia bergelinang air mata.
“Malam ini, salah satu tiang langit Indonesia telah runtuh,” ucap Gus Dur, ketika keluar dari kamarnya.
Tak ada satu pun yang paham maksud ucapan tersebut. Sampai akhirnya, sekitar tiga jam kemudian datang berita Lopa telah dipanggil Allah SWT untuk selamanya. Ternyata, yang dimaksud Gus Dur sebagai "tiang langit" adalah sosok Lopa si pendekar hukum yang melegenda.