- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Soetami, Menteri Termiskin Di Indonesia


TS
LordFaries4.0
Soetami, Menteri Termiskin Di Indonesia

Prof. Dr. (H.C.) Ir. Sutami atau Soetami (19 Oktober 1928 – 13 November 1980) adalah seorang insinyur sipil yang pernah menjabat Menteri Pekerjaan Umum Indonesia. Ia sudah menjadi Menteri sejak tahun 1964 pada Kabinet Dwikora I masa pemerintahan Presiden Soekarno sebagai Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk urusan penilaian konstruksi hingga tahun 1978 pada Kabinet Pembangunan II masa pemerintahan Presiden Soeharto selama 13,5 tahun.
Ir. Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum "terlama" dengan masa jabatan selama 12 tahun pada 6 kabinet[note 3] dihitung sejak menjabat Menteri Koordinator Kompartimen Pekerjaan Umum dan Tenaga pada Kabinet Dwikora II (22 Februari 1966).
Karier
Spoiler for Isi:
Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk urusan penilaian konstruksi pada Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966)
Menteri Koordinator Kompartimen Pekerjaan Umum dan Tenaga pada Kabinet Dwikora II (22 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
Menteri Pekerjaan Umum dan Energi pada Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Ampera I (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Ampera II (17 Oktober 1967 - 6 Juni 1968)
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik pada Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968 - 28 Maret 1973)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Pembangunan II (28 Maret 1973 - 29 Maret 1978)
Menteri Koordinator Kompartimen Pekerjaan Umum dan Tenaga pada Kabinet Dwikora II (22 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
Menteri Pekerjaan Umum dan Energi pada Kabinet Dwikora III (28 Maret 1966 - 25 Juli 1966)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Ampera I (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Ampera II (17 Oktober 1967 - 6 Juni 1968)
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik pada Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968 - 28 Maret 1973)
Menteri Pekerjaan Umum pada Kabinet Pembangunan II (28 Maret 1973 - 29 Maret 1978)

Menyelamatkan Pulau Jawa
Spoiler for Isi:
Sutami lahir pada 19 Oktober 1928 dari keluarga sederhana di Solo. Ayahnya, Raden Ngabehi Mloyowiguno, adalah pegawai karawitan Keraton Surakarta. Melalui bimbingan sang ayah, Sutami belajar menabuh gamelan dan menari. Selain seni, sang ayah juga mengajari Sutami agar terbiasa hidup dengan mengemban nilai-nilai kejawaan.
Takdir hidup Sutami ternyata tidak membawanya ke jalur seni. Begitu mengenal pelajaran hitung menghitung, Sutami malah lupa kepada hobi lamanya itu. Ia jadi keranjingan pada pelajaran aljabar dan mulai terobsesi mengejar cita menjadi insinyur. Maka dikejarlah impian itu sampai ke Bandung. Pada 1950 Sutami pun resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (ITB).
Setelah lulus pada 1956, ia langsung magang menjadi asisten pengajar mata kuliah Beton Bertulang di Akademi Teknik Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga di Bandung. Berkat keuletannya, tidak sampai lima tahun dia sudah ditunjuk menjabat Direktur Utama Perusahaan Negara Hutama Karya yang bertanggung jawab menyelenggarakan sejumlah Proyek Mercusuar Sukarno.
Menjelang Asian Games IV pada 1962 di Jakarta, Sutami sempat diberi tugas memperkuat sejumlah bangunan di Senayan, termasuk Stadion Utama Senayan. Dari sana Sutami menemukan teori perhitungan beton yang lebih baik bernama teori ultimate strength design. Teori ini kembali dipergunakannya untuk membangun Gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces) pada 1965. Di masa Orde Baru gedung berkubah sayap semen ini berubah menjadi Gedung DPR/MPR.
Pada masa Orde Baru Sutami tidak banyak mengurusi proyek-proyek bangunan politik lagi. Hal ini memang sesuai dengan pandangan hidupnya yang menganggap insinyur harus punya sikap netral dan objektif.
“Politikus bisa berbohong, tetapi sangat mustahil bagi teknisi untuk memanipulasi fakta," kata Sutami.
Barangkali kedekatan Sutami dengan kebudayaan Jawa yang membuatnya cocok dengan Soeharto. Sutami tidak membutuhkan waktu lama untuk menerjemahkan visi pembangunan Orde Baru ke dalam serangkaian proyek.
Sepanjang masa jabatannya sebagai Menteri PU di Kabinet Pembangunan, Sutami banyak memelopori pembangunan waduk besar, pembuatan saluran irigasi tersier, dan pusat-pusat tenaga listrik. George J. Aditjondro melalui makalah “Large Dam Victims and Their Defenders" yang dimuat dalam The Politics of Environment in Southeast Asia (2005: 32) secara spesifik menyebut proyek-proyek Sutami sebagai monumen pembangunan Orde Baru.
Menurut Sutami, sebagaimana dipaparkan Aditjondro, pulau Jawa telah menanggung beban yang sangat berat sehingga sangat rawan terjadi bencana ekologis. Oleh karena itu, Jawa harus diselamatkan dengan jalan membangun lebih banyak waduk dan memindahkan sebagian penduduknya ke tempat pulau lain melalui program transmigrasi.
“Pulau Jawa saat ini sedang menderita penyakit kronis. Hutan lindung sudah sangat berkurang, jauh di bawah presentasi minimal. Erosi terus menerus terjadi. Tanah mulai kritis dan sungai menjadi dangkal. […] oleh karena itu dalam melakukan pembangunan harus diselipkan di dalamnya pengertian tentang konsolidasi wilayah," kata Sutami seperti dikutip Kompas (15/11/1980).
Takdir hidup Sutami ternyata tidak membawanya ke jalur seni. Begitu mengenal pelajaran hitung menghitung, Sutami malah lupa kepada hobi lamanya itu. Ia jadi keranjingan pada pelajaran aljabar dan mulai terobsesi mengejar cita menjadi insinyur. Maka dikejarlah impian itu sampai ke Bandung. Pada 1950 Sutami pun resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (ITB).
Setelah lulus pada 1956, ia langsung magang menjadi asisten pengajar mata kuliah Beton Bertulang di Akademi Teknik Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga di Bandung. Berkat keuletannya, tidak sampai lima tahun dia sudah ditunjuk menjabat Direktur Utama Perusahaan Negara Hutama Karya yang bertanggung jawab menyelenggarakan sejumlah Proyek Mercusuar Sukarno.
Menjelang Asian Games IV pada 1962 di Jakarta, Sutami sempat diberi tugas memperkuat sejumlah bangunan di Senayan, termasuk Stadion Utama Senayan. Dari sana Sutami menemukan teori perhitungan beton yang lebih baik bernama teori ultimate strength design. Teori ini kembali dipergunakannya untuk membangun Gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces) pada 1965. Di masa Orde Baru gedung berkubah sayap semen ini berubah menjadi Gedung DPR/MPR.
Pada masa Orde Baru Sutami tidak banyak mengurusi proyek-proyek bangunan politik lagi. Hal ini memang sesuai dengan pandangan hidupnya yang menganggap insinyur harus punya sikap netral dan objektif.
“Politikus bisa berbohong, tetapi sangat mustahil bagi teknisi untuk memanipulasi fakta," kata Sutami.
Barangkali kedekatan Sutami dengan kebudayaan Jawa yang membuatnya cocok dengan Soeharto. Sutami tidak membutuhkan waktu lama untuk menerjemahkan visi pembangunan Orde Baru ke dalam serangkaian proyek.
Sepanjang masa jabatannya sebagai Menteri PU di Kabinet Pembangunan, Sutami banyak memelopori pembangunan waduk besar, pembuatan saluran irigasi tersier, dan pusat-pusat tenaga listrik. George J. Aditjondro melalui makalah “Large Dam Victims and Their Defenders" yang dimuat dalam The Politics of Environment in Southeast Asia (2005: 32) secara spesifik menyebut proyek-proyek Sutami sebagai monumen pembangunan Orde Baru.
Menurut Sutami, sebagaimana dipaparkan Aditjondro, pulau Jawa telah menanggung beban yang sangat berat sehingga sangat rawan terjadi bencana ekologis. Oleh karena itu, Jawa harus diselamatkan dengan jalan membangun lebih banyak waduk dan memindahkan sebagian penduduknya ke tempat pulau lain melalui program transmigrasi.
“Pulau Jawa saat ini sedang menderita penyakit kronis. Hutan lindung sudah sangat berkurang, jauh di bawah presentasi minimal. Erosi terus menerus terjadi. Tanah mulai kritis dan sungai menjadi dangkal. […] oleh karena itu dalam melakukan pembangunan harus diselipkan di dalamnya pengertian tentang konsolidasi wilayah," kata Sutami seperti dikutip Kompas (15/11/1980).

Bangun Jembatan Semanggi dan Gedung DPR
Spoiler for Isi:
Pada era Sutami, dibangun Jembatan Semanggi Jakarta yang hingga kini menjadi salah satu ikon Jakarta. Ia juga mengawasi proyek raksasa, seperti Gedung DPR, Waduk Jatiluhur, dan Bandara Ngurah Rai.
Tidak hanya sederhana, Sutami juga memiliki keahlian aristektur yang luar biasa. Kubah Gedung MPR/DPR berwarna hijau seperti kura-kura menjadi salah satu bukti kehebatan Ir Sutami.
Kompleks MPR/DPR itu merupakan hasil rancangan arsitek lulusan Berlin, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan salah satu stafnya, Ir Nurpontjo.
Kompleks itu dibangun untuk menggelar Conference of the New Emerging Force (Conefo), dan bangunannya harus bisa menandingi gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Semula atapnya akan berbentuk kubah murni. Namun, Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan bahwa hal itu akan memunculkan masalah serius.
Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah. Sutami kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya.
Dia menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda dari prinsip struktur kantilever pada pesawat terbang.
Ir Sutami juga menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.
Tidak hanya sederhana, Sutami juga memiliki keahlian aristektur yang luar biasa. Kubah Gedung MPR/DPR berwarna hijau seperti kura-kura menjadi salah satu bukti kehebatan Ir Sutami.
Kompleks MPR/DPR itu merupakan hasil rancangan arsitek lulusan Berlin, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan salah satu stafnya, Ir Nurpontjo.
Kompleks itu dibangun untuk menggelar Conference of the New Emerging Force (Conefo), dan bangunannya harus bisa menandingi gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Semula atapnya akan berbentuk kubah murni. Namun, Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan bahwa hal itu akan memunculkan masalah serius.
Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah. Sutami kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya.
Dia menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda dari prinsip struktur kantilever pada pesawat terbang.
Ir Sutami juga menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, yang kini menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan.

Proyek untuk Rakyat
Spoiler for Isi:
Hendropranoto dalam tulisannya di majalah Prisma sempat menyinggung kegemaran Sutami hidup dalam kesederhanaan. Ia acap kali kedapatan menolak fasilitas-fasilitas menteri dan tidak suka merepotkan siapapun. Tidak heran jika pada akhirnya ada yang menjulukinya dengan sebutan “menteri termiskin".
Sifat Sutami yang tidak suka bermewah-mewah barangkali lahir dari aktivitas yang dikembangkannya semenjak menjadi Menteri PU masa Orde Baru. Sutami kerap berkeliling ke pelosok untuk meninjau lokasi tujuan transmigrasi yang bermasalah. Bahkan pada suatu waktu, Sutami rela berjalan jauh untuk meninjau lokasi setelah mendapat keluhan dari Soeharto yang menyinggung kelayakan lahan transmigrasi di sekitar Jambi.
Begitu besar perhatian Sutami pada pembangunan di tingkat bawah, sebagai menteri ia malah lebih sering mengurusi pembangunan jembatan desa atau irigasi kecil. Baginya, pembangunan sepatutnya langsung bermanfaat bagi rakyat kecil, ketimbang pembangunan-pembangunan raksasa yang menunjang ke arah perluasan industri.
“Gunung berapi, irigasi dan jembatan adalah pacar-pacar saya," kata Sutami seperti dikutip Tempo (22/11/1980).
Sikap dan ucapan Sutami yang membumi juga diakui oleh hampir semua orang yang dekat dengan sosoknya. Menurut mereka, pria kurus yang kuat berjalan kaki berjam-jam untuk blusukan ini bukan hanya “orang baik," tetapi juga teknokrat ulung yang belajar nilai-nilai kerakyatan dari alam dan sistem kewilayahan.
“Pak Sutami adalah intelektual yang merakyat. Ia ingin menjadi bagian yang integral dari masyarakat. Dari kehidupannya sehari-hari, ia adalah orang yang sederhana. Dari pemikiran intelektualnya, kerakyatan itu nampak dalam konsep ilmu wilayahnya," kata Sukadji Ranuwihardjo, rektor Universitas Gadjah Mada masa bakti 1973-1981, seperti dikutip Kompas (15/11/1980).
Di luar predikatnya sebagai “menteri termiskin", Sutami memang bukan menteri biasa. Ia dikenal sebagai Menteri Pekerjaan Umum dengan masa jabatan paling lama dalam sejarah kabinet di Indonesia. Jabatan ini dipangkunya selama hampir 12 tahun mulai dari 1966 hingga 1978. Di bawah pemerintahan Sukarno, Sutami juga sempat menjabat Menteri Negara urusan penilaian konstruksi pada usia 35 tahun.
Saat terjadi pelimpahan jabatan dalam Kabinent Pembangunan Orde Baru pada 29 Maret 1978, Sutami tidak lagi menerima jabatan menteri. Mundurnya Sutami dari pemerintahan ini terjadi lantaran kondisi kesehatannya yang semakin memburuk sejak awal tahun 1977. Menurut sejumlah pewartaan, penyakitnya ini ditimbulkan akibat kekurangan gizi dan kelelahan.
“Akibat sakitnya inilah yang menyebabkan Sutami meminta pada Presiden agar bisa berhenti menjadi menteri PU," tulis Tempo (22/11/1980).
Sifat Sutami yang tidak suka bermewah-mewah barangkali lahir dari aktivitas yang dikembangkannya semenjak menjadi Menteri PU masa Orde Baru. Sutami kerap berkeliling ke pelosok untuk meninjau lokasi tujuan transmigrasi yang bermasalah. Bahkan pada suatu waktu, Sutami rela berjalan jauh untuk meninjau lokasi setelah mendapat keluhan dari Soeharto yang menyinggung kelayakan lahan transmigrasi di sekitar Jambi.
Begitu besar perhatian Sutami pada pembangunan di tingkat bawah, sebagai menteri ia malah lebih sering mengurusi pembangunan jembatan desa atau irigasi kecil. Baginya, pembangunan sepatutnya langsung bermanfaat bagi rakyat kecil, ketimbang pembangunan-pembangunan raksasa yang menunjang ke arah perluasan industri.
“Gunung berapi, irigasi dan jembatan adalah pacar-pacar saya," kata Sutami seperti dikutip Tempo (22/11/1980).
Sikap dan ucapan Sutami yang membumi juga diakui oleh hampir semua orang yang dekat dengan sosoknya. Menurut mereka, pria kurus yang kuat berjalan kaki berjam-jam untuk blusukan ini bukan hanya “orang baik," tetapi juga teknokrat ulung yang belajar nilai-nilai kerakyatan dari alam dan sistem kewilayahan.
“Pak Sutami adalah intelektual yang merakyat. Ia ingin menjadi bagian yang integral dari masyarakat. Dari kehidupannya sehari-hari, ia adalah orang yang sederhana. Dari pemikiran intelektualnya, kerakyatan itu nampak dalam konsep ilmu wilayahnya," kata Sukadji Ranuwihardjo, rektor Universitas Gadjah Mada masa bakti 1973-1981, seperti dikutip Kompas (15/11/1980).
Di luar predikatnya sebagai “menteri termiskin", Sutami memang bukan menteri biasa. Ia dikenal sebagai Menteri Pekerjaan Umum dengan masa jabatan paling lama dalam sejarah kabinet di Indonesia. Jabatan ini dipangkunya selama hampir 12 tahun mulai dari 1966 hingga 1978. Di bawah pemerintahan Sukarno, Sutami juga sempat menjabat Menteri Negara urusan penilaian konstruksi pada usia 35 tahun.
Saat terjadi pelimpahan jabatan dalam Kabinent Pembangunan Orde Baru pada 29 Maret 1978, Sutami tidak lagi menerima jabatan menteri. Mundurnya Sutami dari pemerintahan ini terjadi lantaran kondisi kesehatannya yang semakin memburuk sejak awal tahun 1977. Menurut sejumlah pewartaan, penyakitnya ini ditimbulkan akibat kekurangan gizi dan kelelahan.
“Akibat sakitnya inilah yang menyebabkan Sutami meminta pada Presiden agar bisa berhenti menjadi menteri PU," tulis Tempo (22/11/1980).

Akhir Hayat
Spoiler for Isi:
Kondisi miris Sutami semakin terlihat setelah ia tak lagi menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum
Hal ini berdasarkan keterangan Staf Ahli Menteri PU, Hendropranoto Suselo dalam Edisi Khusus 20 tahun Majalah Prisma yang diterbitkan LP3ES tahun 1991 di Jakarta.
Ketika itu, Sutami masih menjabat sebagai Menteri PU dan Tenaga Listrik.
Saat Lebaran, rumah Sutami di ramai dikunjungi tamu.
Tapi tamu yang datang malah terkaget-kaget. Mereka melihat ke atap dan banyak bekas bocor pada langit-langit rumah.
Rupanya sudah lama rumah Sutami bocor. Padahal Sutami sudah enam kali menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
Di bawah pengawasannya, proyek raksasa seperti Gedung DPR, Jembatan Semanggi, dan Waduk Jatiluhur, dibangun.
Sutami pula yang memimpin proyek pembangunan Bandara Ngurah Rai.
Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan.
Bahkan rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat dibeli dengan cara menyicil. Baru saat akan pensiun, rumah itu lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan.
Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara. Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil.
Pengusaha itu tahu mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus Sutami menolak. Dia hanya minta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah tergoda untuk korupsi. Penampilan dan tindakannya tetap bersahaja.
Suatu ketika PLN pernah mencabut listrik di rumah pribadinya di Solo.
Menteri Sutami ternyata pernah kekurangan uang hingga telat bayar listrik.
Yang menyedihkan, Sutami sempat takut dirawat di rumah sakit. Ternyata dia tidak punya uang untuk bayar rumah sakit.
Baru setelah pemerintah turun tangan, Sutami mau juga diopname. Presiden Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit.
Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Sutami menginggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever.
Tanggal 16 Desember 1981, Presiden Soeharto meresmikan Bendungan Karangkates, Sumberpucung, Kabupaten Malang.
Soeharto membacakan pidato penghormatannya untuk Sutami. Dia pun memberi nama Bendungan Karangkates sebagai nama Bendungan Sutami.
Hal ini berdasarkan keterangan Staf Ahli Menteri PU, Hendropranoto Suselo dalam Edisi Khusus 20 tahun Majalah Prisma yang diterbitkan LP3ES tahun 1991 di Jakarta.
Ketika itu, Sutami masih menjabat sebagai Menteri PU dan Tenaga Listrik.
Saat Lebaran, rumah Sutami di ramai dikunjungi tamu.
Tapi tamu yang datang malah terkaget-kaget. Mereka melihat ke atap dan banyak bekas bocor pada langit-langit rumah.
Rupanya sudah lama rumah Sutami bocor. Padahal Sutami sudah enam kali menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
Di bawah pengawasannya, proyek raksasa seperti Gedung DPR, Jembatan Semanggi, dan Waduk Jatiluhur, dibangun.
Sutami pula yang memimpin proyek pembangunan Bandara Ngurah Rai.
Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan.
Bahkan rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat dibeli dengan cara menyicil. Baru saat akan pensiun, rumah itu lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan.
Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara. Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil.
Pengusaha itu tahu mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus Sutami menolak. Dia hanya minta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah tergoda untuk korupsi. Penampilan dan tindakannya tetap bersahaja.
Suatu ketika PLN pernah mencabut listrik di rumah pribadinya di Solo.
Menteri Sutami ternyata pernah kekurangan uang hingga telat bayar listrik.
Yang menyedihkan, Sutami sempat takut dirawat di rumah sakit. Ternyata dia tidak punya uang untuk bayar rumah sakit.
Baru setelah pemerintah turun tangan, Sutami mau juga diopname. Presiden Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit.
Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Sutami menginggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever.
Tanggal 16 Desember 1981, Presiden Soeharto meresmikan Bendungan Karangkates, Sumberpucung, Kabupaten Malang.
Soeharto membacakan pidato penghormatannya untuk Sutami. Dia pun memberi nama Bendungan Karangkates sebagai nama Bendungan Sutami.

Sumber:
Spoiler for List:
Diubah oleh LordFaries4.0 20-12-2021 16:36






giee2 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
8.3K
Kutip
80
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan