"Kalau memang benar penampakan makhluk halus itu cuma ada di dalam pikiran gue. Atau halusinasi. Apakah wujud yang berasal dari halusinasi itu berpengaruh ketika gue menggunakan kacamata?"

Sekitar pukul 10:00 malam, Luwi sedang menunggu kereta di sebuah stasiun di pusat Kota. Kejadian aneh tiba-tiba terekam jelas dalam benaknya ketika kerumunan orang panik melihat seorang wanita yang tiba-tiba jatuh telentang di aspal peron. Sambil memegang lehernya, kaki wanita itu meronta-ronta dengan sekuat tenaga hingga sepasangwedgesnya menggores lantai meninggalkan garis-garis hitam sebelum akhirnya terpental. Ia bahkan tidak peduli lagi tatkala usahanya itu membuat roknya terangkat sehingga menyingkap celana dalamnya. Wanita itu berusaha untuk bersuara, meminta pertolongan, namun suaranya tertahan di kerongkongan dengan masih terus bergelimpangan, meronta-ronta dengan kaki telanjang.


Para calon penumpang kereta hanya bisa melihat, saling pandang mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Muncul seorang ibu tanpa keseriusan yang berarti, menyarankan agar wanita itu dibawa ke pos penjaga sambil menunggu bantuan medis. Sedangkan seorang pria pendek berdasi menyuruh orang-orang disekitar untuk membantu mencari inhaler di saku dan tas wanita tersebut. Tidak ada. Ia berpikir bahwa kejadian itu disebabkan oleh penyakit asmanya.


Luwi tidak berpikir hal yang sama dengan mereka. Dari kejauhan ia melihat ada sosok bayangan yang menindih wanita yang terkapar, lemas. Sambil berusaha memicingkan mata, Luwi mencoba mencari sesuatu di tas selempangnya. Ketemu. Dengan gerak tergesa-gesa ia pasang kacamatanya dan langsung menyorot sosok bayangan tersebut. Apa yang dia lihat?


Luwi melihat sosok pria dengan rambut hampir botak, telanjang hingga kulit pahanya yang bergelambir menyentuh tanah, sekaligus melotot ke arahnya. Entah sebelum atau sesudah memakai kacamata pria hampir botak itu menatap dirinya. Namun sorot matanya membuat Luwi terdiam dan meneliti bahwa: sosok tersebut adalah makhluk astral. Jari-harinya yang panjang dari mahkuk itu terus mencekik si wanita hingga pada akhirnya lemas, tidak bergerak lagi.

"Mati?" pikir Luwi dalam hatinya.


Seakan sudah menunggu wanita itu mati, makhluk itu berdiri tinggi sekali mendelik kearah Luwi. Mendadak bingung. Dengan gerak yang hampir mustahil bisa dilakukan oleh manusia, makhluk itu berjalan dengan sendi lututnya condong ke arah yang berlawanan, tubuhnya membungkuk seperti orang yang menderita gangguan syaraf Dystonia.


Luwi berusaha memutar tubuhnya untuk antisipasi, namun terjatuh karena kehilangan keseimbangan, kacamatanya terlempar. Dengan seketika makhluk itu hilang tidak berbekas ketika Luwi menolehnya lagi.


Setelah mengantongi kacamatanya, Luwi langsung berlari ke arah gerbong kereta. Salah satu penumpang harus menggeram ketika ditabrak, "pelan-pelang dong!" Luwi melihat dari jendela ketika kereta berjalan meninggalkan keramaian orang yang masih mengelilingi wanita yang terkapar. Tanpa kacamata ia melihat sekelilingnya dengan buram dan mulai berpikir bahwa baru kali ini dia menyaksikan makhluk halus membunuh manusia.


"Tidak masuk akal," membatin sambil menyeka dahi.




Kos-kosan Ibu Wati terletak di daerah depok, hanya berjarak beberapa blok dari tempat Luwi Kuliah. Karena jarak diantara keduanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, maka dia memutuskan untuk menempati salah satu kamar kos tersebut. Sudah sekitar satu bulan Luwi tinggal di tempat ini dan merasa nyaman. Namun akhir-akhir ini kenyamanan Luwi berkurang setelah seorang penghuni kos bernama Rihot, atau yang biasa di panggil O'ot, selalu datang ke kamar kosannya setiap malam dan selalu bertanya tentang kemampuan Luwi yang bisa melihat makhluk halus.



"Jadi lu membiarkan pandangan lo tanpa kacamata, softlens, atau alat bantu apapun, dengan tujuan: agar semua yang lo lihat buram, gitu?" Tanya Rihot yang duduk di tepi ranjang, sementara Luwi sedang asyik berhadapan dengan laptopnya, sibuk mengerjakan tugas kuliahnya. "Supaya lu nggak bisa lihat mana hantu mana manusia?"



"Ya, begitulah." Kata Luwi, "agar telihat samar."



Luwi adalah seorang penyandang rabun jauh dengan ukuran kacamata yang tinggi, yaitu minus 10 untuk mata kiri dan minus 11,5 untuk mata kanan. Kacamatanya hanya digunakan ketika momen yang krusial, seperti: melihat jadwal kereta, memesan makanan cepat saji, dan di kelas. Seperti sekarang Luwi menolak memakai kacamatanya ketika sekilas dari sudut matanya sebuah bayangan hitam melintas dari lemari miliknya menuju kamar mandi. "Makhluk astral sialan." Umpat Luwi dalam hatinya. Namun sebuah tengokan kecil Luwi tidak mengundang rasa penasaran Rihot. Sedangkan Luwi menganggap kejadian itu biasa saja. Tidak perlu didramatisir.



"Tapi, bukannya wujud makhluk halus itu masih jadi perdebatan: apakah dia benar-benar eksis di dunia nyata atau cuma ada dalam pikiran lo. Seperti gangguan halusinasi atau schizophrenia." Ujar Rihot yang bertanya menggunakan pendekatan psikologi.


"Pikiran semacam itu pernah ada dalam otak gue, dan lumayan bisa mengurangi rasa penasaran. Ketika gue melihat setan, demit dan sebagainya, pikiran gue langsung beralih: 'tenang ini cuma halusinasi, kok,' dan hal ini berhasil membuat gue tetap tegar." Ujar Luwi.


"Ya mungkin kalau lu percaya bahwa itu cuma halusinasi lu... akan mengurangi eksistensi tentang makhluk halus didalam pikiran lu." Rihot berpendapat.


Dulu pernah Luwi mendapat perbincangan yang menarik mengenai bagaimana otak bekerja dengan seorang temannya bernama Amir. Temannya itu pernah bercerita tentang pengalamannya yang mengalami kelumpuhan saat tidur. Tiba-tiba dia berhalusinasi tentang makhluk besar yang menyeramkan duduk bersila di atas dadanya. Ia berusaha berontak dan meminta pertolongan, tetapi suaranya tidak keluar dari mulutnya. Ia juga sulit bergerak seakan-akan makhluk tersebut menahan tubuhnya. Beruntung Amir bisa llepas dari mimpi buruk itu dengan cepat. Setelah Amir mempelajari tentang kelumpuhan saat tidur atau sleep paralysis dan fungsi mimpi, dia menjadi sangat yakin bahwa eksistensi makhluk yang menindihnya tersebut adalah hasil dari otaknya untuk mengirim sinyal tanda bahaya bahwa kondisi tubuhnya ada yang tidak normal, seperti: bantal yang terlalu tinggi membuat lehernya tertekuk sehingga menghalangi saluran pernafasannya. Karena berbahaya, maka otak memberikan gambaran yang traumatis, seperti hantu atau monster yang menyeramkan, agar Amir bisa bangun lebih cepat. Semenjak Amir yakin dengan teori itu, dia berhasil menghilangkan wujud yang menyeramkan ketika mengalami kelumpuhan saat tidur. Namun karena tidak ada pemicu untuk mempersingkat tidur, seperti halusinasi tentang monster dan makhluk yang menyeramkan, Amir terlena dalam kelumpuhan yang lebih lama durasinya. Entah apa yang menjadi penyebabnya, namun yang jelas Amir meninggal saat sedang tidur tiga tahun yang lalu.


"Tapi kalau memang benar penampakan makhluk halus itu cuma ada di dalam pikiran gue. Atau yang tadi lu bilang, halusinasi. Apakah wujud yang berasal dari halusinasi itu berpengaruh ketika gue menggunakan kacamata?" Kata Luwi

Luwi beranjak dari laptopnya. Sambil membawa sebuah gelas dan menaruhnya diantara mereka berdua. Kini mereka berhadap-hadapan. "Kita sepakat bahwa gelas ini eksis. Lu bisa lihat, gue juga bisa lihat. Bedanya, lu bisa lihat benda itu dengan jelas, sedangkan gue buram. Kenapa? Karena gue menderita rabun jauh. Maka dari itu gue butuh kacamata supaya gue bisa melihat dengan jelas."


"Sekarang pertanyaannya: Kalau gelas itu cuma bayangan yang ada di dalam kepala gue, apakah kacamata bisa mempengaruhi pandangan gue terhadap gelas?" Ujar Luwi yang melontarkan pertanyaan bukan untuk dijawab. "Permasalahan gue melihat hantu itu sama dengan gue melihat gelas ini, Ot. Pandangan mereka sekilas samar, setelah gue tegaskan dengan kacamata barulah mereka terlihat jelas. Lu ngerti maksud gue."


"Iya,." Ujar Rihot sambil mengangguk sepaham.


"Nggak akan pernah ada yang mau melihat mereka dengan jelas, Ot!" gumam Luwi sambil menggut-manggut kecil.


"Kenapa bisa begitu?" tanya Rihot menganga.


"Karena semua makhluk-makhluk itu menampakan diri dengan wujud yang membuat gue mual. Seolah mereka ingin menggambarkan penderitaan mereka dalam satu kali kesempatan..." – Luwi terhenti untuk mencari kata yang tepat – " penderitaan, kesedihan dan rasa putus asa yang tiada tara menjadi satu dalam wujud pejal. Melihat mereka dengan jelas itu sama aja menjadi penyebab mimpi buruk gue, merusak selera makan dan membuat mood gue berantakan. Kalau mau hidup tenang, hindari saja mereka, inilah alasan kenapa gue lebih banyak melepas kacamata." lirih Luwi muram.

Mereka melanjutkan pembicaraan sampai larut malam. Sejak awal Luwi sudah capek meladeni Rihot yang mengganggu waktunya. Namun dengan kesabaran yang melimpah ladeni teman barunya itu dengan menjawab pertanaannya satu persatu. Sesekali Rihot mengajaknya bermain ke kosannya yang di lantai tiga, Luwi menolak, karena khawatir temannya itu meminta Luwi untuk menyodoknya dari belakang. Sekitar pukul 1 malam, Luwi nyerah dan mengusirnya secara halus. "Kayaknya gue harus tidur, Ot."

"Ya ya.. udah malam juga." Kata Rihot, "kalau gitu gue cabut dulu ya."