- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Salju Bersemi #Cerpen #Prequel


TS
User telah dihapus
Salju Bersemi #Cerpen #Prequel
Suhu disertai angin dingin menusuk semakin membuatnya mengeratkan syal yang ia gunakan di lehernya untuk lebih menghangatkan dirinya. Salahnya sendiri karena tidak mengenakan topi musim dingin. Rambutnya yang baru saja dicuci sekarang terkena buliran salju yang membuat sebagiannya sedikit basah. Ia yakin saat sampai rumah rambutnya akan terlihat lepek. Ia menggerutu pelan atas kecerobohannya. Musim dingin seperti ini mana ada toko yang buka—kecuali toko buku—apalagi ini baru awal-awal musim dingin berlangsung. Entah apa yang bisa ia katakan namun hari ini sepertinya tidak membuatnya senang karena hujan juga turun. Hujan gerimis. Ia pernah baca di salah satu situs mitologi kalau hujan turun tiba-tiba ketika cuaca sedang cerah meski bersalju, itu berarti ada seekor gumiho yang menangis. Gumiho adalah rubah berekor sembilan menurut kepercayaan Korea Selatan. Ah, lagi pula itu dongeng, gumamnya. Ia suka sesekali membaca hal-hal mitos itu untuk mengembangkan imajinasi dan khayalannya yang ia tahu itu hanya halusinasi. Setidaknya saat ia membaca itu semua, dirinya tahu sedang berhalusinasi, menandakan dirinya masih sadar. Entahlah. Ia juga bingung sendiri.
Derak sepatu boots miliknya mengisi keheningan di seluruh jalanan yang memang terlihat tak banyak orang lewat. Kepalanya menunduk memperhatikan langkah kakinya yang menciptakan jejak-jejak tapakan yang menelusup pada salju tebal yang melapisi tanah. Di saat semua pasangan begitu mesra dengan atribut couple mereka, kadang membuatnya mual. Apa harus selalu seperti itu jika berpacaran? Memakai barang couple? Bukankah itu terlihat konyol? Pikirnya. Ia mengendikan bahu. Ada apa orang-orang itu? Apa mereka hanya melakukan itu untuk menyenangkan pasangan mereka atau memang karena sukarela? Sahutan pertanyaan berteriak-teriak dalam isi pikirannya. Ia memfokuskan dirinya mendengar lagu yang mengalun lewat earpods yang ia gunakan. Bukan lagu bahasa Inggris melainkan lagu berbahasa Korea. Lagu yang kali ini ia dengarkan sedang banyak dibahas dan diputar di berbagai platform bahkan di toko buku langganannya. Alunannya yang manis dan terkesan menyedihkan makin membuatnya sibuk meratapi status kesendiriannya. Choi Yuree, ah, ia baru ingat nama penyanyinya. Lagunya sendiri adalah sebuah soundtrack dari drama Korea kesukaannya tahun ini tapi ia sendiri lupa judul lagu yang ia dengarkan sekarang. Mungkin sudah ratusan kali ia dengarkan lagu ini.
Untuk beberapa saat ia terpaku pada seseorang yang menyentak kesadarannya. Lamunannya. Keheningannya. Semua terpecah dan napasnya tercekat. Orang itu berdiri di sana, bergelak tawa bersama beberapa kawannya. Bagaimana bisa orang itu ada di tempat ini? Sial. Beberapa tahun belakangan sulit sekali baginya untuk melupakan laki-laki itu dan dari beribu kota di dunia, kenapa harus Edinburgh? Laki-laki itu tidak menunjukkan perbedaan mencolok. Tetap sama. Hidungnya yang tinggi dan wajahnya yang tegas. Sorot mata tajam laki-laki itu tak berubah sekalipun laki-laki itu tersenyum lebar. Bentuk mata almond-nya begitu indah dengan alis yang lurus. Tingginya sekitar 176 cm disertai proporsi badan yang atletis. Jauh lebih tinggi darinya yang hanya memiliki tinggi sekitar 163 cm. Dirinya masih ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu dulu. Semoga laki-laki itu tidak menyadari keberadaannya.
Dan dugaannya salah. Di saat yang sama ketika angin berembus, pandangan mereka bertemu. Setelah sekian lama. Dirinya lagi-lagi menahan napas tatkala laki-laki itu menyadarinya. Mata lelaki itu melebar dan raut wajahnya berubah tidak percaya. Seakan-akan baru saja menemukan sesuatu yang berharga. Oh, tidak. Jangan. Ia tidak ingin menangis. Deburan ombak dalam dirinya seakan menghempasnya.
Lelaki itu mematung sama sepertinya. Mereka tidak melepaskan pandangan sampai dirinya sendiri yang menundukan kepala. Air matanya meleleh. Terjatuh. Sialan. Ia membelokan langkahnya ke arah jalan yang lain. Dadanya sesak. Ada rasa berdenyut hebat di rongga dada kirinya ketika menatap mata laki-laki itu. Untuk apa lelaki itu ada di Edinburgh? Dapat beasiswa? Tur pendidikan? Mungkinkah lelaki itu sedang menjalankan trip khusus atau semacam liburan dari pelatnas? Sejenak ia berusaha mengingat siapa saja tadi yang bersama lelaki itu dan baru menyadari beberapa diantara orang-orang tadi memang ada yang ia kenali wajahnya dan pernah ia liat di media sosial.
Ya, dirinya sendiri mendapat beasiswa untuk melanjutkan pascasarjana di Universitas Edinburgh. Tujuan utamanya mengincar beasiswa adalah untuk kabur dari semuanya. Kenapa harus bertemu lagi? “Sialan.” Umpatan kasar itu terucap spontan melalui bibirnya. Kakinya melangkah cepat untuk buru-buru sampai ke flatnya. Untungnya, jarak flat dan toko buku tadi tidak begitu jauh. Saat ia sampai di depan gedung flatnya, dia segera masuk, menaiki tangga menuju kamarnya berada kemudian mengunci pintu rapat. Ia melepaskan syal serta mantel yang ia gunakan. Dirinya begitu yakin laki-laki itu mengikutinya dari belakang. Namun, bobot badannya yang sekarang berkurang drastis mempermudah langkah kakinya untuk bergerak lebih cepat dari lelaki tersebut.
Tangannya menyibakkan tirai tipis menggantung di jendela untuk memeriksa. Benar saja. Lelaki itu mengikutinya namun kalah cepat. Lelaki itu mencari ke sana kemari di tempat yang sama. Melihat ke segala arah sementara ia menyaksikan dari jendela kamarnya di lantai tiga ini. “Anna!”
Ketika ia mendengar namanya diserukan oleh laki-laki itu hatinya mencelos. Apakah pria itu benar-benar mencarinya? Ia harus bisa menahan tangisannya. Ia tidak ingin menangis namun air matanya meleleh begitu saja. “Anna!” lagi-lagi suara familiar itu berseru. Walau tidak keras namun seruannya seakan menggemakan seluruh relung hatinya yang telah lama membeku.
Ketidakmengertiannya mengenai takdir mengapa mereka dipertemukan kembali inilah yang membuat dirinya menangis. Ia menutup tirai. Punggungnya yang bersandar pada dinding kamar itu merosot dan ia terduduk di lantai. Hujan gerimis tidak turun karena gumiho melainkan karena langit justru lebih tahu kalau dialah yang pada akhirnya menangis hari ini. Menangis dalam diam membekap mulutnya agar isakannya tidak terdengar oleh laki-laki itu yang frustrasi ketika menyebut namanya berulang kali...
Derak sepatu boots miliknya mengisi keheningan di seluruh jalanan yang memang terlihat tak banyak orang lewat. Kepalanya menunduk memperhatikan langkah kakinya yang menciptakan jejak-jejak tapakan yang menelusup pada salju tebal yang melapisi tanah. Di saat semua pasangan begitu mesra dengan atribut couple mereka, kadang membuatnya mual. Apa harus selalu seperti itu jika berpacaran? Memakai barang couple? Bukankah itu terlihat konyol? Pikirnya. Ia mengendikan bahu. Ada apa orang-orang itu? Apa mereka hanya melakukan itu untuk menyenangkan pasangan mereka atau memang karena sukarela? Sahutan pertanyaan berteriak-teriak dalam isi pikirannya. Ia memfokuskan dirinya mendengar lagu yang mengalun lewat earpods yang ia gunakan. Bukan lagu bahasa Inggris melainkan lagu berbahasa Korea. Lagu yang kali ini ia dengarkan sedang banyak dibahas dan diputar di berbagai platform bahkan di toko buku langganannya. Alunannya yang manis dan terkesan menyedihkan makin membuatnya sibuk meratapi status kesendiriannya. Choi Yuree, ah, ia baru ingat nama penyanyinya. Lagunya sendiri adalah sebuah soundtrack dari drama Korea kesukaannya tahun ini tapi ia sendiri lupa judul lagu yang ia dengarkan sekarang. Mungkin sudah ratusan kali ia dengarkan lagu ini.
Untuk beberapa saat ia terpaku pada seseorang yang menyentak kesadarannya. Lamunannya. Keheningannya. Semua terpecah dan napasnya tercekat. Orang itu berdiri di sana, bergelak tawa bersama beberapa kawannya. Bagaimana bisa orang itu ada di tempat ini? Sial. Beberapa tahun belakangan sulit sekali baginya untuk melupakan laki-laki itu dan dari beribu kota di dunia, kenapa harus Edinburgh? Laki-laki itu tidak menunjukkan perbedaan mencolok. Tetap sama. Hidungnya yang tinggi dan wajahnya yang tegas. Sorot mata tajam laki-laki itu tak berubah sekalipun laki-laki itu tersenyum lebar. Bentuk mata almond-nya begitu indah dengan alis yang lurus. Tingginya sekitar 176 cm disertai proporsi badan yang atletis. Jauh lebih tinggi darinya yang hanya memiliki tinggi sekitar 163 cm. Dirinya masih ingat bagaimana mereka pertama kali bertemu dulu. Semoga laki-laki itu tidak menyadari keberadaannya.
Dan dugaannya salah. Di saat yang sama ketika angin berembus, pandangan mereka bertemu. Setelah sekian lama. Dirinya lagi-lagi menahan napas tatkala laki-laki itu menyadarinya. Mata lelaki itu melebar dan raut wajahnya berubah tidak percaya. Seakan-akan baru saja menemukan sesuatu yang berharga. Oh, tidak. Jangan. Ia tidak ingin menangis. Deburan ombak dalam dirinya seakan menghempasnya.
Lelaki itu mematung sama sepertinya. Mereka tidak melepaskan pandangan sampai dirinya sendiri yang menundukan kepala. Air matanya meleleh. Terjatuh. Sialan. Ia membelokan langkahnya ke arah jalan yang lain. Dadanya sesak. Ada rasa berdenyut hebat di rongga dada kirinya ketika menatap mata laki-laki itu. Untuk apa lelaki itu ada di Edinburgh? Dapat beasiswa? Tur pendidikan? Mungkinkah lelaki itu sedang menjalankan trip khusus atau semacam liburan dari pelatnas? Sejenak ia berusaha mengingat siapa saja tadi yang bersama lelaki itu dan baru menyadari beberapa diantara orang-orang tadi memang ada yang ia kenali wajahnya dan pernah ia liat di media sosial.
Ya, dirinya sendiri mendapat beasiswa untuk melanjutkan pascasarjana di Universitas Edinburgh. Tujuan utamanya mengincar beasiswa adalah untuk kabur dari semuanya. Kenapa harus bertemu lagi? “Sialan.” Umpatan kasar itu terucap spontan melalui bibirnya. Kakinya melangkah cepat untuk buru-buru sampai ke flatnya. Untungnya, jarak flat dan toko buku tadi tidak begitu jauh. Saat ia sampai di depan gedung flatnya, dia segera masuk, menaiki tangga menuju kamarnya berada kemudian mengunci pintu rapat. Ia melepaskan syal serta mantel yang ia gunakan. Dirinya begitu yakin laki-laki itu mengikutinya dari belakang. Namun, bobot badannya yang sekarang berkurang drastis mempermudah langkah kakinya untuk bergerak lebih cepat dari lelaki tersebut.
Tangannya menyibakkan tirai tipis menggantung di jendela untuk memeriksa. Benar saja. Lelaki itu mengikutinya namun kalah cepat. Lelaki itu mencari ke sana kemari di tempat yang sama. Melihat ke segala arah sementara ia menyaksikan dari jendela kamarnya di lantai tiga ini. “Anna!”
Ketika ia mendengar namanya diserukan oleh laki-laki itu hatinya mencelos. Apakah pria itu benar-benar mencarinya? Ia harus bisa menahan tangisannya. Ia tidak ingin menangis namun air matanya meleleh begitu saja. “Anna!” lagi-lagi suara familiar itu berseru. Walau tidak keras namun seruannya seakan menggemakan seluruh relung hatinya yang telah lama membeku.
Ketidakmengertiannya mengenai takdir mengapa mereka dipertemukan kembali inilah yang membuat dirinya menangis. Ia menutup tirai. Punggungnya yang bersandar pada dinding kamar itu merosot dan ia terduduk di lantai. Hujan gerimis tidak turun karena gumiho melainkan karena langit justru lebih tahu kalau dialah yang pada akhirnya menangis hari ini. Menangis dalam diam membekap mulutnya agar isakannya tidak terdengar oleh laki-laki itu yang frustrasi ketika menyebut namanya berulang kali...






phyu.03 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
389
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan