- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story [ PULANG ]


TS
andrialong05
Short Story [ PULANG ]
Sore yang membosankan, hanya duduk didalam mobil mendengarkan lagu 80-an, karya-karya musisi terdahulu yang tidak akan pernah mati dan akan selalu dinikmati meski zaman telah berganti. Hampir setengah jam aku menunggu disini, kulihat dari balik kaca mobil hujan masih mengguyur begitu deras, aktifitas dari kendaraan yang berlalu lalang dijalan tampak begitu sepi. Hanya ada beberapa pengendara sepeda motor yang berteduh diteras ruko pinggir jalan, dan ada juga yang memaksa menerobos derasnya hujan, entah terburu-buru atau memang ingin mengenang masa kecilnya saat bermain hujan, sesekali aku melirik kearah bangunan tinggi didepanku saat ini. Kulihat seorang gadis yang keluar dari bangunan tersebut dan mulai mendekat kearahku, berjalan dengan mempercepat ritme langkah, melindungi rambutnya dengan meletakkan jemari yang tersusun diatas kepala.
"Aduh sorry ya Bi, kelamaan" Ucap seorang gadis begitu memasuki mobil dan duduk disampingku dengan mengusap rambut dan pundaknya akibat terkena air hujan, sejenak wangi parfumnya menyeruak menembus indera penciumanku dengan lembut.
Sejujurnya lama atau sebentar tak menjadi masalah bagiku, namun aku sangat kesal begitu melihat apa yang ia bawa, hanya sebuah plastik transparan berisikan kotak kado berukuran kecil.
"Buset, beli gituan aja lamanya minta ampun" Gerutuku setengah berbisik dan tentu saja terdengar oleh Alya
"Yeeeee... Ini susah nyarinya tau" Ucapnya begitu mendengar perkataanku
"Emang beli apaan sih lu? "
"Hello Pak Firbian Mahendra. Mau tau aja lu"
"Eh buset ni bocah, ditanya bukannya ngejawab, tau cuma beli gituan males gue nemenin" Ujarku merajuk setengah bercanda
Jalanan masih tampak begitu sepi, mobil yang ku kendarain mulai melaju meninggalkan gedung-gedung yang berdiri kokoh dikanan dan kiri jalan.
Disamping kiriku duduk seorang gadis cantik, namanya Alya. Alya Damayanti, anak seorang pengusaha kaya raya. Merupakan salah satu mahasiswi universitas ternama disalah satu kota tempat kami tinggal, dan satu-satunya perempuan yang begitu akrab denganku, kedekatanku dengannya terjalin saat kami duduk dibangku SMA, kala ia menjadi murid baru disekolah dan mendapat bangku disebelahku, sejak saat itu aku dan Alya mulai menjalin persahabatan.
Sampai saat ini kisah persahabatanku dengan Alya masih terjalin sangat baik, bahkan semakin membaik.
"Alya, gue langsung pulang aja ya"
"Loh, gak mampir dulu?... Mama pasti udah masak buat makan malam bareng" Ucapnya seraya memegang pergelangan tanganku yang hendak beranjak dari dalam mobil. Memang begitulah biasanya, bahkan aku sudah sangat mengenal kedua orang tua Alya. Humble, dan sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
Aku menggelng "Gak usah deh, lain kali aja. Titip salam aja buat tante sama om"
"Eh, terus kamu pulangnya naik apa?.... Aku anter deh"
"Gak usah, gue udah pesen ojol" Jawabku berbohong kepada Alya.
Cukup melelahkan memang setelah beraktifitas seharian, apalagi dilanjut dengan menemani Alya. Seiring langkah kakiku menelusuri jalanan kota ini, ada rasa penyesalan menolak tawaran Alya untuk mengantarku pulang, andai saja aku mengiyakan mungkin saat ini aku sudah berada tepat dihalaman rumahku, namun setidaknya rasa lelah ini dapat sedikit terobati dengan indahnya pemandangan kota dengan lampu-lampu yang terjejer dipinggir jalan. Taman-taman yang begitu indah dengan pencahayaan yang memanjakan mata dikala malam hari, bangunan yang menjulang tinggi dan menambah kesan khas perkotaan juga ikut serta dengan mengusung lampu-lampu indahnya.
"Bi, udah sampe rumah? " Begitu isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Alya.
"Udah kok, ini aku baru nyampe" Balasku yang lagi-lagi harus berbohong, jika aku mengatakan yang sebenarnya, kebohonganku yang pertama akan terbongkar. Hah begitulah memang, jika terjadi satu kebohongan maka akan menimbulkan kebohongan-kebohongan yang lain.
Gelap malam semakin pekat disertai hembusan angin yang mampu menembus jaket levi's yang ku kenakan, dengan memeluk tubuhku sendiri aku berjalan menelusuri jalanan yang mulai meninggalkan keramaian. Perlahan rintik hujan mulai turun, awan hitam tak mampu menahan tekanan yang ia bawa, kilatan cahaya serta suara gemuruh dilangit menambah sempurna tangisan alam.
"Lu emang bener-bener ya, sejak kapan lu suka bohong sama gue?" Ucap Alya begitu mambuka pintu kamarku dan membawa semangkuk bubur ayam kesukaanku.
"Ih, lu apaan sih Ya?. Tiba-tiba marah gitu"
"Lu sih pake bohong, malem itu lu pulang jalan kaki terus kehujanan kan?…dan sekarang lu sakit, siapa yang repot?" Jawab Alya dengan masih memasang raut wajah tengilnya.
"Astaga Alya, cuman masalah itu doang?. Ya lagian yang sakit kan gue, orang cuma demam doang, besok juga udah oke" Ujarku dengan sedikit meyakinkan Alya akan keadaanku yang tak perlu dikhawatirkan.
Jujur saja aku sedikit tidak mengerti dengan sikap Alya akhir-akhir ini, bertahun-tahun hubungan kami hanya sebatas sahabat saja, ya walaupun memang bisa dibilang sedikit aneh bila seorang laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan saudara begitu dekat seperti aku dengan Alya. Kami berdua saling terbuka tentang hidup dan tentang apapun itu, terlebih lagi masalah pasangan, bahkan kedekatanku dengan Alya sudah menyerupai hubungan antara kakak dan adik. Aku sering sekali share masalah hubungan asmaraku kepada Alya, begitupun Alya yang selalu meminta pendapat kepadaku tentang bagaimana cara mendekati seorang lelaki, dan apa saja yang disukai oleh lelaki terhadap pasangannya. Dan sempat beberapa kali aku diputuskan oleh pacarku karena cemburu melihat kedekatanku dengan Alya, hahh menyebalkan memang.
Sore itu langit kembali gelap, tampaknya hujan tak lama lagi akan turun. Tanda demi tanda mulai diperlihatkan, hingga persiapan akan pertunjukan langit sudah sempurna, turunlah berkah dari sang kuasa yang menunjukkan kekuasaanya melalui hujan.
Semilir angin yang selalu datang menyejukkan suasana seakan menjadi penggemar dari aksi pertunjukan dilangit, gemuruh pun tak lupa untuk menyapa.
"Bi bangun, hey bangun!!!. Tiduran mulu dari tadi, bentar lagi maghrib loh" Terasa sentuhan lembut pada pundakku.
"Eh Ya, belum pulang?" Jawabku dengan lesu seolah-olah baru saja kembali dari alam mimpi, mungkin karena ingin memanfaatkan waktu liburku dengan bermalas-malasan.
"Iya nih Bi, hujan deres banget" Ujarnya dengan menatap kearah luar jendela kamarku.
Lama ia terdiam mematung tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, membuatku semakin heran dengan sifat dan perlakuannya padaku akhir-akhir ini. Akupun merasa canggung dibuatnya, tak biasanya Alya seperti ini.
"Ah sial, kenapa perasaan gue jadi gini ya" Resahku dalam batin sembari mengacak-acak rambutku sendiri.
Melihat hal tersebut Alya pun seketika mengalihkan pandangannya kearahku, memicingkan mata serta tersenyum kecil melihat hal konyol yang ku lakukan. Namun tidak berlangsung lama, seketika raut wajahnya berubah penuh kegelisahan dan perlahan ia melangkah kearahku, mendekat dan semakin dekat.
Peluk. Iya, Alya memelukku dengan erat.
Bahkan aku sendiri tak pernah merasakan pelukkan seperti ini sebelumnya, perasaanku bercampur aduk saat ini, jujur saja aku tidak mengerti dengan semua yang saat ini terjadi. Perlahan ku lepaskan pelukkannya, ku pegang pundaknya dengan kedua tanganku, kini wajahnya yang begitu mempesona tepat berada didepan wajahku. Sungguh aku baru menyadari betapa cantik parasnya hingga mampu membuatku salah tingkah, pantas saja selama ini banyak para pria yang mengidam-idamkan dirinya.
Entah apa yang terjadi pada hatiku saat ini, seketika darahku terasa dingin menghadapi situasi yang sama sekali tak pernah ku bayangkan, ku beranikan diri menghapus air mata yang mengalir dipipi.
Jemarinya menggenggam jemariku membuatku terjebak pada situasi yang begitu asing bagiku, sungguh aku benar-benar tak tau harus berbuat apa.
"Lu kenapa?.. Cerita sama gue" Tanyaku yang mencoba memberanikan diri membuka pembicaraan berharap kecanggungan ini segera berakhir.
Namun bibirnya seakan kaku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun padaku, ia hanya menjawab pertanyaanku dengan tangisnya, apa yang sebenarnya terjadi?
Aku bingung mengartikan apa makna dari semua ini, yang ku bisa hanya bertanya dan bertanya berharap mendapat jawaban.
Tubuhnya kembali mendekat dan memelukku, aku hanya mampu terdiam dan benar-benar bingung.
"Bi....... "
"Iya Alya, cerita dong ada apa sebenarnya? " Tanyaku yang lantas kembali melepas pelukkan itu dan menatap wajahnya.
"Bulan depan gue harus keluar negri Bi" Jawab Alya dengan suara yang begitu berat menahan tangis yang menyesakkan dada.
Ku raih pergelangan tangannya yang lembut itu, kami pun duduk bersebelahan disebuah sofa yang terdapat pada sisi kiri kamarku.
"Terus kenapa?... Lu kan emang sering keluar negri, biasanya juga gak gini-gini amat"
"Gue harus nyelesein s3 gue di Amerika, tapi...... " Jawaban yang terhenti membuatku menantikan akan kelanjutan dari ucapannya.
"Tapi apa? " Desakku
"Gue gak bakal balik" Jawabnya
"Hah, cius lu??.. Miapah???" Candaku
"Gue serius Bi"
Aku menghela nafas panjang dan lalu membuangnya
"Maksud lu apa si Ya?, gue gak ngerti" Tanyaku dengan penuh harap akan kejelasan dari semua ini.
"Bi, i love you"
Diam, lagi-lagi aku hanya mampu terdiam mendengar perkataan yang terucap dari mulut Alya, mataku pun tak mampu untuk menatapnya. Jantungku berdegup sangat kencang, membuat aliran darah terpompa dengan sangat kencangnya, tubuhku gemetar.
Bahagia, entah mengapa aku sangat bahagia mendengar itu semua, apa mungkin aku mencintai Alya?
Mencintai seseorang yang selama ini selalu hadir meski hanya sebatas sahabat, namun harus ku akui bahwa kenyataannya aku sendiri tak mampu menolak kebahagiaan ini. Ya, aku mencintai Alya. Aku benar-benar mencintai Alya.
"Bi, maaf. Udah ngerusak hubungan persahabatan kita" Ucapnya tiba-tiba dan langsung beranjak meninggalkan ku ditengah-tengah kebisuanku saat ini.
"Enggak, itu nggak bener" Tegasku dengan sedikit meninggi.
Seketika langkahnya terhenti mendengar perkataanku, mengalihkan pandangannya kepadaku dengan raut wajah yang penuh keresahan.
"Aku cuma mau ngelurusin dari ucapanmu tadi, bukan ngerusak. Tapi mempererat, i love you too Alya"
Entah dengan apa aku menggambarkan perasaan ku saat ini, entah dari mana pula datangnya keberanianku mengucapkan kata-kata tersebut, namun yang pasti kebahagiaan yang kurasakan kini sama sekali belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kengerian gemuruh dan petir yang saat ini sedang mempertontonkan pertunjukkannya bagiku adalah tak lain sebagai sorakan bahagia, rintik hujanpun seakan berirama mengiringi nada-nada romantis, semilir angin mengantarku pada suasana indah terbentuknya bingkai asmara antara aku dan Alya.
Alya tersenyum mengeluarkan air mata bahagia, aku dapat melihat sebuah dunia baru dari bola matanya yang memancarkan ketulusan serta kenyamanan. Sebuah harapan besar menanti kepastian yang abadi, dapat ku gambarkan dari senyum dibibirnya. Pelukkan hangat yang sekejap mata mampu menerbangkanku dan membuat hati ini terlena, ada sedikit rasa tak percaya dengan apa yang saat ini terjadi.
"Paling enggak aku udah lega, aku bisa tau perasaan kamu ke aku yang sebenarnya sebelum aku pergi"
Seketika aku tersentak mendengar perkataan yang Alya ucapkan, seolah kebahagiaan yang saat ini kurasakan akan terlalu cepat sirna, mengingat harus melepas kepergian Alya untuk melanjutkan sekolahnya di Amerika. Ku eratkan pelukkanku, sebagai tanda bahwa berat hati ini untuk ditinggal pergi.
Langit sudah mulai gelap, hujan yang sedari tadi mengguyur kini menyisakan kedinginan. Daun-daun yang bergoyang menitiskan sisa air disetiap gerakannya, entah menari bahagia atau juga merasa kedinginan. Ku pasangkan jaket biru muda miliknya yang berada didalam tas, untuk menemani perjalanan dan menjaga tubuh indahnya dari udara dingin diluar sana.
"Aku pulang dulu ya Bi" Ucapnya begitu kami berdua berada diteras rumahku.
"Aku anter ya, bahaya nyetir sendirian. Jalanan licin"
"Gak papa Bi, kamu tenang aja gak usah khawatir, entar kamu pulangnya jalan kaki lagi" Jawabnya tersenyum
Akupun hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya, mataku tak mau melepas pandangan meski hanya sekedar berkedip.
Ku lambaikan tangan kala mobilnya mulai meninggalkan halaman rumahku, rasanya tak rela hari ini begitu cepat berakhir. Hatiku benar-benar tengah dilanda asmara, tersenyum sendiri seperti orang gila.
Tak mampu ku pungkiri akan kegilaan yang sedang menyerangku, membuat putus syaraf-syaraf dikepalaku. Pernahkah kalian merasakannya?
Malam ini aku hanya bisa terbaring tanpa mampu memejamkan mata, mata ini enggan rasanya untuk terlelap dan melupakan tentang Alya meski sejenak.
Imajinasiku begitu tinggi hingga mampu menguasai seluruh jiwa dan ragaku, bisa dibayangkan betapa bahagianya aku saat ini.
Malam berganti pagi, sebuah hari baru kusambut dengan senyuman dipagi ini.
Menyusuri sebuah jalan raya dengan perasaan yang berbunga-bunga, sebelum pergi beraktifitas di cafe aku berencana untuk singgah sebentar kerumah Alya.
Sesampainya disana aku disambut beberapa orang yang berdiri digerbang, mereka adalah kang Iwan dan kang Ipul, dua orang satpam yang menjaga rumahnya.
"Mas Biyan, monggo masuk mas" Tegurnya padaku hampir bersamaan
"Iya makasih kang" Aku membalas dengan senyum
Namun ada yang aneh pada mereka berdua, tidak seperti biasanya yang selalu bercanda gurau jika bertemu denganku.
Ah sudahlah, aku tidak peduli dengan masalah mereka.
Aku melangkah mendekati pintu rumahnya yang terbuka lebar, terlihat beberapa orang yang berkumpul dengan menggunakan busana muslim rapi, begitu juga para laki-laki yang lengkap dengan kopiah hitamnya. Disudut ruangan terlihat 3 orang polisi berseragam yang sedang berbincang dengan para lelaki yang juga berdiri disana.
"Lagi ada pengajian ya?, atau jangan-jangan papanya Alya meninggal?" Gumamku pelan seraya bola mataku memperhatikan situasi seiring disetiap langkah kakiku, aku teringat jika beberapa hari lalu ayahnya harus dilarikan kerumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya.
Namun asumsiku salah besar, begitu aku melihat seorang lelaki yang keluar dari balik kerumunan itu, dengan langkah gontai ia mendekat. Itu adalah om Anto, ayah Alya.
Jadi....
"Om ada apa ini? " Tanyaku sesaat setelah om Anto tepat berada didepanku.
Namun om Anto hanya terdiam menundukkan kepala sembari mengusap air matanya, membuatku semakin tidak mengerti.
"Om, tante kenapa? " Tanyaku kembali
"Bukan tante Bi" Jawab om Anto
"Tapi Alya" Tambahnya lagi
"Alya om?, kenapa sama Alya? "
Om Anto yang saat itu mungkin perasaannya juga tidak karuan hanya menangis dan memelukku, lalu membisikkan ditelingaku dengan suaranya yang begitu berat.
"Alya Bi, Alya udah nggak ada?"
Aku yang mendengar itu seketika lemas tak berdaya, bagaikan tersambar petir disiang bolong. Rasa tidak percaya akan perkataan om Anto kepadaku, aku berlari memasuki ruangan dan terlihat seseorang yang sedang terbaring tertutup kain dengan ditemani 3 orang wanita yang menangis meratap disampingnya.
Begitu menyadari kehadiranku, salah seorang dari wanita itu kemudian menghampiri dan memelukku, dia adalah tante Rita. Ibunda Alya Damayanti.
Tak dapat aku gambarkan lagi betapa hati ini hancur menerima kenyataan pahit yang menimpa diriku, aku bersimpuh tak kuasa menerima semuanya.
Andai saja malam itu tak ku biarkan dia pulang sendiri, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi, atau mungkin setidaknya saat ini aku juga ikut terbaring bersamanya, kufikir itu lebih baik dari pada harus merelakan kepergiannya seorang diri tanpa teman disana.
"Bangun!!! Banguuuunn" Ratapku dihadapan jasad Alya yang sama sekali tak bergerak.
Jasad yang baru saja memeluk tubuhku, jemari yang baru saja menggenggam jemariku, bibir yang baru saja melafalkan sebuah kalimat yang begitu berarti kini diam membisu tak berkata.
Degup jantungnya yang bisa kurasakan saat ia memelukku kini hilang terusir oleh perih, senyuman yang selalu menghiasi wajah cantiknya kini tidak akan pernah ku lihat lagi. Aku hancur, aku sangat hancur saat ini.
Aku ragu, apakah hujan yang menjadi saksi terjalinnya cintaku dengan Alya adalah sebuah luahan rasa yang alam tunjukkan karena ikut merasa bahagia, atau sebuah tangisan akan firasatnya yang tidak pernah salah.
Aku merasa dunia sungguh tidak adil, apa salah dan dosaku sehingga diberikan ujian yang begitu berat, mengapa ada kebahagiaan jika akhirnya akan membawa pada kesengsaraan.
"Bian, mau sampe kapan kamu seperti ini?. Sudah dua minggu Alya meninggal, seharusnya kamu belajar untuk mengikhlaskan dia, kasihan Alya" Ucap Ibu ketika melihatku duduk termenung menatap selembar fotoku bersama Alya saat kami masih menggunakan seragam SMA.
"Cukup Bu, nggak perlu kasihan sama Alya. Alya aja nggak kasihan sama aku, teganya dia pergi gitu aja Bu. Teganya dia bikin aku kayak gini" Seketika air mataku jatuh tanpa aku sadari.
"Nak, itu semua kehendak yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia tidak bisa berbuat apa-apa, bukan keinginan Alya buat ninggalin kamu, ninggalin kita semua. Melainkan kehendak Allah, Allah lebih sayang sama Alya, kalau kamu juga sayang sama Alya, ikhlaskan dia dan jangan bikin dia sedih dengan keadaanmu"
Aku menghela nafas sedalam-dalamnya, kupejamkan mata lalu ku buka kembali, menahan air mata yang begitu menyesakkan dada. Berkali-kali berusaha untuk membangkitkan semangat namun kenyataannya tetap tidak mampu, jangankan untuk tertawa, tersenyum saja aku tak bisa.
"Percayalah apapun kehendak Allah, pasti itu yang terbaik. Ini ada sesuatu katanya buat kamu, tadi kang Ipul kemari menemui Ibu dan membawa ini" Begitu yabg terucap dari mulut Ibu, meletakkan sesuatu diatas ranjangku dan lantas melangkah keluar kamar.
Aku menoleh dan melihat sesuatu yang berada didalam plastik transparan, sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita kuning yang mengikatnya. Ya, ini adalah sesuatu yang Alya beli beberapa waktu lalu, sungguh air mataku tak terbendung ketika melihat itu, sejenak memori disaat aku menemaninya waktu itu teringat kembali. Membuatku larut dalam kesedihan, seakan hidupku tiada arti tanpa kehadirannya, ingin rasanya aku mengulang kembali saat-saat itu.
*** Bi.. Aku nggk tau hrs mulai kata2 ini dri mna, tp yg jls aku hrs tau kpstian ny. Bln dpn aku hrs prg buat ngejar S3 ku, dan yg psti bkal lma bngt kita gk ktemu. Dan aku hrs mastiin klo kmu bnr2 bkl nunggu aku plng, tp aku mau disaat aku plng kmu bkl nyambut aku sebgai pcr kmu, bkn skdar shbat. Sbnernya aku udh lma pngen ngmg ini sama kmu, tp aku tkt klo kmu cuma anggep aku sbtas tmen kmu aja. Kmu gk prnh nunjukkin tanda klo kmu pnya prsaan lbh ke aku, tp aku pngn kmu tau klo aku syg sm kmu Bi. Aku cinta sm kmu, slma aku dkt sm kmu aku ngrsa nyamaaaaan bngt.
Kmu bkin hati aku yakin klo gk bkl ada cwo slain kmu yg bisa bhagiain aku.
Bi, aku pnya sesuatu buat kmu, smga kmu suka ya sama kalung ini. Jgn lpa dipke ya Bi biar kmu slalu inget aku klo aku nnti udh di amrka.
I love you Firbian***
--isi surat berdasarkan tulisan tangan Alya--
Alya, kamu tau kondisi hatiku seperti apa sekarang?
Aku sadar bahwa cinta memang tidak selalu harus memiliki, namun perasaan cinta ini tidak akan pernah mati sampai kapanpun, tidak akan pernah ada Alya lagi selain Alya ku. Kini canda tawamu, senyumanmu, pelukkanmu, ceriamu, lembut sentuhanmu hanya tinggal kenangan, dan akan terukir abadi dalam sejarah hidupku.
Selamat jalan Alya Damayanti
"Aduh sorry ya Bi, kelamaan" Ucap seorang gadis begitu memasuki mobil dan duduk disampingku dengan mengusap rambut dan pundaknya akibat terkena air hujan, sejenak wangi parfumnya menyeruak menembus indera penciumanku dengan lembut.
Sejujurnya lama atau sebentar tak menjadi masalah bagiku, namun aku sangat kesal begitu melihat apa yang ia bawa, hanya sebuah plastik transparan berisikan kotak kado berukuran kecil.
"Buset, beli gituan aja lamanya minta ampun" Gerutuku setengah berbisik dan tentu saja terdengar oleh Alya
"Yeeeee... Ini susah nyarinya tau" Ucapnya begitu mendengar perkataanku
"Emang beli apaan sih lu? "
"Hello Pak Firbian Mahendra. Mau tau aja lu"
"Eh buset ni bocah, ditanya bukannya ngejawab, tau cuma beli gituan males gue nemenin" Ujarku merajuk setengah bercanda
Jalanan masih tampak begitu sepi, mobil yang ku kendarain mulai melaju meninggalkan gedung-gedung yang berdiri kokoh dikanan dan kiri jalan.
Disamping kiriku duduk seorang gadis cantik, namanya Alya. Alya Damayanti, anak seorang pengusaha kaya raya. Merupakan salah satu mahasiswi universitas ternama disalah satu kota tempat kami tinggal, dan satu-satunya perempuan yang begitu akrab denganku, kedekatanku dengannya terjalin saat kami duduk dibangku SMA, kala ia menjadi murid baru disekolah dan mendapat bangku disebelahku, sejak saat itu aku dan Alya mulai menjalin persahabatan.
Sampai saat ini kisah persahabatanku dengan Alya masih terjalin sangat baik, bahkan semakin membaik.
"Alya, gue langsung pulang aja ya"
"Loh, gak mampir dulu?... Mama pasti udah masak buat makan malam bareng" Ucapnya seraya memegang pergelangan tanganku yang hendak beranjak dari dalam mobil. Memang begitulah biasanya, bahkan aku sudah sangat mengenal kedua orang tua Alya. Humble, dan sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
Aku menggelng "Gak usah deh, lain kali aja. Titip salam aja buat tante sama om"
"Eh, terus kamu pulangnya naik apa?.... Aku anter deh"
"Gak usah, gue udah pesen ojol" Jawabku berbohong kepada Alya.
Cukup melelahkan memang setelah beraktifitas seharian, apalagi dilanjut dengan menemani Alya. Seiring langkah kakiku menelusuri jalanan kota ini, ada rasa penyesalan menolak tawaran Alya untuk mengantarku pulang, andai saja aku mengiyakan mungkin saat ini aku sudah berada tepat dihalaman rumahku, namun setidaknya rasa lelah ini dapat sedikit terobati dengan indahnya pemandangan kota dengan lampu-lampu yang terjejer dipinggir jalan. Taman-taman yang begitu indah dengan pencahayaan yang memanjakan mata dikala malam hari, bangunan yang menjulang tinggi dan menambah kesan khas perkotaan juga ikut serta dengan mengusung lampu-lampu indahnya.
"Bi, udah sampe rumah? " Begitu isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Alya.
"Udah kok, ini aku baru nyampe" Balasku yang lagi-lagi harus berbohong, jika aku mengatakan yang sebenarnya, kebohonganku yang pertama akan terbongkar. Hah begitulah memang, jika terjadi satu kebohongan maka akan menimbulkan kebohongan-kebohongan yang lain.
Gelap malam semakin pekat disertai hembusan angin yang mampu menembus jaket levi's yang ku kenakan, dengan memeluk tubuhku sendiri aku berjalan menelusuri jalanan yang mulai meninggalkan keramaian. Perlahan rintik hujan mulai turun, awan hitam tak mampu menahan tekanan yang ia bawa, kilatan cahaya serta suara gemuruh dilangit menambah sempurna tangisan alam.
"Lu emang bener-bener ya, sejak kapan lu suka bohong sama gue?" Ucap Alya begitu mambuka pintu kamarku dan membawa semangkuk bubur ayam kesukaanku.
"Ih, lu apaan sih Ya?. Tiba-tiba marah gitu"
"Lu sih pake bohong, malem itu lu pulang jalan kaki terus kehujanan kan?…dan sekarang lu sakit, siapa yang repot?" Jawab Alya dengan masih memasang raut wajah tengilnya.
"Astaga Alya, cuman masalah itu doang?. Ya lagian yang sakit kan gue, orang cuma demam doang, besok juga udah oke" Ujarku dengan sedikit meyakinkan Alya akan keadaanku yang tak perlu dikhawatirkan.
Jujur saja aku sedikit tidak mengerti dengan sikap Alya akhir-akhir ini, bertahun-tahun hubungan kami hanya sebatas sahabat saja, ya walaupun memang bisa dibilang sedikit aneh bila seorang laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan saudara begitu dekat seperti aku dengan Alya. Kami berdua saling terbuka tentang hidup dan tentang apapun itu, terlebih lagi masalah pasangan, bahkan kedekatanku dengan Alya sudah menyerupai hubungan antara kakak dan adik. Aku sering sekali share masalah hubungan asmaraku kepada Alya, begitupun Alya yang selalu meminta pendapat kepadaku tentang bagaimana cara mendekati seorang lelaki, dan apa saja yang disukai oleh lelaki terhadap pasangannya. Dan sempat beberapa kali aku diputuskan oleh pacarku karena cemburu melihat kedekatanku dengan Alya, hahh menyebalkan memang.
Sore itu langit kembali gelap, tampaknya hujan tak lama lagi akan turun. Tanda demi tanda mulai diperlihatkan, hingga persiapan akan pertunjukan langit sudah sempurna, turunlah berkah dari sang kuasa yang menunjukkan kekuasaanya melalui hujan.
Semilir angin yang selalu datang menyejukkan suasana seakan menjadi penggemar dari aksi pertunjukan dilangit, gemuruh pun tak lupa untuk menyapa.
"Bi bangun, hey bangun!!!. Tiduran mulu dari tadi, bentar lagi maghrib loh" Terasa sentuhan lembut pada pundakku.
"Eh Ya, belum pulang?" Jawabku dengan lesu seolah-olah baru saja kembali dari alam mimpi, mungkin karena ingin memanfaatkan waktu liburku dengan bermalas-malasan.
"Iya nih Bi, hujan deres banget" Ujarnya dengan menatap kearah luar jendela kamarku.
Lama ia terdiam mematung tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, membuatku semakin heran dengan sifat dan perlakuannya padaku akhir-akhir ini. Akupun merasa canggung dibuatnya, tak biasanya Alya seperti ini.
"Ah sial, kenapa perasaan gue jadi gini ya" Resahku dalam batin sembari mengacak-acak rambutku sendiri.
Melihat hal tersebut Alya pun seketika mengalihkan pandangannya kearahku, memicingkan mata serta tersenyum kecil melihat hal konyol yang ku lakukan. Namun tidak berlangsung lama, seketika raut wajahnya berubah penuh kegelisahan dan perlahan ia melangkah kearahku, mendekat dan semakin dekat.
Peluk. Iya, Alya memelukku dengan erat.
Bahkan aku sendiri tak pernah merasakan pelukkan seperti ini sebelumnya, perasaanku bercampur aduk saat ini, jujur saja aku tidak mengerti dengan semua yang saat ini terjadi. Perlahan ku lepaskan pelukkannya, ku pegang pundaknya dengan kedua tanganku, kini wajahnya yang begitu mempesona tepat berada didepan wajahku. Sungguh aku baru menyadari betapa cantik parasnya hingga mampu membuatku salah tingkah, pantas saja selama ini banyak para pria yang mengidam-idamkan dirinya.
Entah apa yang terjadi pada hatiku saat ini, seketika darahku terasa dingin menghadapi situasi yang sama sekali tak pernah ku bayangkan, ku beranikan diri menghapus air mata yang mengalir dipipi.
Jemarinya menggenggam jemariku membuatku terjebak pada situasi yang begitu asing bagiku, sungguh aku benar-benar tak tau harus berbuat apa.
"Lu kenapa?.. Cerita sama gue" Tanyaku yang mencoba memberanikan diri membuka pembicaraan berharap kecanggungan ini segera berakhir.
Namun bibirnya seakan kaku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun padaku, ia hanya menjawab pertanyaanku dengan tangisnya, apa yang sebenarnya terjadi?
Aku bingung mengartikan apa makna dari semua ini, yang ku bisa hanya bertanya dan bertanya berharap mendapat jawaban.
Tubuhnya kembali mendekat dan memelukku, aku hanya mampu terdiam dan benar-benar bingung.
"Bi....... "
"Iya Alya, cerita dong ada apa sebenarnya? " Tanyaku yang lantas kembali melepas pelukkan itu dan menatap wajahnya.
"Bulan depan gue harus keluar negri Bi" Jawab Alya dengan suara yang begitu berat menahan tangis yang menyesakkan dada.
Ku raih pergelangan tangannya yang lembut itu, kami pun duduk bersebelahan disebuah sofa yang terdapat pada sisi kiri kamarku.
"Terus kenapa?... Lu kan emang sering keluar negri, biasanya juga gak gini-gini amat"
"Gue harus nyelesein s3 gue di Amerika, tapi...... " Jawaban yang terhenti membuatku menantikan akan kelanjutan dari ucapannya.
"Tapi apa? " Desakku
"Gue gak bakal balik" Jawabnya
"Hah, cius lu??.. Miapah???" Candaku
"Gue serius Bi"
Aku menghela nafas panjang dan lalu membuangnya
"Maksud lu apa si Ya?, gue gak ngerti" Tanyaku dengan penuh harap akan kejelasan dari semua ini.
"Bi, i love you"
Diam, lagi-lagi aku hanya mampu terdiam mendengar perkataan yang terucap dari mulut Alya, mataku pun tak mampu untuk menatapnya. Jantungku berdegup sangat kencang, membuat aliran darah terpompa dengan sangat kencangnya, tubuhku gemetar.
Bahagia, entah mengapa aku sangat bahagia mendengar itu semua, apa mungkin aku mencintai Alya?
Mencintai seseorang yang selama ini selalu hadir meski hanya sebatas sahabat, namun harus ku akui bahwa kenyataannya aku sendiri tak mampu menolak kebahagiaan ini. Ya, aku mencintai Alya. Aku benar-benar mencintai Alya.
"Bi, maaf. Udah ngerusak hubungan persahabatan kita" Ucapnya tiba-tiba dan langsung beranjak meninggalkan ku ditengah-tengah kebisuanku saat ini.
"Enggak, itu nggak bener" Tegasku dengan sedikit meninggi.
Seketika langkahnya terhenti mendengar perkataanku, mengalihkan pandangannya kepadaku dengan raut wajah yang penuh keresahan.
"Aku cuma mau ngelurusin dari ucapanmu tadi, bukan ngerusak. Tapi mempererat, i love you too Alya"
Entah dengan apa aku menggambarkan perasaan ku saat ini, entah dari mana pula datangnya keberanianku mengucapkan kata-kata tersebut, namun yang pasti kebahagiaan yang kurasakan kini sama sekali belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kengerian gemuruh dan petir yang saat ini sedang mempertontonkan pertunjukkannya bagiku adalah tak lain sebagai sorakan bahagia, rintik hujanpun seakan berirama mengiringi nada-nada romantis, semilir angin mengantarku pada suasana indah terbentuknya bingkai asmara antara aku dan Alya.
Alya tersenyum mengeluarkan air mata bahagia, aku dapat melihat sebuah dunia baru dari bola matanya yang memancarkan ketulusan serta kenyamanan. Sebuah harapan besar menanti kepastian yang abadi, dapat ku gambarkan dari senyum dibibirnya. Pelukkan hangat yang sekejap mata mampu menerbangkanku dan membuat hati ini terlena, ada sedikit rasa tak percaya dengan apa yang saat ini terjadi.
"Paling enggak aku udah lega, aku bisa tau perasaan kamu ke aku yang sebenarnya sebelum aku pergi"
Seketika aku tersentak mendengar perkataan yang Alya ucapkan, seolah kebahagiaan yang saat ini kurasakan akan terlalu cepat sirna, mengingat harus melepas kepergian Alya untuk melanjutkan sekolahnya di Amerika. Ku eratkan pelukkanku, sebagai tanda bahwa berat hati ini untuk ditinggal pergi.
Langit sudah mulai gelap, hujan yang sedari tadi mengguyur kini menyisakan kedinginan. Daun-daun yang bergoyang menitiskan sisa air disetiap gerakannya, entah menari bahagia atau juga merasa kedinginan. Ku pasangkan jaket biru muda miliknya yang berada didalam tas, untuk menemani perjalanan dan menjaga tubuh indahnya dari udara dingin diluar sana.
"Aku pulang dulu ya Bi" Ucapnya begitu kami berdua berada diteras rumahku.
"Aku anter ya, bahaya nyetir sendirian. Jalanan licin"
"Gak papa Bi, kamu tenang aja gak usah khawatir, entar kamu pulangnya jalan kaki lagi" Jawabnya tersenyum
Akupun hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya, mataku tak mau melepas pandangan meski hanya sekedar berkedip.
Ku lambaikan tangan kala mobilnya mulai meninggalkan halaman rumahku, rasanya tak rela hari ini begitu cepat berakhir. Hatiku benar-benar tengah dilanda asmara, tersenyum sendiri seperti orang gila.
Tak mampu ku pungkiri akan kegilaan yang sedang menyerangku, membuat putus syaraf-syaraf dikepalaku. Pernahkah kalian merasakannya?
Malam ini aku hanya bisa terbaring tanpa mampu memejamkan mata, mata ini enggan rasanya untuk terlelap dan melupakan tentang Alya meski sejenak.
Imajinasiku begitu tinggi hingga mampu menguasai seluruh jiwa dan ragaku, bisa dibayangkan betapa bahagianya aku saat ini.
Malam berganti pagi, sebuah hari baru kusambut dengan senyuman dipagi ini.
Menyusuri sebuah jalan raya dengan perasaan yang berbunga-bunga, sebelum pergi beraktifitas di cafe aku berencana untuk singgah sebentar kerumah Alya.
Sesampainya disana aku disambut beberapa orang yang berdiri digerbang, mereka adalah kang Iwan dan kang Ipul, dua orang satpam yang menjaga rumahnya.
"Mas Biyan, monggo masuk mas" Tegurnya padaku hampir bersamaan
"Iya makasih kang" Aku membalas dengan senyum
Namun ada yang aneh pada mereka berdua, tidak seperti biasanya yang selalu bercanda gurau jika bertemu denganku.
Ah sudahlah, aku tidak peduli dengan masalah mereka.
Aku melangkah mendekati pintu rumahnya yang terbuka lebar, terlihat beberapa orang yang berkumpul dengan menggunakan busana muslim rapi, begitu juga para laki-laki yang lengkap dengan kopiah hitamnya. Disudut ruangan terlihat 3 orang polisi berseragam yang sedang berbincang dengan para lelaki yang juga berdiri disana.
"Lagi ada pengajian ya?, atau jangan-jangan papanya Alya meninggal?" Gumamku pelan seraya bola mataku memperhatikan situasi seiring disetiap langkah kakiku, aku teringat jika beberapa hari lalu ayahnya harus dilarikan kerumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya.
Namun asumsiku salah besar, begitu aku melihat seorang lelaki yang keluar dari balik kerumunan itu, dengan langkah gontai ia mendekat. Itu adalah om Anto, ayah Alya.
Jadi....
"Om ada apa ini? " Tanyaku sesaat setelah om Anto tepat berada didepanku.
Namun om Anto hanya terdiam menundukkan kepala sembari mengusap air matanya, membuatku semakin tidak mengerti.
"Om, tante kenapa? " Tanyaku kembali
"Bukan tante Bi" Jawab om Anto
"Tapi Alya" Tambahnya lagi
"Alya om?, kenapa sama Alya? "
Om Anto yang saat itu mungkin perasaannya juga tidak karuan hanya menangis dan memelukku, lalu membisikkan ditelingaku dengan suaranya yang begitu berat.
"Alya Bi, Alya udah nggak ada?"
Aku yang mendengar itu seketika lemas tak berdaya, bagaikan tersambar petir disiang bolong. Rasa tidak percaya akan perkataan om Anto kepadaku, aku berlari memasuki ruangan dan terlihat seseorang yang sedang terbaring tertutup kain dengan ditemani 3 orang wanita yang menangis meratap disampingnya.
Begitu menyadari kehadiranku, salah seorang dari wanita itu kemudian menghampiri dan memelukku, dia adalah tante Rita. Ibunda Alya Damayanti.
Tak dapat aku gambarkan lagi betapa hati ini hancur menerima kenyataan pahit yang menimpa diriku, aku bersimpuh tak kuasa menerima semuanya.
Andai saja malam itu tak ku biarkan dia pulang sendiri, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi, atau mungkin setidaknya saat ini aku juga ikut terbaring bersamanya, kufikir itu lebih baik dari pada harus merelakan kepergiannya seorang diri tanpa teman disana.
"Bangun!!! Banguuuunn" Ratapku dihadapan jasad Alya yang sama sekali tak bergerak.
Jasad yang baru saja memeluk tubuhku, jemari yang baru saja menggenggam jemariku, bibir yang baru saja melafalkan sebuah kalimat yang begitu berarti kini diam membisu tak berkata.
Degup jantungnya yang bisa kurasakan saat ia memelukku kini hilang terusir oleh perih, senyuman yang selalu menghiasi wajah cantiknya kini tidak akan pernah ku lihat lagi. Aku hancur, aku sangat hancur saat ini.
Aku ragu, apakah hujan yang menjadi saksi terjalinnya cintaku dengan Alya adalah sebuah luahan rasa yang alam tunjukkan karena ikut merasa bahagia, atau sebuah tangisan akan firasatnya yang tidak pernah salah.
Aku merasa dunia sungguh tidak adil, apa salah dan dosaku sehingga diberikan ujian yang begitu berat, mengapa ada kebahagiaan jika akhirnya akan membawa pada kesengsaraan.
"Bian, mau sampe kapan kamu seperti ini?. Sudah dua minggu Alya meninggal, seharusnya kamu belajar untuk mengikhlaskan dia, kasihan Alya" Ucap Ibu ketika melihatku duduk termenung menatap selembar fotoku bersama Alya saat kami masih menggunakan seragam SMA.
"Cukup Bu, nggak perlu kasihan sama Alya. Alya aja nggak kasihan sama aku, teganya dia pergi gitu aja Bu. Teganya dia bikin aku kayak gini" Seketika air mataku jatuh tanpa aku sadari.
"Nak, itu semua kehendak yang Maha Kuasa. Kita sebagai manusia tidak bisa berbuat apa-apa, bukan keinginan Alya buat ninggalin kamu, ninggalin kita semua. Melainkan kehendak Allah, Allah lebih sayang sama Alya, kalau kamu juga sayang sama Alya, ikhlaskan dia dan jangan bikin dia sedih dengan keadaanmu"
Aku menghela nafas sedalam-dalamnya, kupejamkan mata lalu ku buka kembali, menahan air mata yang begitu menyesakkan dada. Berkali-kali berusaha untuk membangkitkan semangat namun kenyataannya tetap tidak mampu, jangankan untuk tertawa, tersenyum saja aku tak bisa.
"Percayalah apapun kehendak Allah, pasti itu yang terbaik. Ini ada sesuatu katanya buat kamu, tadi kang Ipul kemari menemui Ibu dan membawa ini" Begitu yabg terucap dari mulut Ibu, meletakkan sesuatu diatas ranjangku dan lantas melangkah keluar kamar.
Aku menoleh dan melihat sesuatu yang berada didalam plastik transparan, sebuah kotak berwarna biru muda dengan pita kuning yang mengikatnya. Ya, ini adalah sesuatu yang Alya beli beberapa waktu lalu, sungguh air mataku tak terbendung ketika melihat itu, sejenak memori disaat aku menemaninya waktu itu teringat kembali. Membuatku larut dalam kesedihan, seakan hidupku tiada arti tanpa kehadirannya, ingin rasanya aku mengulang kembali saat-saat itu.
*** Bi.. Aku nggk tau hrs mulai kata2 ini dri mna, tp yg jls aku hrs tau kpstian ny. Bln dpn aku hrs prg buat ngejar S3 ku, dan yg psti bkal lma bngt kita gk ktemu. Dan aku hrs mastiin klo kmu bnr2 bkl nunggu aku plng, tp aku mau disaat aku plng kmu bkl nyambut aku sebgai pcr kmu, bkn skdar shbat. Sbnernya aku udh lma pngen ngmg ini sama kmu, tp aku tkt klo kmu cuma anggep aku sbtas tmen kmu aja. Kmu gk prnh nunjukkin tanda klo kmu pnya prsaan lbh ke aku, tp aku pngn kmu tau klo aku syg sm kmu Bi. Aku cinta sm kmu, slma aku dkt sm kmu aku ngrsa nyamaaaaan bngt.
Kmu bkin hati aku yakin klo gk bkl ada cwo slain kmu yg bisa bhagiain aku.
Bi, aku pnya sesuatu buat kmu, smga kmu suka ya sama kalung ini. Jgn lpa dipke ya Bi biar kmu slalu inget aku klo aku nnti udh di amrka.
I love you Firbian***
--isi surat berdasarkan tulisan tangan Alya--
Alya, kamu tau kondisi hatiku seperti apa sekarang?
Aku sadar bahwa cinta memang tidak selalu harus memiliki, namun perasaan cinta ini tidak akan pernah mati sampai kapanpun, tidak akan pernah ada Alya lagi selain Alya ku. Kini canda tawamu, senyumanmu, pelukkanmu, ceriamu, lembut sentuhanmu hanya tinggal kenangan, dan akan terukir abadi dalam sejarah hidupku.
Selamat jalan Alya Damayanti
Diubah oleh andrialong05 09-05-2020 02:07






indrag057 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
620
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan