- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Lembaran Surat Itu Saksi Hati Kami


TS
s3chamdani
Lembaran Surat Itu Saksi Hati Kami

Ada Hati Diantara Kami
Dia teman mengaji di sebuah Masjid. Semua berawal hanya cinta-cinta monyet mungkin ya?
Di jenjang Sekolah Menengah Pertama, ia lelaki yang rumahnya di samping masjid itu memulai mengirimiku surat. Ia ikuti langkahku sepulang mengaji dari masjid.

"Lil, Lila," panggilnya ketika ia sudah berada menjajari langkahku.
"Apa?" Tanyaku.
"Baca aja surat ini di rumah," jawabnya sambil menyerahkan amplop berwarna biru kalem itu kepadaku.
"Ooow, iya," jawabku sambil menerima amplop yang disodorkan padaku.
Ah, ingat waktu itu sungguh lucu sebenarnya. Awal isi suratnya yaitu ingin menjadi sahabat katanya. Kemudian hingga rutin tiap dua atau tiga hari sekali ia kirimkan surat untukku.

Kita akhirnya semakin dekat, tapi hanya sekedar via surat yang dia berikan padaku, dan akan kubalas esok atau dua hari berikutnya setiap kali sepulang mengaji.
Hal itu berjalan hingga kami duduk di Sekolah Menengah Tingkat Atas. Selain berkirim surat, di awal-awal suratnya dulu itu ia tanyakan kapan tanggal kelahiranku. Setelah tahu tanggal lahirku. Maka, setiap tanggal itulah ia selalu saja kirimkan hadiah untukku. Benar-benar semakin dekat.

Setiap kali menerima surat, tetap saja dada ini berdebar-debar. Begitupun ketika ia kirimkan hadiah-hadiah untukku. Dia mengingat betul tanggal lahirku, akupun demikian. Ketika tanggal lahirnya, aku berikan hadiah untuknya. Selisih usia kami hanya satu bulan. Kami sepantaran, bahkan aku lebih tua satu bulan darinya. Itu yang sedikit membuat ganjalan bagiku. Bagiku inginnya punya suami, ya yang lelaki usianya lebih tua dariku.
Sebenarnya kami sudah sama-sama suka, orang tua kami juga berteman sesama pengurus takmir masjid tempat kami mengaji.

Namun, sakit di dada terasa ketika aku pernah melihatnya membonceng teman perempuan yang satu sekolah dengannya. Memang kami tidak satu sekolah. Di tingkat SMA aku di terima di sekolah Negeri, sedangkan ia tidak. Ia bersekolah di sekolah islam swasta.
Tadinya, aku meminta orang tua bersekolah sama dengannya. Mengajukan itu ke orang tua karena aku akan banyak teman berjilbab jika di sekolah Islam. Sedangkan jika sekolah di sekolah negeri pada tahun 90 an, masih jarang yang berjilbab. Jadi, aku merasa berat dan sendiri saja di sekolah.
Akan tetapi, orang tuaku tidak meloloskan permintaanku, karena biaya sekolah di sekolah islam swasta jauh lebih besar dibanding sekolah negeri.
Kita hanya ketemu sepulang mengaji, dan masih saja ngobrolnya hanya pada sepucuk surat, yang terkadang hanya diselipkan pada sebuah buku miliknya.

Cerita kami terpenggal ketika aku harus melanjutkan pendidikan di luar kota. Hanya sesekali bertemu ketika aku ke masjid. Aku hanya bisa menanti keberaniannya untuk memintaku pada orang tuaku. Tapi tak kunjung datang-datang jua. Akhirnya ada lelaki lain ponakan dari teman mengajarku yang memintaku untuk jadi pendampingnya.
Ya, mau tidak mau aku menerimanya. Karena menunggunya tanpa ada kepastian.
Lembaran-lembaran surat itu cukup menjadi saksi bahwa kami ada hati. Meski hati itu tidak sampai menyatu.
Tulisan: s3chamdani
Sumber gbr: google, pinterest, pixabay






nibrasulhaq dan 23 lainnya memberi reputasi
24
1.1K
18


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan